Liputan6.com, Paris - Pagi yang dingin dan basah, 21 Januari 1793 pukul 05.00, pria itu terjaga dari tidurnya. Empat jam kemudian, dengan kawalan 1.200 tentara, kereta kuda membawanya ke Place de la Revolution. Dia, Louis XVI adalah Raja Prancis dari Dinasti Bourbon, namun, saat itu rakyat yang marah melihatnya sebagai pengkhianat.
Louis XVI awalnya dicintai rakyat, namun ketidakcakapannya dalam memerintah membuat Prancis terpuruk -- pengangguran merajalela, panen gagal, harga roti dan pangan selangit. Orang-orang pun berbalik membencinya.
Lalu sang raja yang tak lagi punya kuasa itu berjalan, di tengah muntahan caci maki, menaiki tangga menuju panggung yang sudah disiapkan. Lalu ia mengucapkan kalimat terakhirnya. Satu tangannya diangkat ke atas, isyarat meminta orang-orang yang menyemut untuk diam.
Baca Juga
Â
Advertisement
"Aku mati dalam keadaan tak bersalah atas kejahatan yang dituduhkan padaku. Aku memaafkan mereka yang telah menyebabkan kematianku; dan berdoa pada Tuhan semoga darah yang akan kalian tumpahkan tak akan menodai Prancis," demikian seruan Louis XVI, berdasarkan kesaksian rohaniwan Henry Essex Edgeworth yang mendampinginya sebelum eksekusi, seperti dikutip dari situs eyewitnesstohistory.com.
Louis XVI kembali membuka mulutnya, namun kata-kata yang terlontar kemudian diredam gemuruh suara drum. Ia lalu diantar ke guillotine yang berada di dekatnya.
Dan pada pukul 10.22, dengan satu hentakan pisau besar, kepalanya terpisah dari raga.Â
Salah satu petugas mengambil kepala Louis XVI, menunjukkannya ke kerumunan orang. Suara pekikan ribuan orang menyusul gaduh. "Vive la Nation! Vive la Republique!," begitu teriak mereka.
Di tengah hiruk pikuk itu, konon, seorang laki-laki tak dikenal mencelupkan tangannya ke genangan darah Louis XVI di bawah pisau guillotine, mengibaskannya ke arah kerumunan orang, dan berteriak, "Jacques de Molay, tu es vengé!" -- Jacques de Molay, dendammu telah terbalaskan.
Jacques de Molay adalah Grand Master Ksatria Templar yang mengutuk nenek moyang Louis XVI, Philip IV, yang memerintahkan eksekusi mati kelompoknya dengan dengan cara dibakar pada Jumat 13 Oktober 1307. Atas dasar fitnah.
Tak ada bukti yang menjelaskan apakah itu benar adanya. Namun, kisahnya menyebar luas hingga saat ini. Salah satunya dimuat dalam buku 'Holy Blood, Holy Grail', karya Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln.
Bunyi artileri yang ditembakkan ke udara setelah pemenggalan Louis XVI terdengar menggelegar, suaranya sampai ke telinga keluarga kerajaan yang berada dalam penjara. Hati mereka diliputi duka.
Jasad sang raja kemudian dibawa ke sebuah gereja tua, Madeleine. Sebuah upacara singkat digelar di sana, doa pendek dipanjatkan. Lalu jenazah yang masih mengenakan rompi putih dan celana abu-abu dari sutra dimasukkan dalam peti mati.
Sesuai perintah, peti itu kemudian di dimasukkan dalam lubang kapur, dalam kondisi terbuka. Gundukan tanah dimasukkan ke dalamnya. "Kepala Louis XVI ditempatkan di dekat kakinya," demikian kesaksian salah satu petugas penguburan, Damoureau.
Sembilan bulan kemudian, pada 16 Oktober 1793, giliran sang ratu Marie Antoinette dihukum dengan cara serupa.Â
Pada 21 Februari 1815, jasad Louis XVI dan istrinya dimakamkan kembali di Basilika Saint-Denis. Sebuah monumen didirikan bagi keduanya.
Pada 2014 lalu kisah eksekusi Louis XVI kembali jadi bahan perbincangan. Gara-gara sebuah kulit labu botol yang disebut-sebut menyimpan sapu tangan yang pernah dicelupkan dalam genangan darahnya.
Konon, seseorang bernama Maximilien Bourdaloue yang melakukannya. Namun, ilmu pengetahuan menyimpulkan, klaim itu palsu belaka. (Baca selengkapnya: Ilmuwan: Suvenir Darah Raja Louis XVI saat Dipenggal Palsu)
Selain eksekusi Louis XVI, tanggal 21 Januari juga diwarnai sejumlah kejadian penting bagi dunia. Pada 1943, serangan udara Nazi menewaskan 34 orang di sebuah sekolah di London.
Sementara, pada Senin 21 Januari 1985 terjadi peristiwa pemboman peninggalan bersejarah Candi Borobudur. Sembilan stupa pada candi peninggalan Dinasti Syailendra hancur gara-gara insiden tersebut. (Ein)