Liputan6.com, Adelaide - Imigran anak-anak yatim piatu dan bocah yang lahir di luar nikah di Inggris pada tahun 1869 hingga 1970 menjadi bagian sejarah kelam. Masa itu, para pendiri panti asuhan yang kebanyakan dilayani oleh gereja-gereja Katolik memiliki usul 'gila'. Mengirimkan anak-anak itu, ke 'halaman' belakang Inggris, yaitu Australia, Kanada dan negara-negara Commonwealth yang lain.
Pemerintah Inggris menyetujui usulan itu. Migran anak Inggris adalah salah satu kejahatan terhadap anak-anak, karena hampir semua bocah mengalami tindak kekerasan. Mereka justru mengalami pengalaman paling brutal dalam hidupnya.
Berikut adalah kisah Pamela Smedley yang dirangkum oleh Liputan6.com. Pamela adalah satu dari 100 ribu anak korban imigran anak Inggris.
Advertisement
Saat itu, musim dingin 1949. Pamela Smedley naik ke kapal laut menuju Australia bersama 27 anak perempuan lainnya. Dia diberi tahu oleh seorang biarawati dari panti asuhan Katolik di mana ia tinggal, bahwa mereka akan mengadakan perjalanan satu hari. Kenyataannya, ia naik kapal laut dan diangkut menuju Adelaide dan tak pernah melihat Inggris hingga 3 dekade.
"Kami pikir, akan pergi ke kota pantai macam Scarborough untuk satu hari. Tapi saat itu, kami masih muda dan naif," tutur Pamela yang sekarang berusia 66 tahun dan masih tinggal di Adelaide kepada BBC Magazine, Kamis (29/10/2015). Ia meninggalkan Teesside, 415 kilometer dari London, saat berusia 13 tahun.
"Para biarawati mengatakan bahwa di Australia kamu bisa memetik jeruk dari pohon-pohon, dan aku sangat senang karena aku suka jeruk."
Ibu dari Pamela adalah Katolik yang taat. Namun, ia hamil di luar nikah. Masa itu, perempuan yang hamil di luar pernikahan 'wajib' memberikan bayinya untuk diasuh negara di panti asuhan.
Di bawah tekanan norma sosial zaman itu, sang ibu akhirnya menyerahkan Pamela bayi untuk tinggal di bawah asuhan asuhan suster di biara Nazaret, Middlesbrough, Teesside.
Australia Kejam dan Muram
Tempat itu kejam dan muram, menurut Pamela, dan dia ingat bahwa ketika biarawati menanyakan siapa yang mau pergi ke Australia, setiap gadis di panti itu mengangkat tangan mereka ke atas.
Setelah Ormonde SS berlayar selama enam minggu, gadis-gadis itu segera menyadari, itu bukan perjalanan satu hari. Sebaliknya mereka dibuat percaya akan ada keluarga yang menunggu untuk mengadopsi mereka.
"Kami tiba mengenakan mantel musim dingin dan topi dan aku ingat, kami mendarat disambut bau udara dengan cuaca panas 45 derajat Celcius ," kenang Pamela.
"Aku benci itu dan ketika kami menemukan kami telah melakukan perjalanan 10.000 mil hanya untuk diletakkan di panti asuhan lain, kami semua hanya bisa menangis dan menangis."
Pamela menghabiskan empat tahun di Panti Asuhan Sisters of Mercy Goodwood , sebuah bangunan milik Katolik dengan bata merah, rumah bagi sekitar 100 anak-anak.
Pamela adalah salah satu dari sekitar 7.000 anak-anak yang dikirim ke Australia, paling muda berusia 4 tahun. Mereka sering diberi status palsu "anak yatim" untuk menyederhanakan proses -- dan kebanyakan dari mereka tidak pernah melihat orangtua atau keluarga mereka lagi.
"Migran anak adalah proses yang diminta Australia sebagai cara membangun populasi Anglo-Saxon kulit putih serta mendorong pertumbuhan ekonomi," jelas Gordon Lynch, pengajar di Michael Ramsey Profesor Modern Teologi, Universitas Kent.
Ini bukan sesuatu yang terjadi di bawah radar. Sebagian besar anak-anak dikirim ke Australia dengan pendanaan pemerintah.
"Kadang-kadang mudah untuk mengasumsikan childcare atau pengasuhan anak akan bagus dengan sistem ini. Tetapi yang terjadi tidak demikian. Pada saat Pamela-- dan anak-anak lainnya pergi ke Australia dengan skema migrasi anak benar-benar berjalan melawan arus praktek pengasuhan anak yang diterima di pasca-perang Inggris," jelas Lynch, yang juga kurator yang berkontribusi untuk pameran foto-foto migrasi anak di V & A Museum of Childhood di London.
Setelah tiba di Goodwood, semua kenang-kenangan pribadi anak-anak - foto, surat, mainan - diambil dari mereka. Yang tersisa hanyalah sebuah Alkitab.
Semua orang takut kepada kepala Biarawati, bahkan para biarawati lainnya, kata Pamela. Dia mengingatkan tali besar dengan rosario di sekitar pinggangnya.
"Tali dan rosario adalah 'senjata' untuk menyiksa kami. Kalau ia inspeksi tiap-tiap kamar, dan mendapati kami belum tidur. Siap-siap saja kami disabet oleh benda itu."
Ketika ia tiba, Pamela ingat harus berteriak lantang "Tuhan memberkati Inggris!" selama doa pagi, daripada menghormati Australia. Kalau ia tak semangat berteriak, sabetan dan pukulan melayang ke muka atau baadannya dari kepala biarawati itu.
Akhirnya, suster itu pensiun dan digantikan dengan seseorang yang jauh lebih baik dan lebih progresif, menurut Pamela.
Advertisement
Budak Anak
Kehidupan sehari-hari di Goodwood, diawali dengan doa pagi, tugas-tugas dan lalu sekolah, kemudian diikuti lagi oleh lebih banyak pekerjaan rumah, doa dan tidur awal pukul 18.00.
Beberapa jam sehari mereka menghabiskan waktu membuat tali gantungan untuk tukang daging gunakan untuk menggantung daging mereka.
"Itu tali yang sangat kasar dan bisa membuat jari-jariku berdarah," kata Pamela.
"Jika kamu melakukan sesuatu yang salah, diberikan hukuman penalti membuat tambahan 100 tali dan biarawati yang bertanggung jawab akan memukul kami dengan tongkatnya."
Pekerja anak tersebut membantu Goodwood mendapat dana yang layak, menurut Lynch.
Anak-anak migran sering digunakan sebagai tenaga kerja murah.
"Mereka beralasan, pekerjaan bagi anak-anak adalah kesempatan bagi bocah-bocah itu untuk belajar keterampilan yang berguna. Namun, sebenarnya, mereka diperas untuk mendapatkan bayaran demi kontribusi kepada biara," tutur Lynch lagi.
Pamela juga ingat ia pernah bekerja di ruang cuci dan menghabiskan liburan sekolah tinggal dengan keluarga untuk bekerja di rumah itu--sebagai pembantu.
"Dua anak perempuan dalam keluarga yang sangat baik untuk saya, tetapi ibu mereka hanya melihat saya sebagai tenaga kerja gratis," kenangnya lagi.
Pamela mengatakan bahwa pengalaman itu benar-benar membekas dalam dirinya. Saat pemimpin gereja datang untuk memeriksa bagaimana kondisi mereka, para biarawati akan berdiri di sampignya.
"Para biarawati akan berdiri tepat di samping kami. Kami diberi mainan saat Pastor datang menanyakan keadaan kami. Kami harus menjawab bahwa semua baik-baik saja. Sesaat ia pergi, mainan itu diambil kembali. Berapa anak yang lebih kecil ketika memegang mainan tersebut, seperti bertahun-tahun rasanya," tutur Pamela.
"Aku pernah melihat salah satu anak perempuan yang lebih kecil dariku, air matanya mengambang, memeluk boneka kecilnya, selama ditanya oleh si pastor. Pastor mengira ia bahagia. Namun, salah. Semua salah,"
Laporan Kegagalan yang Ditutupi
Kegagalan terbesar dari skema ini adalah cara pengasuhan yang salah, jelas Lynch. Pada tahun 1956, sebuah laporan bertajuk 'Ross Report' menunjukkan kegagalan tersebut. Sebuah tim inspeksi dari Home Office atau Kementerian Dalam Negeri Inggris datang ke Australia untuk melihat kenyataan di lapangan.
"Sebuah laporan yang mengerikan yang mengatakan bahwa anak-anak itu datang dari latar belakang yang menyedihkan dan miliki pengalaman traumatik di Inggris adalah mereka yang pantas dikirim ke luar negeri. Sebuah catatan kaki yang penting yang berisi temuan yang menyeramkan tidak dipublikasikan hingga 1983," beber Lynch.
Kendati telah ada laporan dan saran untuk menghentikan 'pengiriman' itu, tetap saja bocah-bocah itu dilayarkan layaknya barang.
Temuan itu menjadi bukti yang tak mudah. Home Office atau kementerian dalam negeri tidak bisa melawan Departeman Commonwealth Relations-yang bertanggung jawab atas program itu. Jadi, yang bisa Home Office lakukan adalah mencega pemerintah lokal untuk menghentikan mengirimkan anak-anak ke luar negeri.
"Apalagi, Kerajaan Inggris masih kuat dan ketakutan tidak hanya kepada pemerintah Australia, tapi juga Gereja Katolik," kata Lynch lagi.
Pemerintah Australia menolak 'Ross Report' dengan laporan yang mereka buat sendiri yang mengatakan bahwa anak-anak itu diasuh dengan baik dan tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan.
Advertisement
Sarat dengan Pelecehan Seksual
Selain kekerasan fisik, pelecehan seksual adalah realitas yang harus bocah-bocah itu hadapi. Termasuk Pamela. Ia pernah dilecehkan saat berlayar ke Australia. Saat itu ia sedang membersihkan sebuah ruangan tatkala seorang pria membekapnya dan meraba-raba tubuhnya.
"Kami diajarkan, jangan biarkan pria menyentuhmu. Itu yang aku tahu. Jadi, aku percaya saat aku diperlakukan seperti itu oleh seorang pria, aku adalah pendosa dan neraka telah menungguku," ungkap Pamela.
Pamela segera melapor kepada biarawati yang berada di atas kapal. Alih-alih mendapat perhatian kasih sayang, ia mengatakan Pamela bermimpi.
"Aku begitu takut, dan hingga beberapa tahun ke depan, aku selalu tidur dengan tangan berjaga-jaga di antara dua kakiku," kisah Pamela sambil menitikkan air mata.
Pamela juga ingat, ketika ia berhasil mengumpulkan uang, ia membeli sebuah miniatur keramik rumah Inggris.
"Aku membeli miniatur itu untuk mengingatkanku pada Inggris, kampung halamanku,"
Pada usia 18 tahun, ia tak tahan lagi. Tiga hari setelah ulang tahunnnya, ia menikahi pacarnya dan Pamela keluar dari Biara.
Tahun 1989, Pamela mengontak Children Migrants Trust, yang membantunya bertemu dengan sang ibu, Betty. Selama 40 tahun, Betty percaya Pamela diasuh oleh keluarga yang merawat dan mencintainya di Inggris.
Mereka tetap berhubungan hingga Betty meninggal, dan pada 2010, Pamela adalah salah satu dari 60 mantan migran anak yang terbang ke Inggris untuk mendengar permintaan maaf Perdana Menteri Gordon Brown.
"Jelas, aku masih mimpi buruk atas apa yang terjadi padaku. Namun, mendengar maaf, memberi sedikit kedamaian di hatiku," tutur Pamela.
"Itu menunjukkan bahwa akhirnya sesorang peduli dengan apa yang terjadi dengan kami," tutup Pamela. (Rie/Ein)