Liputan6.com, New York - Ramalan cuaca menyebut, hujan bakal mengguyur Kota New York sepanjang hari pada 16 September 1920. Namun, saat lonceng Gereja Trinity berdentang pada tengah hari, para pegawai bank dan pialang saham tetap berhamburan ke luar gedung untuk istirahat makan siang.
Jalanan di 'The Corner', sudut teramai Financial District di Lower Manhattan -- jantungnya kapitalisme di Amerika Serikat -- kemudian penuh sesak oleh para pegawai, mobil, dan bocah-bocah pembawa pesan yang hilir mudik.
Baca Juga
Kala itu, mungkin tak ada yang memperhatikan sebuah kereta kuda (wagon) tanpa kusir yang terparkir di depan 23 Wall Street, kantor pusat J.P. Morgan and Co -- raksasa keuangan yang bertahan melewati Perang Dunia I dan menjelma jadi lembaga perbankan yang paling berpengaruh di dunia. Hanya selemparan batu dari Bursa Efek New York.
Tak ada yang mengira kendaraan itu sarat bahan peledak, 100 pon atau 45,3 kilogram dinamit, juga tumpukan besi panjang penyeimbang jendela berbobot 50 pon atau 22,6 kilogram.
Gema lonceng gereja belum lagi berlalu pada pukul 12.01, ketika ledakan dahsyat yang memekakkan telinga tiba-tiba terjadi.
"Itu adalah suara paling keras yang pernah kudengar sepanjang hidupku," kata pegawai J.P. Morgan, Andrew Dunn yang menjadi saksi mata kala itu, seperti dikutip dari situs History, Kamis (15/9/2016). "Hentakannya saja cukup keras untuk menjatuhkan siapapun."
Pialang saham, Joseph P Kennedy, ayah dari presiden AS masa depan John F. Kennedy, juga tersungkur akibat momentum ledakan.
Advertisement
Dampak bom menjungkirkan trem yang berjarak satu blok dari titik ledak. Debu bercampur puing membumbung hingga ketinggian lantai 34 Gedung Equitable.
Nestapa paling dirasakan mereka yang berada di dekat kereta kuda. Serpihan besi yang ada dalam kereta yang tercerai berai berubah jadi misil mematikan -- memotong apapun yang dilaluinya.
"Saya menyaksikan ledakan, kolom asap terlontar ke udara. Dan saya menyaksikan orang-orang berjatuhan, beberapa dari mereka dengan pakaian yang terbakar," kata seorang saksi pada New York Sun.
Tak lama kemudian hujan kaca terjadi dari gedung-gedung di sekitarnya.
Sementara itu, bagian dalam gedung J.P. Morgan dipenuhi puing-puing -- yang salah satunya menghancurkan tengkorak juru tulis berusia 24 tahun William Joyce, yang sedang duduk di meja kerjanya.
Bagi para veteran Perang Dunia I, apa yang terjadi di ground zero mengingatkan mereka pada gambaran mengerikan pertempuran.
Wall Street yang biasanya anggun dan angkuh kala itu bak tanah tak bertuan, dipenuhi percikan darah, pecahan kaca, dan bagian jasad manusia yang terpisah dan terbakar. Udara pekat oleh asap dan jelaga.
"Di depan tangga yang mengarah ke bank J.P. Morgan, tergeletak jasad seorang pria yang termulitasi," tulis wartawan George Weston yang lolos dari maut karena berlindung di balik pintu. "Jasad lainnya, yang beku dalam kematian, berbaring di dekatnya."
Weston juga menyaksikan pemandangan horor seorang korban teror dalam kondisi terbakar, nyaris telanjang. "Ia berjuang untuk bangkit, namun tak kuasa, lalu roboh tak bernyawa di dekat saluran air."
Misteri Pelaku Teror
Perdagangan di Bursa Efek sontak terhenti. Sekitar 2.000 polisi dan pasukan penyelamat dikerahkan ke Wall Street untuk menyisir puing-puing.
Akibat insiden itu, 30 manusia meninggal dunia seketika, delapan korban lainnya menyusul tewas. Sementara, 143 orang mengalami luka serius, ratusan lainnya cedera ringan. Kematian juga dialami kuda penarik kereta berisi dinamit.
Itu adalah insiden teroris paling mematikan di Amerika Serikat, sampai pengeboman Oklahoma City 75 tahun kemudian.
Awalnya polisi menduga, itu kecelakaan belaka. Penyelidikan juga dihambat keputusan dewan Bursa Efek New York untuk buka seperti biasa pada hari berikutnya, untuk menunjukkan pada dunia bahwa 'bisnis harus terus berjalan seperti biasa, apapun yang terjadi, bom sekalipun'.
Sehari setelah kejadian, para pegawai berpakaian jas rapi kembali ke meja kerja mereka. Lokasi ledakan telah ditutupi atau disapu bersih dalam hitungan jam -- sebuah tindakan teledor yang bisa jadi menghilangkan bukti dan jejak penting.
Namun, keberadaan logam yang diduga kuat disengaja digunakan untuk melukai bahkan membunuh memberi petunjuk bahwa insiden itu adalah aksi teror.
Melihat dari targetnya, jantung kapitalisme Amerika pada tahun 1920-an, polisi yakin, pelakunya adalah kaum radikal anti-kapitalis, komunis, atau kelompok anarkistis -- yang dituding bertanggungjawab atas puluhan aksi peledakan pada Abad ke-19.
Target utamanya diduga pebisnis J.P. Morgan, Jr -- yang disebut-sebut mendapatkan keuntungan besar dari malapetaka Perang Dunia II. Namun, sang miliarder kala itu berada di Eropa, yang ribuan kilometer jauhnya dari lokasi ledakan. Kebanyakan korban pemboman adalah juru tulis dan pegawai biasa.
"Tak ada tujuan lain kecuali melakukan tindakan teror," tulis St. Louis Post-Dispatch. "Bom itu tidak ditujukan pada orang atau properti tertentu, namun ditujukan pada publik."
Kesimpulan tak kunjung diambil soal kasus itu. Penyelidikan resmi terakhir serangan teror Wall Street dilakukan pada tahun 1944, ketika FBI membuka kembali kasus yang beku setelah puluhan tahun.
FBI menyimpulkan, ledakan itu kemungkinan dilakukan 'anarkis atau teroris Italia'. Anggota geng antipemerintah Italia Galleanist, Mario Buda diduga sebagai pelakunya.
Buda terkait dengan dua tokoh anarkistis Nicola Sacco dan Bartolomeo Vanzetti. Ia diduga merencanakan serangan Wall Street sebagai balas dendam atas dakwaan pembunuhan dan perampokan yang salah alamat ke kelompoknya pada 11 September 1920.
Buda melarikan diri ke Italia sesaat setelah pemboman terjadi, dan tinggal di kampung halamannya hingga maut menjemput. Tak ada satupun orang yang dimintai pertanggungjawaban atas kejadian teror di Wall Street pada 16 September 1920.
Jejak teror mematikan itu masih ada di dinding marmer gedung J.P. Morgan yang berlubang akibat serpihan tajam ledakan -- satu-satunya 'monumen' untuk mengenang misteri kejahatan yang tak terpecahkan yang merenggut 38 nyawa.
Selain bom di jantung kapitalisme AS, tanggal 16 September juga menjadi momentum sejumlah kejadian penting. Pada 1963, Malaysia -- terdiri dari Malaya, Singapura, Borneo Utara Britania dan Sarawak, dibentuk.
Sementara, pada 16 September 1978 pukul 19.38, gempa dengan kekuatan 7,7 skala Ritcher (SR) mengguncang Kota Tabas, wilayah tenggara Iran. Lindu yang mengguncang selama 3 menit berakibat fatal.
Kota yang terletak 965 km dari ibukota Teheran rata dengan tanah, 40 desa dalam radius 48 kilometer dari pusat gempa hancur lebur.
Guncangan dahsyat membuat dinding-dinding rumah yang terbuat dari lumpur ambruk. Sekitar 85 persen dari penduduk Tabas--atau 11.000 dari 13.000 orang -- tewas. Ditambah korban dari wilayah lain, total nyawa yang terenggut dalam musibah itu mencapai lebih dari 20 ribu orang. Ribuan lainnya luka-luka.
Advertisement