Liputan6.com, Paris - Partai Konservatif Prancis telah memilih Francois Fillon sebagai calon presiden untuk maju dalam pilpres yang akan berlangsung tahun depan. Fillon berhasil mengalahkan rivalnya, Wali Kota Bordeaux, Alain Juppe dengan perolehan suara sekitar 66 persen.
"Kemenangan adalah milikku. Ini adalah kemenangan substantif yang dibangun atas dasar keyakinan. Kita memiliki semua aset untuk menjadi bangsa yang modern, berdaulat dalam memimpin Eropa," kata Fillon seperti dikutip dari CNN, Senin (28/11/2016).
Kelak, Fillon disebut-sebut akan menghadapi pemimpin partai sayap kanan Prancis, Front National, Marine Le Pen di putaran final pilpres. Dan sejauh ini Fillon diunggulkan untuk menggantikan Presiden Francois Hollande yang berasal dari Partai Sosialis.
Advertisement
Popularitas Hollande yang memerintah sejak tahun 2012 lalu disebut telah menurun.
"Era presiden yang terakhir ini sangat menyedihkan. Saatnya untuk diakhiri dan mulai bergerak maju sebagaimana yang tidak pernah kita lakukan selama 30 tahun terakhir Dan untuk itu kita butuh dukungan semua orang,"
Fillon (62), adalah seorang pengacara yang pada periode 2007-2012 sempat menjabat sebagai perdana menteri Prancis di bawah pemerintahan Nicholas Sarkozy.
Sosoknya merupakan seorang konservatif sosial yang berkampanye tentang pemotongan belanja publik serta pajak bagi orang kaya, melonggarkan peraturan bisnis, mengurangi imigrasi, dan akan mengucurkan investasi miliaran di sektor keamanan, pertahanan, dan peradilan.
"Aku akan melakukan segalanya bagi dunia usaha!," kata dia seraya menjanjikan kebebasan berusaha dan menciptakan lapangan kerja demi mengatasi tingkat pengangguran yang tinggi seperti dikutip dari The Guardian.
Kemenangan Fillon ini di luar prediksi berbagai kalangan. Ia dianggap berhasil memenangkan hati banyak orang melalui penampilannya dalam debat di televisi.
Kebanyakan jajak pendapat menempatkannya di urutan ketiga, namun dia tiba-tiba saja populer lewat isu perlawanan terhadap terorisme Islam dan ISIS. Ini dipicu oleh penerbitan bukunya yang berjudul, "Beating Islamic Totalitarianism."
Capres Prancis itu mengambil sikap keras terhadap ekstremisme Islam sebagaimana "kehadiran" Islam di negara itu. Ia memperingatkan bahwa "radikalisme Islam merusak komunitas muslim Prancis". Sosoknya juga merupakan salah satu pendukungan kebijakan larangan burqini.
Kini, lampu sorot mengarah ke Partai Sosialis yang belum menentukan capresnya. Sementara Presiden Hollande hingga saat ini belum memastikan pencalonan dirinya kembali.