Pilpres Mongolia 2017 di Bawah Bayang-Bayang Krisis Ekonomi

Pada Senin 26 Juni 2017, Mongolia telah melaksanakan pemilihan presiden. Capres berhaluan sentris-kanan unggul pada putaran pertama.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 27 Jun 2017, 17:27 WIB
Diterbitkan 27 Jun 2017, 17:27 WIB
Istana Pemerintahan Mongolia (Wikimedia Commons)
Istana Pemerintahan Mongolia (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Ulaan Baatar - Pada Senin 26 Juni 2017, Mongolia telah melaksanakan pemilihan presiden putaran pertama. Ada tiga kandidat yang mencalonkan diri, yakni Khaltmaagiin Battulga (sentris-kanan), Miyeegombyn Enkhbold (sosialis), dan Sainkhüügiin Ganbaatar (nasionalis).

Kandidat yang memperoleh persentase suara terbanyak adalah Battulga dari Democratic Party (DP) dengan perolehan 38,10 persen.

Di tempat kedua adalah Enkhbold dari Mongolian People's Party (MPP) dengan perolehan suara sebesar 30,30 persen.

Di posisi terakhir adalah Ganbaatar --berhaluan nasionalis-- dari Mongolian People's Revolutionary Party (MPRP) yang hanya memperoleh suara sebesar 30,19 persen.

Sebelum penghitungan suara putaran pertama, Enkhbold --yang berhaluan sosialis-- diprediksi sebagai calon kuat. Demikian seperti yang dikutip dari FOXnews.com, Selasa (27/6/2017).

Sebagai ketua MPP, Enkhbold memimpin partainya memenangai Pemilu Legislatif Mongolia yang telah lebih dulu dilaksanakan pada 2016. Partai MPP menyabet 65 dari 75 kursi parlemen unikameral.

Hasil pilpres putaran pertama dinilai mengejutkan, karena status dominan partai MPP yang dipimpin oleh Enkhbold di parlemen ternyata tidak berperan signifikan untuk meraup suara.

Alhasil, Battulga, berhaluan sentris-kanan dan berlatar karir sebagai pebisnis, berhasil memimpin perolehan suara sementara putaran pertama Pilpres Mongolia 2017.

Sementara itu, pendukung Ganbaatar, yang capresnya berada di posisi ketiga, mengadakan demonstrasi. Mereka menuduh bahwa komisi pemilu melakukan kecurangan yang mengakibatkan kekalahan capres dari partai MPRP itu. Namun, komisi pemilihan belum mengeluarkan pernyataan terkait tuduhan tersebut.

Putaran kedua Pilpres Mongolia 2017 akan diselenggarakan dalam waktu dekat, untuk menentukan presiden terpilih pengganti petahana Tsakhiagiin Elbegdorj.

 

Dibayangi Instabilitas Politik - Ekonomi

Secara keseluruhan, negara yang baru menganut demokrasi pada 1992 itu cenderung stabil. Namun, pada beberapa waktu terakhir, negara berpenduduk sekitar 3 juta jiwa itu tengah dirundung sejumlah isu, mulai dari perpecahan politik, krisis ekonomi, dan skandal korupsi di kalangan penguasa.

Khusus di sektor ekonomi, saat ini Mongolia tengah mengalami kemerosotan nilai perdagangan dengan sejumlah negara. Kemerosotan nilai perdagangan itu mengakibatkan terguncangnya ekonomi di tanah air.

Kemerosotan nilai ekonomi Negeri Gengis Khan itu dinilai cukup krusial. Sejak 2011 hingga 2016, nilai ekonomi turun sebesar 17,5 persen. Pada 2015 - 2016, pertumbuhan ekonomi Ulaan Baatar hanya meningkat sebesar 1 persen. Mongolia juga memiliki utang sebesar US$ 23 miliar, dua kali lipat dari nilai ekonomi negara.

Sementara itu, di kependudukan, sekitar satu per lima warga Mongolia hidup di bawah garis kemiskinan dan 9 persen penduduknya berstatus pengangguran.

Saat ini, Mongolia telah berhasil menandatangani surat peminjaman dengan IMF senilai US$ 5,5 miliar untuk mengatasi krisis perekonomiannya. Sekitar US$ 500 juta wajib dibayarkan kembali ke IMF pada Januari 2018.

Diapit oleh dua negara besar, terguncangnya ekonomi domestik di Mongolia turut disebabkan oleh kebangkitan perekonomian tetangga, Rusia dan China. Apalagi, Negeri Beruang Merah dan Tiongkok mulai intens menguatkan pengaruhnya di wilayah Asia sejak AS menarik diri dari kawasan.

Presiden terpilih dalam Pilpres Mongolia 2017 nanti akan memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat untuk kembali membawa stabilitas di sektor ekonomi dan politik di Negeri Gengis Khan itu.

Menurut penilaian sementara sejumlah pakar, partai MPP --dipimpin oleh Capres Enkhbold-- yang memenangi Pemilu Legislatif 2016, dianggap berpotensi memperbaiki krisis ekonomi yang melanda Mongolia. Partai MPP juga berniat untuk meneruskan program pinjaman dengan IMF, meningkatkan pajak, dan memotong sejumlah anggaran pengeluaran.

Sementara itu, Capres Battulga dengan rancangan program kebijakan 'Mongolia First'-nya --meminjam istilah 'American First' Presiden Amerika Serikat Donald Trump-- berniat untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan China sebagai salah satu strategi guna memperbaiki kemerosotan nilai perdagangan.

Battulga, yang juga mantan Menteri Pertanian 2012 - 2014, memiliki rekam jejak sebagai salah satu pebisnis mahsyur di Mongol. Perusahaannya, Genco, bergerak di multi-sektor, seperti perhotelan, media, perbankan, produksi minuman alkohol, daging kuda, dan taman wisata.

Ia juga berencana untuk tegas terhadap korupsi yang melanda Mongolia. Kubu Battulga menilai bahwa skandal rasuah juga turut memberikan dampak signifikan yang menyebabkan krisis ekonomi domestik.

Di sisi lain, Capres Ganbaatar berencana untuk meningkatkan perekonomian Mongolia dengan mengedepankan sektor pertambangan. Ia berniat untuk mengadakan kerjasama 'yang lebih menguntungkan' antara perusahaan tambang domestik, Oyu Tolgoi, dengan perusahaan tambang asal Inggris-Australia, Rio Tinto.

Sebagai orang yang paling vokal mengkritik aktivitas tambang Rio Tinto di Mongolia, Ganbaatar menegaskan agar Ulaan Baatar mampu memanfaatkan secara lebih baik dan optimal relasi kerjasama Oyu Tolgoi dengan firma pertambangan asal Inggris-Australia demi keuntungan domestik. Ganbaatar juga mengkritik kebijakan kerjasama Mongolia dengan IMF.

Saksikan juga video berikut ini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya