6 Remaja Putri Tim Robotik Afghanistan Ditolak Masuk AS

Para penemu muda itu menangis karena tak bisa bersama mesin mereka di First Global Challange, sebuah kompetisi robotik tahunan.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 02 Jul 2017, 15:00 WIB
Diterbitkan 02 Jul 2017, 15:00 WIB
6 Remaja Putri Tim Robotik Afghanistan Ditolak Masuk AS
6 Remaja Putri Tim Robotik Afghanistan Ditolak Masuk AS (First Global Challange/Independent)

Liputan6.com, Kabul - Enam remaja putri asal Afghanistan ditolak visa masuk ke Amerika Serikat. Padahal, mereka akan menjadi bagian dari kompetisi internasional robotik di Washington DC. Meski ditolak, mereka diperbolehkan mengirim robot pemilah bola ciptaannya.

Para penemu muda itu menangis karena tak bisa bersama mesin mereka di First Global Challange, sebuah kompetisi robotik yang digelar di Washingto D.C. Ini adalah kontes tahunan bagi siswa sekolah menengah atas di seluruh dunia.

Dikutip dari The Independent pada Minggu (2/7/2017), keenam remaja itu telah dua kali berjalan kaki sejauh 800 km dari Herat, sebuah kota di Afghanistan barat, ke kedutaan Amerika di Kabul untuk mengajukan visa perjalanan satu minggu.

Namun, usaha mereka terbukti sia-sia karena pejabat AS menolak permohonan mereka menyusul serangkaian wawancara.

Bos teknologi wanita pertama di Afghanistan, Roya Mahboob, yang mendirikan perusahaan perangkat lunak Citadel, mengorganisasi tim all-girl tersebut dan mengatakan bahwa mereka "menangis sepanjang hari" setelah visa mereka ditolak.

Dia mengatakan kepada Forbes, "Ini adalah pesan yang sangat penting bagi masyarakat kita. Robotik sangat, sangat baru di Afghanistan."

Para remaja putri tersebut masih mengerjakan robot pemilah bola yang akan mereka kirim untuk bersaing dengan 163 mesin lain pada Tantangan Pertama pada bulan Juli, dan akan muncul di acara tersebut melalui link video dari Herat.

Mahasiswa pascasarjana dari Carnegie Mellon University di Pennsylvania membantu siswa memprogram robot mereka, tetapi tim tersebut harus menunggu selama berbulan-bulan, sementara petugas bea cukai memeriksa bahan baku dari alat mereka di tengah kekhawatiran bahwa ISIS dapat menggunakan robot untuk melakukan teror di seluruh wilayah tersebut.

Salah satu anggota tim, Fatemah, berusia 14 tahun, mengatakan kepada Forbes, "Kami ingin menunjukkan ke dunia bahwa kami bisa, kami hanya butuh kesempatan."

Presiden penyelenggara First Global, Joe Sestak, mengatakan para remaja putri itu adalah "perempuan muda yang luar biasa berani". Sestak kecewa mereka tak bisa masuk AS.

Selain Afghanistan, tim Gambia juga ditolak visanya. Sementara dari Iran, Irak, dan Sudan diperbolehkan masuk. Padahal, tiga negara itu termasuk salah satu dari enam negara muslim yang memiliki prasyarat ketat masuk AS sesuai dengan peraturan imigran baru ala Donald Trump.

Sementara itu, Departemen Luar Negeri AS mencatat, hanya 32 visa bisnis yang diperbolehkan masuk AS dari Afghanistan pada April. Jauh lebih sedikit dibanding Irak (132) dan Pakistan (1.492) di bulan yang sama.

Ditolaknya visa remaja putri AS pun menuai kritikan. Salah satunya datang dari Jonathan Blanks, komentator dan peneliti dari Cato Insititute.

Blanks secara satire berkicau dalam Twitternya, "Saya merasa lebih aman sekarang karena kami telah menolak kesempatan seumur hidup sekelompok remaja putri masuk AS. Di mana negara mereka telah kita bom semenjak mereka lahir."

Deplu AS tidak bisa berkomentar terkait penolakan visa karena dianggap rahasia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya