Terapkan Karoshi, Dentsu Didenda dan NHK Minta Maaf

Dua karyawan di dua perusahaan Jepang yang tewas menambah semarak protes terhadap praktik kerja lembur yang berlebihan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 08 Okt 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2017, 18:00 WIB
Ilustrasi, Karoshi alias praktik jam kerja lembur berlebih yang membahayakan pekerja di Jepang (AFP)
Ilustrasi, Karoshi alias praktik jam kerja lembur berlebih yang membahayakan pekerja di Jepang (AFP)

Liputan6.com, Tokyo - Perusahaan periklanan Jepang, Dentsu dijatuhi denda oleh pengadilan karena membuat karyawannya bekerja lembur secara berlebihan, sebuah praktik yang meluas di Negeri Matahari Terbit, yang populer dengan sebutan Karoshi.

Pada Jumat 6 Oktober 2017, pengadilan di Tokyo memerintahkan Dentsu untuk membayar 500.000 yen (setara US$ 4.400) karena melanggar undang-undang ketenagakerjaan dengan menerapkan sistem jam kerja Karoshi. Demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (8/10/2017).

Praktik Karoshi di Dentsu mencuat ke permukaan setelah salah satu pekerjanya, Matsuri Takahashi ditemukan tewas bunuh diri pada 2015.

Investigasi otoritas Jepang menemukan, jam kerja Takahashi yang berlebihan -- dilaporkan lebih dari 100 jam lembur selama sebulan, beberapa waktu sebelum kematiannya-- menyebabkan Takahashi bunuh diri.

Kasus Takahashi dan tewasnya jurnalis NHK Miwa Sado pada 2013 --setelah diketahui bekerja lembur 159 jam perbulan-- semakin menambah semarak seruan kritik dan protes yang menuntut perubahan kebijakan ketenagakerjaan di Jepang.

Kebijakan Karoshi yang diterapkan oleh banyak perusahaan di Jepang --sekian di antaranya adalah Dentsu dan NHK-- telah menimbulkan sejumlah permasalahan sosial sejak 1960-an.

Apalagi, menurut sejumlah laporan, mereka yang bekerja lembur kerap tidak memperoleh upah ekstra.

Scott North, Profesor Sosiologi pascasarjana Universitas Osaka mengatakan, isu itu adalah "masalah kronis" di Jepang. Dia juga menyebut, sanksi denda yang terbilang minim, seperti yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap Dentsu, tidak akan menimbulkan efek jera terhadap perusahaan yang mempraktikkan Karoshi.

"Anda dapat melihat, kematian seorang pekerja hanya dianggap sebagai biaya kerugian yang relatif kecil bagi perusahaan," jelas North mengkritik sanksi denda pengadilan yang begitu minim terhadap Dentsu.

Di tengah meningkatnya tekanan publik, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe telah menyetujui sebuah rencana untuk melakukan reformasi sistem ketenagakerjaan, termasuk kenaikan lembur dan upah pekerja kontrak yang lebih baik.

 

NHK Minta Maaf

Masahiko Yamauchi, seorang pejabat senior di NHK, mengatakan bahwa kematian Miwa adalah "masalah bagi perusahaan itu secara keseluruhan, termasuk sistem ketenagakerjaan dan bagaimana pemilu harus diliput".

NHK pada akhirnya bersedia mengumumkan kepada seluruh karyawan di lembaga penyiaran publik itu -- setelah mendapat tekanan dari pihak keluarga -- bahwa pemicu kematian Miwa adalah Karoshi.

NHK mengeluarkan pernyataan permintaan maaf dan mengatakan bahwa hal tersebut telah menjadi sorotan publik dalam upaya mencegah tragedi di masa depan, menambahkan bahwa manajemen telah berupaya memperbaiki kondisi karyawan.

"Saya bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan orangtuanya sejak mereka kehilangan anak perempuan mereka pada usia muda 31 tahun. Kami akan terus mereformasi organisasi kami, dan saya harap mereka akan membantu kami," Ryoichi Ueda, kepala NHK, mengatakan pada sebuah konferensi pers.

 

Kepada keluarga Miwa, NHK menegaskan bahwa pihaknya tengah mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa karyawan mereka tidak bekerja dalam waktu yang panjang.

"NHK harus melanjutkan program reformasi setelah sepenuhnya menginformasikan seluruh stafnya atas kematian putri kami. Reformasi ini tidak akan pernah sempurna kecuali didasarkan pada penyesalan mendalam atas kematian seorang pekerjanya," ungkap ayah Miwa.

Dalam liputan dua menit tentang kematian Miwa yang ditayangkan News Watch 9 --yang bernaung di bawah NHK-- disebutkan, "Kami memutuskan untuk mengungkap (kematiannya) kepada seluruh karyawan kami dan membagikannya kepada publik agar tidak terulang kembali dan menindaklanjuti kasus ini dengan reformasi".

Sudah Ratusan Tewas, Perlu Perubahan?

Secara resmi, beberapa ratus kematian terkait dengan Karoshi terjadi setiap tahun. Mereka yang tewas diasosiasikan dengan kondisi seperti serangan jantung, stroke, dan bunuh diri.

"Terkadang korban kerja paksa menderita stroke atau depresi yang melemahkan yang membuat mereka hidup, namun tidak dapat bekerja," kata profesor Scott North, dari program pascasarjana Universitas Osaka.

Firma pemantau kesejahteraan tenaga kerja di Jepang mengatakan, jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi dari sekedar 'ratusan orang pertahun'.

Sebuah survei pemerintah yang dirilis tahun lalu menemukan, hampir seperempat perusahaan Jepang memiliki staf yang bekerja lebih dari 80 jam lembur sebulan dan mereka seringkali tidak dibayar.

Dari survei itu, diketahui ada sekitar 12 persen perusahaan yang memaksa karyawannya bekerja melewati ambang batas maksimum jam kerja yang diterapkan pemerintah, yakni 100 jam dalam sebulan.

Selain itu, sekitar 2.000 gugatan komplain seputar Karoshi kerap diterima pemerintah setiap tahunnya. Namun, hanya sekitar 37 persen gugatan yang sukses membuahkan kompensasi ganti rugi bagi karyawan yang bersangkutan.

Berbagai riset menyebut, waktu lembur yang mencapai atau bahkan melebihi 80 jam perbulan meningkatkan risiko kematian seorang pekerja.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengubah budaya jam kerja yang panjang, termasuk inisiatif untuk mendorong pegawai pemerintah untuk mengambil waktu cuti yang berlebih sebagai bentuk kompensasi.

Sejumlah perusahaan juga telah mewajibkan kebijakan "pulang ke rumah lebih awal".

Sebagai bentuk reformasi usai kematian Takahashi, Dentsu dilaporkan menerapkan kebijakan 'memadamkan lampu kantor tepat pukul 22.00' untuk memaksa karyawan pulang.

Sementara itu, sebuah undang-undang diimplementasikan pada 2014 untuk melawan Karoshi. Undang-undang itu berfokus pada kampanye pendidikan dan kesadaran akan bahaya jam kerja berlebih.

Namun, berbagai kebijakan itu dinilai tak cukup efektif untuk menghilangkan praktik dan budaya Karoshi.

"Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kerja Karoshi tidak bisa digambarkan sebagai sukses," kata profesor North.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya