Liputan6.com, Seoul - Ada sekitar 12 juta angkatan bersenjata di Korea Utara, sekitar 40 persennya adalah perempuan. Para serdadu wanita itu menjalani kehidupan yang tak mudah.
Serdadu wanita menjalani pelatihan, sama dengan para koleganya yang pria. Saking beratnya latihan yang dijalani, kebanyakan dari mereka berhenti menstruasi. Belum lagi ancaman pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Baca Juga
Lee So-yeon adalah mantan tentara wanita Korut. Selama 10 tahun ia tinggal di barak bersama sekitar dua lusin serdadu lainnya.
Advertisement
Mereka tidur di ranjang bertingkat. Setiap perempuan mendapat laci kecil untuk menyimpan seragam mereka. Ada dua pigura di atas setiap laci: yang memajang foto Kim Il-sung dan Kim Jong-il.
Meski satu dekade berlalu, perempuan itu masih mengingat bau yang menguar dari barak beton itu.
"Kamu banyak berkeringat. Sementara, kasur kami terbuat dari kulit padi kering, bukan katun. Jadi, matras itu menyerap bau keringat dan bau lain. Sama sekali tak nyaman," kata dia, seperti dikutip dari BBC, Selasa (21/111/2017).
Salah satu pemicu bau tak sedap itu adalah kondisi fasilitas mandi yang menyedihkan.
"Sebagai seorang perempuan, salah satu hal terberat yang kami hadapi adalah tak bisa mandi dengan benar," kata dia.
Tak ada fasilitas air panas tersedia. Pancuran terhubung langsung dengan selang ke sungai di pegunungan. "Tak jarang, kodok bahkan ular keluar melalui selang," kata Lee So-yeon, yang kini berusia 41 tahun.
Putri seorang pengajar universitas tersebut tumbuh besar di bagian utara negerinya.
Kebanyakan pria dalam keluarganya bergabung dengan militer, dan ketika kelaparan melanda Korut pada tahun 1990-an ia pun bergabung sebagai tentara. Sama seperti dirinya, ribuan perempuan lain juga memilih menjadi serdadu demi bisa makan setiap harinya.
Dada Lee So-yeon, yang kala itu masih 17 tahun saat bergabung dengan dinas tentara, juga bergolak dengan rasa patriotisme.
"Bencana kelaparan adalah momentum yang sangat rentang bagi perempuan Korut," kata Jieun Baek, penulis buku North Korea's Hidden Revolution. "Kian banyak wanita memasuki sektor industri, lebih banyak yang menjadi subjek penganiayaan, terutama pelecehan dan kekerasan seksual."
Sama seperti koleganya yang pria, para tentara perempuan juga menjalani pelatihan, meski waktunya lebih singkat.
Mereka juga diminta untuk melakukan pekerjaan sehari-hari seperti bersih-bersih dan memasak --yang tak dilakukan para serdadu pria.
"Korea Utara adalah masyarakat tradisional yang didominasi laki-laki dan peran gender tradisional tetap diberlakukan di sana," kata Juliette Morillot, penulis North Korea in 100 Questions.
Di sana kaum hawa dianggap sebagai 'ttukong unjeongsu' -- tempatnya di dapur.
Berhenti Menstruasi
Lee So-yeon menceritakan, akibat latihan keras dan kian menipisnya suplai makanan, berdampak pada para tentara perempuan.
"Setelah enam bulan hingga setahun bergabung, kami tak lagi mengalami menstruasi. Malnutrisi dan lingkungan yang penuh tekanan jadi penyebabnya," kata dia.
"Namun, para tentara perempuan justru bersyukur tak lagi menstruasi. Sebab, jika harus mengalaminya tiap bulan, kami akan dihadapkan pada situasi yang lebih sulit."
Lee So-yeon menambahkan, pihak militer kala itu tak menyediakan perlengkapan bagi perempuan untuk menghadapi menstruasi.
"Perempuan pada masa itu masih menggunakan kain putih sebagai penampung darah," kata Juliette Morillot. "Mereka harus mencucinya tiap malam atau dini garu, ketika para pria tak bisa melihatnya."
Berbeda dengan Lee So-yeon yang jadi tentara secara sukarela, mulai 2015 diumumkan bahwa semua wanita di Korea Utara harus menjalani wajib militer tujuh tahun sejak usia 18 tahun.
Pada saat itu, Pemerintah Korut berjanji akan mendistribusikan tampon atau pembalut premium dengan merek Daedong ke seluruh unit tentara wanita.
Produk kosmetik Pyongyang Products juga baru-baru ini dibagikan pada sejumlah unit penerbang wanita -- menyusul seruan dari Kim Jong-un agar produk dandanan negaranya bisa bersaing dengan merek dunia semisal Lancome, Chanel and Christian Dior.
Meski demikian, sejumlah tentara wanita yang ditempatkan di pedesaan tak selalu punya akses ke toilet tertutup dan terpaksa buang air di ruang terbuka, membuat mereka dalam posisi rentan.
Advertisement
Rentan Kejahatan Seksual
Menurut dua penulis, Jieun Baek dan Juliette Morillot, kejahatan seksual marak menimpa para tentara perempuan.
Saat menanyai sejumlah tentara Korut, Morillot mengaku hal itu terjadi pada orang lain. Tak ada satupun yang mengklaim sebagai korban.
Lee So-yeon mengatakan, ia tak mengalami kejahatan seksual selama bergabung dalam angkatan bersenjata sejak 1992 hingga 2001. Namun, banyak 'kamerad' atau rekannya yang mengalaminya.
"Komandan akan tinggal di kamarnya dalam unit setelah beberapa jam dan memperkosa para tentara perempuan yang berada di bawah komandonya. Itu terus-menerus terjadi," kata dia.
Militer Korea Utara menetapkan bahwa pelecehan seksual adalah kejahatan yang sangat serius, dengan hukuman penjara sampai tujuh tahun bagi mereka yang terbukti melakukan pemerkosaan.
"Tapi hampir tidak ada orang yang mau bersaksi. Jadi, para pria sering tidak dihukum," kata Juliette Morillot.
Dia menambahkan, sikap diam terhadap pelecehan seksual di kalangan tentara berakar pada sikap patriarki masyarakat Korea Utara.
Ia menambahkan, perempuan dari latar belakang miskin yang direkrut menjadi anggota brigade konstruksi, dan ditempatkan di barak kecil tak permanen atau gubuk, menjadi pihak paling rentan.
Lee So-yeon, yang bertugas sebagai sersan di unit sinyal yang dekat dengan perbatasan Korea Selatan, akhirnya meninggalkan militer pada usia 28 tahun.
Dia merasa lega bisa memiliki kesempatan untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarganya, namun tak memiliki bekal hidup di luar militer, ia harus berjuang mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pada tahun 2008 dia memutuskan untuk melarikan diri ke Korea Selatan.