Nilai Tukar Lira Turki Jatuh, Recep Tayyip Erdogan Boikot Produk Amerika Serikat

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menegaskan bahwa pemerintahannya segera memboikot produk-produk asal Amerika Serikat, termasuk iPhone.

oleh Afra Augesti diperbarui 15 Agu 2018, 12:31 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2018, 12:31 WIB
Angkat Bicara, Pejabat Dunia Kecam Kebijakan Trump Soal Yerusalem
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memberi keterangan saat menggelar pertemuan di Ankara, Turki (5/12). Karena kebijakan Trump soal Yerusalem, Erdogan akan memutus semua hubungan diplomatik dengan Israel. (Yasin Bulbul / Pool via AP)

Liputan6.com, Ankara - Recep Tayyip Erdogan menekankan bahwa Turki akan memboikot produk elektronik dari Amerika Serikat, menyusul sanksi yang dijatuhkan oleh AS terhadap Turki lantaran menahan seorang pastor evangelis Negeri Paman Sam, Andrew Craig Brunson.

"Kami akan memboikot produk elektronik AS," katanya, seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (15/8/2018). "Jika AS punya iPhone, negara lain memiliki Samsung, maka di negara kami ada Venus Vestel buatan dalam negeri."

Erdogan mengakhiri kebungkamannya seputar sengketa diplomatik yang meruncing antara Turki-AS menyangkut Brunson pada Sabtu, 28 Juli 2018. Brunson yang berusia 50 tahun ditangkap pada Desember 2016 dan dipenjara, sampai kemudian menjadi tahanan rumah pada Juli lalu dan menghadapi tuduhan melakukan kegiatan teroris di Turki.

Akibatnya, Presiden Donald Trump, pada Kamis 26 Juli, menetapkan sanksi terhadap Turki --sekutu penting dalam NATO-- atas perlakuan Turki terhadap Brunson. Pastor ini sudah tinggal di Turki selama 23 tahun dan memimpin Gereja Kebangkitan Izmir (Izmir Resurrection Church).

Langkah AS tersebut kian memperparah nilai tukar mata uang Turki, lira. Lira jatuh ke posisi terendah 7,24 terhadap dolar AS di perdagangan Asia pada Senin pagi, 13 Agustus. Hal tersebut memangkas kerugian yang sebelumnya berada di posisi 6,86 per dolar AS.

Lira telah menyusut lebih dari 45 persen pada 2018. Hal tersebut dipicu oleh kekhawatiran tentang pengaruh Erdogan terhadap ekonomi, lantaran memburuknya hubungan dengan AS.

Pada Jumat pekan lalu, lira jatuh 18 persen dan mengalami penurunan terbesar sejak 2001. Sebelumnya, Recep Tayyip Erdogan menantang para penentangnya mengenai suku bunga tinggi. Suku bunga tinggi, menurutnya, hanya dijadikan alat eksploitasi dan Turki tidak akan jatuh ke dalam perangkap ini.

"Mereka menggunakan ekonomi sebagai senjata untuk melawan kami, seperti yang telah mereka lakukan di bidang diplomasi, militer, atau upaya untuk tidak menstabilkan sosial dan politik," klaim Erdogan.

Menteri keuangan dan perbendaharaan, Berat Albayrak --yang merupakan menantu laki-laki Erdogan-- mengatakan pada Selasa kemarin bahwa ada masalah struktural yang harus ditangani dengan segera. Reformasi "nyata dan efektif" menjadi bagian terpenting dari kebijakan ekonomi negara.

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Turki Jadi Target Perang Ekonomi AS dan Negara Lain

Liga Europa-Presiden Erdogan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyapa para suporter saat pertandingan Fenerbahce melawan Sturm Graz di Stadion Ulker Fenerbahce di Istanbul (3/8). Fenerbahce menang dengan agregat 3-2. (AFP Photo/Ozan Kose)

Recep Tayyip Erdogan, pada Sabtu 11 Agustus 2018, mengatakan bahwa masalah-masalah ekonomi di negaranya disebabkan oleh Amerika Serikat (AS) dan negara lain yang "melancarkan perang ekonomi" terhadap Turki.

Komentar itu datang dalam rangka menanggapi kejatuhan nilai mata uang Turki, lira, terhadap dolar AS menyusul diterapkannya sanksi dan tarif oleh Amerika pada sektor impor baja dan alumunium dalam dua pekan belakangan. Demikian seperti dikutip dari media Kanada Global News, Minggu 12 Agustus 2018.

Dalam tajuk opini di New York Times yang dipublikasikan pada Jumat 10 Agustus, Erdogan menulis: "kegagalan untuk membatalkan tindakan sepihak (unilateralisme) dan sikap tidak hormat (dari AS) akan mengharuskan kami untuk mulai mencari kawan dan sekutu baru." Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia.

Turki dan AS bertikai pekan lalu mengenai kegagalan Turki untuk membebaskan seorang pastor AS bernama Andrew Brunson dari tahanan rumah, sementara dia menunggu sidang atas dakwaan terorisme. Brunson telah ditahan selama 20 bulan belakangan atas tuduhan bahwa dia mendukung kelompok-kelompok yang dianggap sebagai teroris oleh pemerintah Turki.

Sebagai balasan atas penolakan Turki untuk membebaskan Brunson dari tahanan rumah, AS menjatuhkan sanksi terhadap dua pejabat Turki. Selain itu, Jumat, Presiden Donald Trump mentweet bahwa dia menaikkan tarif atas impor baja dan alumunium dari Turki. Dia mencuit di Twitter, "Hubungan kami dengan Turki kurang baik saat ini."

Tarif bea impor atas alumunium Turki akan naik sampai 20 persen dan tarif baja akan naik sampai 50 persen, menurut Trump.

Gedung Putih menepiskan tuduhan-tuduhan itu sebagai hal yang tidak berdasar dan menuduh Turki menjadikan Brunson sebagai sandera. Turki berencana mengadili pendeta asal AS itu.

Masalah pendeta Brunson itu mengakibatkan ambruknya nilai mata uang Turki karena para investor takut Amerika Serikat akan menjalankan sanksi-sanksi ekonomi. Selama seminggu terakhir, mata uang lira mengalami tekanan kuat, dan ini diperparah oleh gagalnya pembicaraan diplomatik di Washington minggu ini.

Presiden Turki berpidato di depan para pendukungnya di kota Bayburt.

"Kita tidak akan kalah dalam perang ekonomi ini," kata Erdogan pada hari Jumat. "Turki akan melawan para teroris ekonomi seperti kami melawan komplotan kudeta dua tahun yang lalu," tegasnya.

Presiden Turki itu menuduh negara-negara Barat berusaha menggulingkannya dengan menciptakan krisis keuangan, kendati telah gagal dalam melancarkan kudeta tahun 2016 itu.

"Sejumlah negara telah bertindak keliru dengan melindungi para pelaksana kudeta itu, dan hubungan kami dengan negara-negara seperti ini telah mencapai tahapan yang tidak bisa diselamatkan lagi," tambah Erdogan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya