PM Malaysia Desak Myanmar untuk Beri Etnis Rohingya Status Kewarganegaraan

Dalam pidatonya di KTT ASEAN di Singapura, PM Malaysia Mahathir Mohamad juga mendesak Myanmar memberikan Rohingya kewarganegaraan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 14 Nov 2018, 17:01 WIB
Diterbitkan 14 Nov 2018, 17:01 WIB
Resmi Dilantik, Mahathir Mohamad menjadi PM Tertua di dunia
Perdana Menteri Malaysia baru, Mahathir Mohamad memberi keterangan saat konferensi pers di Petaling Jaya, Malaysia (10/8). Di usia 92 tahun, pemimpin koalisi oposisi Pakatan Harapan itu menjadi pemimpin terpilih tertua di dunia. (AP Photo / Sadiq Asyraf)

Liputan6.com, Singapura - Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengomentari sikap pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi terkait penangangan etnis Rohingya. Ia diduga melakukan tindak kekejaman terhadap etnis minoritas Rohingya yang "tidak dapat dipertanggungjawabkan".

Komentar Mahathir menambah daftar kritik dari sejumlah figur tinggi negara dunia yang telah membayangi pemenang Hadiah Nobel Perdamaian itu sejak krisis kemanusiaan Rohingya pecah pada Agustus 2017.

Mahathir mengatakan dia "sangat kecewa" oleh kegagalan Aung San Suu Kyi untuk membela Rohingya, kelompok minoritas tanpa kewarganegaraan yang terusir dari Myanmar dalam jumlah ratusan ribu pada tahun lalu oleh kampanye militer yang menurut para penyelidik PBB merupakan aksi genosida.

"Seseorang yang telah ditahan sebelumnya (Suu Kyi pernah ditahan oleh rezim militer Myanmar pada beberapa dekade lalu) harus mengetahui penderitaan dan tidak boleh membebankannya pada orang malang lainnya," kata Mahathir di sela-sela pidato yang ia sampaikan dalam KTT ASEAN di Singapura, seperti dikutip dari Channel News Asia, Rabu (14/11/2018).

"Tetapi tampaknya Aung San Suu Kyi sedang mencoba membela apa yang tidak dapat dipertahankan," katanya kepada wartawan. "Mereka sepertinya menindas orang-orang ini sampai membunuh mereka, pembunuhan massal."

Sebuah laporan PBB pada bulan Agustus merinci tindakan militer Myanmar dengan niat genosida yang dimulai pada tahun 2017 dan membuat ratusan ribu etnis Rohingya dari negara bagian Rakhine terpaksa melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.

Myanmar membantah sebagian besar tuduhan dalam laporan itu. Aung San Suu Kyi sebelumnya mengatakan pemerintah sipilnya tidak harus menanggung semua tanggung jawab atas krisis karena militer tetap memiliki peran politik yang kuat di bawah konstitusi.

Aung San Suu Kyi, yang berada di Singapura untuk KTT ASEAN, telah banyak dikritik oleh masyarakat internasional atas penanganan krisis Rohingya.

Amnesty International mengatakan pada hari Selasa bahwa mereka telah menarik penghargaan hak asasi manusia yang paling bergengsi dari Aung San Suu Kyi, menuduh dia mengabadikan pelanggaran HAM dengan tidak berbicara tentang kekerasan terhadap Rohingya.

PM Mahathir: Myanmar harus Menerima Rohingya Sebagai Warga Negara

PM Mahathir juga mengimbau Myanmar untuk menerima Rohingya sebagai warga negara.

"Ketika Malaysia merdeka pada tahun 1957, kami memiliki orang-orang yang berasal dari luar negeri ... tetapi kami menerima semuanya," katanya.

"Mereka sekarang warga negara, mereka memainkan peran penuh dalam politik negara, mereka bebas, mereka tidak ditahan karena ras atau semacamnya."

Myanmar bersikeras bahwa Rohingya adalah etnis pelarian dari Bangladesh, meskipun banyak yang hidup selama beberapa generasi di negara bagian Rakhine barat.

Negara-negara Asia Tenggara akan menyerukan mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman di negara Rakhine Myanmar sebagai pihak yang "bertanggung jawab penuh", menurut rancangan pernyataan yang disiapkan untuk KTT ASEAN, yang mencerminkan garis kuat yang diambil dalam kelompok itu.

 

Simak video pilihan berikut:

 

Amnesty International Cabut Gelar Kehormatan Aung San Suu Kyi

Akhiri Masa Diam, Aung San Suu Kyi Angkat Bicara Soal Krisis Rohingya
Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menyampaikan pidato nasional terkait Rohingya di Naypyidaw (19/9). Dalam pidatonya, ia menjelaskan bahwa Pemerintah Myanmar tidak lari dari tanggung jawab. (AFP Photo/Ye Aung Thu)

Sebelumnya, Amnesty International menarik sebuah penghargaan hak asasi manusia (HAM) bergengsi dari Aung San Suu Kyi. Langkah tersebut dilakukan setelah apa yang digambarkan sebagai "pengkhianatan memalukan" dari nilai-nilai yang pernah dipegang oleh sang pemimpin Myanmar.

Keputusan tersebut adalah yang terbaru dalam serangkaian penarikan penghargaan milik Aung San Suu Kyi, termasuk piala Elie Weisel dari Holocaust Museum dan Freedom of the City, yang dicabut oleh gabungan insitusi pendidikan bergengsi di Edinburgh, Oxford, Glasgow dan Newcastle.

Dikutip dari The Guardian pada Selasa, 13 November 2018, Amnesty International mengatakan sehari sebelumnya pada hari Senin, bahwa Aung San Suu Kyi tidak lagi menjadi simbol harapan. Oleh karena itu, lembaga yang bermarkas di London itu memutuskan menarik gelar kehormatan tertinggi sebagai duta penghargaan hati nurani.

Aung San Suu Kyi disebut tidak peduli terhadap kekejaman yang jelas terlihat pada nasib kelompok etnis Rohingya. Ia juga dinilai membiarkan peningkatan intoleransinya terhadap kebebasan berpendapat.

Duta penghargaan hati nurani diberikan pada Aung San Suu Kyi pada 2009, saat ia masih menjalani tahanan rumah, terkait perannya dalam memperjuangkan perdamaian dan demokrasi.

Suu Kyi digambarkan sebagai "simbol harapan, keberanian dan pembelaan abadi hak asasi manusia" oleh Irene Khan, Sekretaris Jenderal Amnesty International saat itu.

Kumi Naidoo, sekretaris jenderal organisasi terkait saat ini, mengatakan dalam sebuah surat resmi kepada Aung San Suu Kyi bahwa gelar tersebut tidak lagi dapat dibenarkan.

"Harapan kami adalah Anda akan terus menggunakan otoritas moral untuk berbicara, menentang ketidakadilan di mana pun Anda melihatnya, tidak hanya di Myanmar sendiri," tulis Naidoo dalam surat itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya