Paus Fransiskus Mengakui Kekerasan Seksual yang Dilakukan Para Pendeta

Paus Fransiskus telah mengakui bahwa skandal para pendeta di lingkungan Gereja Katolik yang melakukan pelecehan seksual terhadap para biarawati

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 06 Feb 2019, 08:30 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2019, 08:30 WIB
Jubah Paus Fransiskus
Paus Fransiskus (AFP PHOTO / FILIPPO MONTEFORTE)

Liputan6.com, Abu Dhabi - Pemimpin Vatikan, Paus Fransiskus telah mengakui bahwa para pendeta di lingkungan Gereja Katolik melakukan pelecehan seksual terhadap para biarawati, dan dalam satu kasus, perilaku itu menjadi bentuk kekerasan ketika korban disimpan sebagai budak seks.

Dia mengatakan, pendahulunya, Paus Benediktus, pernah terpaksa menutup seluruh kongregasi biarawati karena dilecehkan oleh para pendeta, demikian seperti dikutip dari BBC, Rabu (6/2/2019).

Diperkirakan ini adalah pertama kalinya Paus Fransiskus mengakui skandal pelecehan seksual biarawati oleh para pendeta.

Dia mengatakan Vatikan berusaha untuk mengatasi masalah tersebut tetapi menambahkan hal itu "masih berlangsung".

Paus Fransiskus membuat komentar pada Selasa 5 Februari 2019 kepada para wartawan saat melakukan perjalanan bersejarah ke Timur Tengah.

Dia mengakui bahwa para pendeta dan uskup telah melecehkan biarawati, tetapi mengatakan Gereja sadar akan masalah ini dan "mengusahakan" agar kejadian serupa tidak terulang di lingkungan Gereja Katolik lain.

"Itu jalan yang sudah kita lalui," katanya.

"Paus Benediktus memiliki keberanian untuk membubarkan sebuah jemaat perempuan pada tingkat tertentu, karena perbudakan perempuan ini telah memasukinya - perbudakan, bahkan sampai pada titik perbudakan seksual."

Paus Fransiskus mengatakan pelecehan seksual terhadap biarawati adalah masalah yang terus-menerus terjadi tetapi sebagian besar terjadi di "sejumlah jemaat, terutama yang baru".

November 2018, organisasi global biarawati Gereja Katolik mengecam "budaya keheningan dan kerahasiaan" yang mencegah mereka berbicara.

Beberapa hari yang lalu majalah perempuan Vatikan, Women Church World, mengutuk pelecehan itu, mengatakan dalam beberapa kasus biarawati dipaksa untuk menggugurkan anak-anak hasil hubungan dengan pendeta --sesuatu yang dilarang oleh Katolik.

Majalah itu mengatakan gerakan tagar #MeToo telah membuat lebih banyak perempuan berani maju menyuarakan pengalaman mereka tentang kekerasan seksual.

 

Simak video pilihan berikut:

 

Paus Fransiskus dan Ulama Arab Teken Nota Perdamaian

Pertama Kali, Paus Fransiskus Kunjungi Uni Emirat Arab
Paus Fransiskus berbincang dengan Putra Mahkota Mohamad bin Zayed Al-Nahyan saat tiba di bandara Internasional Abu Dhabi di Uni Emirat Arab (3/2). Paus akan memimpin misa terbuka di Zayed Sports City. (AP Photo/Andrew Medichini)

Para pimpinan tertinggi Islam Sunni mendesak umat muslim Timur Tengah untuk "merangkul" orang-orang kristiani setempat.

Sheikh Ahmed al-Tayeb, imam besar al-Azhar di Mesir, mengatakan dalam pertemuan antaragama di Abu Dhabi yang dihadiri oleh Paus Fransiskus, bahwa umat kristiani adalah "sahabat kami".

Dia juga meminta umat Islam di Barat untuk berintegrasi ke dalam komunitas mereka sambil mempertahankan identitas mereka, demikian sebagaimana dikutip dari BBC pada Selasa (5/2/2019).

Dalam pidatonya, Paus Fransiskus menyerukan penghentian perang di Timur Tengah.

Kepala Gereja Katolik Roma, yang melakukan kunjungan resmi pertamanya ke semenanjung Arab, mengatakan "konsekuensi yang ditakdirkan" dari kekerasan dapat dilihat di Yaman, Suriah, Irak dan Libya.

Uni Emirat Arab adalah bagian dari koalisi yang dipimpin Arab Saudi, yang intervensi dalam konflik di Yaman ikut memicu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Syekh Ahmed dan Paus Fransiskus berbicara di depan sekelompok perwakilan agama di Komplek Memorial Pendiri Abu Dhabi pada Senin malam, setelah sebelumnya menandatangani "Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama".

Dokumen itu menyerukan para pemimpin dunia untuk bekerja bersama dalam "menyebarkan budaya toleransi", dan "mengintervensi pada kesempatan paling awal untuk menghentikan penumpahan darah tak berdosa, serta mengakhiri perang, konflik, kerusakan lingkungan, kemunduran moral dan budaya dunia saat ini".

Selain itu, dokumen terkait juga mencakup kecaman keras terhadap mereka yang menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan kekerasan.

"Tuhan, Yang Maha Kuasa, tidak perlu dibela oleh siapa pun dan tidak ingin nama-Nya digunakan untuk meneror orang," kata Paus.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya