Liputan6.com, Jakarta - Hubungan antara penciuman dan kesehatan sering diabaikan, namun sebuah penelitian menunjukkan bahwa indra penciuman yang buruk dapat memberi pertanda timbulnya penyakit Parkinson dan bahkan kematian dini dari seseorang dalam 10 tahun ke depan.
Untuk menyelidiki lebih lanjut, Honglei Chen dari Michigan State University dan rekan-rekannya menganalisis data dari 2.000 orang dewasa berusia 71 hingga 82 tahun.
Setiap dari mereka diminta untuk melakukan tes yang bisa menilai seberapa baik seseorang dalam mengidentifikasi 12 aroma, seperti kayu manis, lemon, bensin, dan asap. Tim ilmuwan kemudian melacak kelangsungan hidup para peserta selama 13 tahun sesudahnya.
Advertisement
Baca Juga
Bila dibandingkan dengan mereka yang mendapat nilai tinggi pada uji coba bau-bauan, partisipan yang mampu mengidentifikasi dengan benar dari 8 aroma (46%) lebih mungkin cepat meninggal dalam 10 tahun mendatang, dan (30%) lebih mungkin wafat pada akhir 13 tahun kemudian.
Dalam menganalisis data, tim peneliti menemukan bahwa indra penciuman yang lebih buruk tidak terkait dengan kematian akibat kanker atau penyakit pernapasan, tetapi sangat bersangkutan dengan kematian akibat penyakit Parkinson dan demensia.
"Dan sedikit punya relasi dengan kematian akibat penyakit kardiovaskular," jelas Chen, yang dikutup dari New Scientist, Selasa (30/4/2019).
Diperkirakan bahwa penciuman yang memburuk dapat mengurangi minat seseorang pada makanan, yang mengarah pada penurunan berat badan dan kesehatan tubuh.
Tetapi tim tersebut menemukan bahwa penurunan berat badan, demensia, dan penyakit Parkinson bersama-sama hanya menjelaskan sekitar 30% kematian yang lebih tinggi terkait dengan indra penciuman yang buruk.
Sayangnya, kata Chen, orang-orang kerap tidak menyadari cara kerja indra penciumannya yang merosot dan sangat jarang ada dokter yang memeriksa indra penciuman pasiennya.
"Di masa depan, karena implikasi kesehatan potensial ini telah diungkapkan, mungkin bukan ide yang buruk untuk memeriksa indra penciuman Anda ketika Anda check up rutin ke dokter," tandas Chen.
Usia dan Kematian Manusia Bisa Diprediksi dengan Cara Ini?
Sementara itu, menurut ilmuwan Rusia, jaringan saraf dapat memprediksi panjang usia dan bahkan kemungkinan kematian manusia. Temuan ini membantu mengembangkan aplikasi seluler baru untuk mengetahui angka harapan hidup.
Percaya atau tidak, tubuh Anda tidak semuda dan setua yang Anda rasakan. Tingkat aktivitas fisik Anda ternyata dapat mengungkap lebih banyak tentang kemungkinan panjang usia Anda daripada umur Anda yang sesungguhnya.
Para pendiri perusahaan rintisan (start up) biotek Rusia, Gero, percaya bahwa beberapa indikator, seperti tekanan darah, dapat mengungkapkan banyak informasi mengenai kesehatan dan bahkan risiko kematian seseorang.
Bersama dengan para ilmuwan dari Institut Fisika dan Teknologi Moskow (MIPT), Gero menganalisis data klinis 10 ribu orang berdasarkan Survei Kesehatan dan Gizi Nasional (NHANES) 2003 hingga 2006.
Data penelitian NHANES berisi informasi tentang bagaimana orang-orang dengan berbagai kondisi kesehatan yang berbeda bergerak saat memakai pelacak kebugaran.
"Orang yang sehat dan muda dapat dengan mudah beralih dari istirahat ke gerakan-gerakan cepat, tetapi orang yang sakit atau lanjut usia harus bangkit dari kursi secara perlahan dan bertahap," kata Dr. Peter Fedichev, direktur sains Gero dan kepala labaratorium MIPT
"Algoritma kami dapat mengungkapkan orang-orang yang memiliki harapan hidup lebih pendek dibandingkan dengan rata-rata populasi."
Jaringan syaraf sudah bisa mendeteksi aritmia (suatu tanda atau gejala dari gangguan detak jantung atau irama jantung) dalam data elektrokardiogram (EKG) -- grafik yang merekam aktivitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu -- mengambil penanda biologis (biomarker) usia dari tes darah dan memprediksi kematian berdasarkan catatan medis elektronik.
"Terinspirasi oleh contoh-contoh ini, kami mengeksplorasi potensi kecerdasan buatan (AI) untuk penilaian risiko kesehatan berdasarkan aktivitas fisik manusia," kata Fedichev.
Satu minggu pengukuran aktivitas cukup bagi jaringan saraf untuk memprediksi usia biologis dan risiko kematian. Fedichev mengklaim bahwa algoritma berbasis AI yang dibuat oleh Gero telah mengungguli model-model usia biologis dan risiko kematian yang sebelumnya tersedia dari data yang sama.
Perusahaan asuransi jiwa dan kesehatan akan mendapatkan manfaat terbesar dari teknologi Gero.
"AI dapat digunakan untuk lebih memperbaiki model-model risiko," kata Fedichev, seraya menambahkan bahwa kombinasi teori penuaan dengan alat pembelajaran mesin modern yang paling kuat akan membantu mengurangi risiko dalam asuransi, perencanaan pensiun, dan berkontribusi terhadap terapi antipenuaan.
Advertisement
Kemampuan Indra Penciuman Orang Obesitas Buruk
Obesitas ternyata juga memiliki pengaruh terhadap penciumanseseorang. Para peneliti dari University of Otago di Selandia Baru menemukan hubungan mengejutkan dari dua hal tersebut.
Penelitian yang dipublikasikan di Obesity Review ini mengumpulkan makalah ilmiah tentang hubungan antara berat badan dan indra penciuman. Mereka juga mengumpulkan informasi dari hampir 1.500 orang dari studi di seluruh dunia baik empiris dan klinis.
"Kami menemukan, pada kenyataannya, ada hubungan yang kuat antara berat badan dan kemampuan menciumnya," kata penulis utama studi Mei Dr. Mei Peng dari Departemen Ilmu Pangan University of Otago.
"Semakin baik seseorang bisa mencium, semakin besar kemungkinan orang tersebut menjadi langsing atau sebaliknya."
Peng menambahkan, bau memainkan peran penting dalam perilaku makan seseorang.
Ini mempengaruhi cara kita untuk mengidentifikasi dan memiliki di antara berbagai rasa. Sehingga, indera penciuman yang buruk bisa menyebabkan orang membuat pilihan makanan yang tidak sehat dan meningkatkan risiko obesitas.
"Misalnya, mereka mungkin memiliki atau lebih tertarik pada makanan yang lebih asin dan lezat seperti bacon dan sirup maple, daripada makanan yang lebih hambar seperti sereal rendah lemak dengan sedikit gula."
Berdasarkan temuan itu, para peneliti memiliki hipotesis bahwa obesitas mengubah metabolisme seseorang. Hal tersebut mempengaruhi jalur komunikasi antara usus dan otak.
Peng berharap, temuan ini meningkatkan kesadaran tentang kebiasaan makan dan kemampuan tubuh kita.