Kisah Protes dari Hong Kong yang Menginspirasi Dunia

Dalam empat bulan belakangan ini, protes massa antipemerintah di Hong Kong telah menarik perhatian dunia.

diperbarui 26 Okt 2019, 09:47 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2019, 09:47 WIB
Ribuan PNS Hong Kong Ikut Demo Tolak RUU Ekstradisi
Seorang pria berteriak menggunakan pengeras suara saat ribuan pegawai negeri sipil (PNS) mengikuti unjuk rasa menolak RUU Ekstradisi di Hong Kong, Jumat (2/8/2019). Aksi para pegawai negeri sejatinya telah ditentang oleh pemerintah Hong Kong. (LAUREL CHOR/AFP)

Hong Kong - Mulai dari memblokir bandara hingga gunakan aplikasi pengiriman pesan terenkripsi. Cara demonstran antipemerintah di Hong Kong kian banyak diadopsi oleh pengunjuk rasa di wilayah lain seperti di Indonesia dan Catalonia.

Dalam empat bulan belakangan ini, seperti dikutip dari DW Indonesia, Sabtu (25/10/2019), protes massa antipemerintah di Hong Kong telah menarik perhatian dunia. Dilengkapi teknologi komunikasi modern, para demonstran memfokuskan kemarahan mereka kepada pemerintah Hong Kong, lembaga kepolisian dan simbol-simbol pemerintahan Beijing.

Protes yang mayoritas berjalan tanpa pemimpin ini berarti mereka telah meninggalkan hirarki tradisional pergerakan politik. Para pengunjuk rasa di Hong Kong malah merencanakan aksinya melalui struktur organisasi yang terdesentralisasi.

Untuk memfasilitasi kelancaran berbagi informasi, warga Hong Kong mengandalkan aplikasi pengiriman pesan seperti Telegram dan peta online yang membantu pengunjuk rasa secara langsung melihat lokasi keberadaan polisi. Mulai dari memblokade jalan-jalan hingga menciptakan gangguan lalu lintas udara, taktik Hong Kong telah menjadi "contoh buku teks" bagi para pengunjuk rasa di negara lain.

Protes Serupa

Pro-Kemerdekaan Catalonia
Pengunjuk rasa membawa bendera Catalonia melompat ke jalur kereta api di Stasiun Sants di Barcelona (8/11). Pengunjuk rasa memblokir jalan dan jalur kereta api setelah para pemimpin separatis ditahan di Madrid. (AFP Photo/Lluis Gene)

Protes antipemerintah baru-baru ini juga terjadi di tempat-tempat seperti Indonesia dan wilayah Catalonia, Spanyol.

Di Indonesia, demonstrasi yang belakangan terjadi adalah salah satu aksi mahasiswa terbesar sejak protes massa yang menggulingkan Suharto pada tahun 1998. Pemicu protes kali ini adalah kemarahan terhadap undang-undang yang menurut para mahasiswa telah melemahkan perang melawan korupsi dan sejumlah pasal kontroversial lain, termasuk hukum pidana yang mengatur seks di luar nikah.

Protes seringnya berubah menjadi kekerasan. Demonstran berkumpul di depan gedung-gedung pemerintah, membakar ban dan melempar batu serta bom molotov ke arah pasukan keamanan. Polisi merespons dengan menembakkan gas air mata dan meriam air ke arah para pengunjuk rasa.

Menurut dua orang mahasiswa yang berpartisipasi dalam unjuk rasa tersebut, informasi tentang aksi demonstrasi disebarluaskan melalui media sosial dan aplikasi pengiriman pesan.

Untuk membantu para demonstran memperoleh pengetahuan dasar tentang cara menangani gas air mata, beberapa siswa menerjemahkan video dan artikel tentang taktik pengunjuk rasa di Hong Kong dalam meredakan pengaruh gas air mata ke dalam Bahasa Indonesia.

"Kami berbagi informasi tentang bagaimana menangani gas air mata melalui grup WhatsApp, grup Line, Twitter, dan Instagram," kata seorang mahasiswa ilmu komputer berusia 23 tahun yang tidak ingin disebutkan namanya. "Saya juga mengorganisir kelompok diskusi untuk membicarakan taktik para demonstran Hong Kong dan latar belakang protes mereka."

Seorang mahasiswi mengatakan kepada DW bahwa banyak pengunjuk rasa di Indonesia menutupi wajah mereka selama protes. Ini adalah sebuah taktik yang telah banyak dipakai oleh para demonstran Hong Kong. "Penting bagi kami untuk tetap fleksibel," katanya. "Kegigihan yang ditunjukkan Hong Kong selama beberapa bulan terakhir benar-benar menginspirasi."

 

Mencontek Taktik

Mantan Pemimpin Catalonia Ditahan, Demonstran Bentrok dengan Polisi
Demonstran pro kemerdekaan Catalonia merusak tempat sampah dan besi pembatas di Barcelona, Spanyol, Minggu (25/3). Demonstran memprotes penangkapan mantan pemimpin ekstrem Catalonia, Carles Puigdemont. (Foto AP/Emilio Morenatti)

Sementara di Catalonia, kelompok separatis yang memprotes ditahannya sembilan pemimpin mereka, secara terbuka meniru cara-cara yang dipraktekkan di Hong Kong.

Tidak lama setelah Mahkamah Agung Spanyol menghukum sembilan pemimpin Catalan dengan hukuman penjara hingga 13 tahun karena berperan dalam upaya kemerdekaan pada 2017 yang kemudian gagal, sekitar 240.000 pengguna aplikasi pesan buatan Rusia, Telegram, menerima pesan yang menyerukan mereka untuk bergerak menuju bandara El Prat di Barcelona, yang merupakan bandara tersibuk kedua di Spanyol.

Sesuai pesan itu, tujuannya adalah untuk "melumpuhkan" bandara, seperti yang dilakukan para demonstran di Hong Kong pada bulan September. Pesan ini dikirim oleh platform separatis online yaitu "Tsunami Democratic."

Tsunami Demokratic menggunakan layanan pengiriman pesan seperti Telegram dan secara mandiri mengembangkan aplikasi untuk menyampaikan pesan secara anomin oleh pemimpin kepada para pengikutnya untuk melakukan tindakan yang disebut sebagai pembangkangan sipil tanpa kekerasan.

Guna mengganggu lalu lintas udara, pengunjuk rasa Catalonia memasuki bandara dengan bantuan 130 kartu boarding pass yang dibagikan oleh Tsunami Democratic melalui sebuah aplikasi. Taktik serupa digunakan oleh pengunjuk rasa Hong Kong. Seseorang telah membeli tiket penerbangan murah untuk memasuki bandara dan mengatur demonstrasi massal di sana.

Pasukan Kepolisian Regional Catalonia, Mossos d'Esquadra, juga mengatakan kepada AFP bahwa para demonstran "kadang-kadang" menggunakan penunjuk laser terhadap polisi di Barcelona, yang juga merupakan taktik populer di Hong Kong.

Banyak pemrotes Catalan menjadikan demonstrasi di Hong Kong sebagai sumber inspirasi. "Kami sejak awal telah sangat tertarik dengan protes di Hong Kong," kata anggota Picnic x República, sebuah platform online yang dibuat untuk memobilisasi orang-orang di Catalonia untuk tujuan politik. "Cara para pengunjuk rasa di Hong Kong bereaksi terhadap penindasan; pola pikir yang cepat, tidak terduga, dan kreatif, menarik bagi kami."

Picnic x República mengatakan bahwa teknologi memainkan peran kunci dalam mobilisasi dan keterlibatan pengunjuk rasa Catalonia, karena teknologi ini membuat mereka tetap mendapatkan informasi aktual. "Penggunaan teknologi memungkinkan siapa saja untuk mengirim foto dan video tentang aksi unjuk rasa dan keberadaan polisi, yang memungkinkan kami berbagi informasi secepat mungkin," ujar Picnic x República kepada DW.

Berbeda Tuntutan

Pengunjuk rasa Catalan memang belajar banyak dari rekan-rekan mereka di Hong Kong. Namun beberapa pengamat menunjukkan perbedaan mendasar antara kedua gerakan ini.

Orang-orang di Hong Kong dan Catalonia memiliki tuntutan berbeda, ujar Shiany Perez-Cheng, seorang dosen dan analis politik di Universitas Salamanca, kepada DW.

Dia menunjukkan bahwa di antara lima tuntutan pengunjuk rasa Hong Kong tidak ada upaya menuntut kemerdekaan bagi wilayah administrasi khusus China tersebut. Sementara pengunjuk rasa Catalan berharap untuk mencapai kemerdakaan dari Spanyol.

"Para pengunjuk rasa Hong Kong meminta Beijing untuk menghormati komitmen yang dibuat dalam Deklarasi Bersama Sino-Inggris dan Hukum Dasar Hong Kong. Sedangkan para pengunjuk rasa Catalan telah melanggar konstitusi Spanyol dan Statuta Otonomi Catalonia dengan berusaha menuntut kemerdekaan," kata Perez- Cheng.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya