Sejarah Munculnya Konsep Time Travel, Kisah Mahabarata dan Tukang Tidur

Dari mana konsep jelajah waktu atau time travel berasal?

oleh Afra Augesti diperbarui 04 Nov 2019, 20:40 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2019, 20:40 WIB
Ilustrasi wormhole dan perjalanan watu (time travel) (sumber: NASA.gov)
Ilustrasi wormhole dan perjalanan watu (time travel) (sumber: NASA.gov)

Liputan6.com, Jakarta - Impian umat manusia untuk bepergian menjelajahi masa atau dikenal sebagai time travel, rupanya sudah ada sejak zaman kuno. Namun, dari mana asal mula munculnya ide semacam ini?

Konsep perjalanan waktu --bepergian menelusuri masa, seolah bergerak melalui ruang tiga dimensi-- mungkin sebenarnya tertanam dalam persepsi umat manusia pada zaman dahulu tentang waktu.

Ahli bahasa mengakui bahwa manusia pada dasarnya tidak mampu berbicara tentang hal-hal duniawi tanpa merujuk hal-hal spasial. "Dalam ilmu kebahasaan, bahasa apapun, tidak ada dua domain yang lebih erat terkait daripada ruang dan waktu," tulis ahli bahasa Israel, Guy Deutscher, dalam bukunya The Unfolding of Language rilisan 2005.

"Bahkan jika kita tidak selalu menyadarinya, kita selalu berbicara tentang waktu dalam hal ruang, dan ini mencerminkan fakta bahwa kita memikirkan waktu dalam ruang," imbuhnya, seperti dikutip dari Live Science, Senin (4/11/2019).

Deutscher mengingatkan, ketika manusia berencana untuk bertemu orang lain "di sekitar" jam makan siang, kita menggunakan metafora, karena jam makan siang tidak memiliki sisi fisik.

Dia juga menunjukkan, waktu tidak dapat secara harfiah "panjang" atau "pendek" seperti tongkat atau "berlalu" seperti kereta api, atau bahkan berjalan "maju" atau "mundur". Lebih dari itu, waktu bergerak ke samping, diagonal atau ke bawah.

Menurut keterangan Lisa Yaszek, seorang profesor studi fiksi ilmiah di Georgia Institute of Technology di Atlanta: "Salah satu contoh time travel pertama yang pernah diketahui dikisahkan di Mahabharata, sebuah karya sastra epik Sanskerta kuno yang disusun sekitar 400 SM."

Dalam kitab tersebut diceritakan tentang Raja Kakudmi, hidup pada jutaan tahun lalu dan mencari suami yang cocok untuk putrinya yang cantik dan berprestasi, Revati.

Kakudmi dan Revati melakukan perjalanan ke rumah dewa pencipta, Brahma, untuk meminta nasihat. Namun, ketika berada di alam eksistensi Brahma, mereka harus menunggu lantaran Brahma sedang mendengarkan lagu yang berdurasi 20 menit.

Setelah itu, Brahma menjelaskan bahwa waktu di surga dan di Bumi bergerak secara berbeda. Tanpa disadari Kakudmi dan Revati, mereka sudah menghabiskan "27 chatur-yugas" di surga atau lebih dari 116 juta tahun di Bumi, sehingga semua orang yang pernah dikenal Kakudmi dan Revati --termasuk anggota keluarga dan calon pelamar-- sudah meninggal.

Singkat cerita, setelah keterkejutan ini, Revati akhirnya bertunangan dengan Balarama, saudara kembar dewa Krishna.

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

Waktu Berlalu dengan Cepat

Ilustrasi jam
Ilustrasi jam. Dok: Wikimedia commons

Bagi Yaszek, kisah di atas mampu memberikan contoh tentang apa yang sekarang disebut pelebaran waktu (time dilation), di mana pengamat yang berbeda mengukur rentang waktu yang berbeda pula, berdasarkan kerangka referensi relatif mereka --bagian dari teori relativitas Einstein.

"Namun, cerita-cerita seperti itu tersebar luas di seluruh dunia," kata Yaszek, mengutip sebuah dongeng lain tentang perjalanan waktu dari Timur Tengah pada abad pertama Sebelum Masehi (SM).

Kala itu, ada seorang miracle worker (seseorang yang mengklaim atau diduga sanggup mendatangkan mukjizat) Yahudi yang sedang tidur di bawah pohon carob (Ceratonia siliqua) yang baru saja ditanam.

Anehnya, ketika terbangun, ia mendapati dirinya berada pada masa 70 tahun kemudian dan melihat pohon carob tersebut telah tumbuh besar dan berbuah matang.

Contoh lain dapat ditemukan dalam dongeng Jepang dari Abad ke-8, tentang seorang nelayan bernama Urashima Taro yang melakukan perjalanan ke istana bawah laut dan jatuh cinta dengan seorang putri.

Saat ia kembali ke rumahnya (di permukaan Bumi), betapa kagetnya ia karena telah melewati waktu 100 tahun --demikian menurut terjemahan dari kisah yang diterbitkan secara daring oleh University of South Florida.

Di era modern-awal, antara 1700-an dan 1800-an, versi cerita time travel dengan cara tidur seperti itu menjadi lebih populer. Contohnya, kisah klasik Rip van Winkle, serta buku-buku seperti novel utopian 1888 karya Edward Belamy "Looking Backwards", di mana seorang pria bangun pada tahun 2000.

Juga novel HG Wells 1899, "The Sleeper Awakes" tentang seorang pria di Inggris yang tidur selama berabad-abad. Ketika ia bangun, London sudah berubah super total. Dalam cerita lain dari periode ini, orang pun mulai bisa "bergerak mundur" dalam waktu.

Satire yang dituliskan Mark Twain pada 1889, "A Connecticut Yankee di King Arthur's Court" mengungkapkan: sebuah pukulan yang dihantamkan ke kepala seorang insinyur membuatnya kembali ke masa pemerintahan raja Inggris yang legendaris.

Objek yang dapat mengirim seseorang menembus waktu pun mulai ada, utamanya adalah jam, seperti dalam cerita Edward Page Mitchell 1881, "The Clock that Went Backwards" atau fantasi anak-anak karya Lewis Carrol 1889, "Sylvie and Bruno" di mana karakter-karakternya memiliki jam tangan yang sesungguhnya merupakan mesin waktu.

Merebaknya cerita-cerita semacam itu selama era tersebut mungkin berasal dari fakta bahwa orang-orang mulai membakukan waktu, dan mengarahkan diri mereka lebih sering pada jam.

Perjalanan Waktu dan Kehidupan Modern

Ilustrasi jam tangan
Ilustrasi jam tangan. Sumber foto: unsplash.com/Oliur.

H.G. Wells menyediakan salah satu plot perjalanan waktu yang paling bertahan lama dalam novelnya, dirilis pada 1895, "The Time Machine" yang mencakup inovasi kerajinan yang dapat bergerak maju dan mundur melalui rentang waktu lama.

"Ini adalah saat kita mendapatkan mesin uap dan kereta api dan mobil pertama," kata Yaszek. "Saya pikir itu tidak mengherankan bahwa Wells tiba-tiba berpikir: 'Hei, mungkin kita bisa menggunakan kendaraan untuk menempuh waktu.'"

Baru-baru ini, perjalanan waktu digunakan untuk menguji hubungan manusia dengan masa lalu, ungkap Yaszek, khususnya dalam tulisan yang ditulis oleh wanita dan orang kulit berwarna.

Novel karangan Octavia Butler pada 1979, "Kindred", berkisah tentang seorang perempuan modern yang mengunjungi nenek moyangnya sebelum Perang Sipil. "Itu merupakan cerita luar biasa yang benar-benar meminta kita untuk memikirkan kembali hubungan hitam dan putih melalui sejarah," ucap Yaszek.

Sementara itu, serial web kontemporer yang disebut "Send Me" melibatkan paranormal Afrika-Amerika yang konon dapat membimbing orang-orang untuk kembali ke masa sebelum perang dan menyaksikan perbudakan.

"Aku benar-benar antusias dengan cerita seperti itu," kata Yaszek. "Mereka membantu kita melihat kembali sejarah dari perspektif baru." Time travel telah menemukan 'rumah' dalam berbagai genre dan media, termasuk komedi seperti "Groundhog Day" dan "Bill and Ted's Excellent Adventure", serta gim seperti Nintendo "The Legend of Zelda: Majora's Mask".

Menurut pendapat Yaszek, ketertarikan orang-orang modern pada cerita mesin waktu mungkin mencerminkan fakta bahwa kita hidup di dunia teknologi. Namun, daya tarik time travel memiliki akar yang lebih dalam, terjalin ke dalam tatanan bahasa kita dan muncul dalam beberapa imajinasi awal kita.

"Saya pikir ini adalah cara untuk memahami 'apa yang tidak berwujud dan tidak dapat dijelaskan', karena sulit untuk memahami waktu," kata Yaszek.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya