Lockdown Wuhan Karena Corona COVID-19 Resmi Berakhir Rabu 8 April

Setelah dua bulan terkunci, kota Wuhan akhirnya bebas dari lockdown.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 07 Apr 2020, 17:19 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2020, 17:19 WIB
Pesan Semangat UEA untuk Wuhan Perangi Virus Vorona
Bangunan Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi (ADNOC) diterangi dengan slogan-slogan 'Wuhan jiayou' yang berarti 'Wuhan, semangat' di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), Minggu (2/2/2020). Hal tersebut untuk memberi semangat kepada China dalam perang melawan virus corona. (Xinhua/WAM)

Liputan6.com, Wuhan - Kota Wuhan di provinsi Hubei akan resmi mengakhiri masa lockdown pada Rabu 8 April yang telah berjalan sejak akhir Januari lalu. Pemerintah China optimistis sudah berhasil menjinakkan Virus Corona COVID-19. 

Wuhan adalah kota dengan populasi 11 juta jiwa atau sama dengan kota Jakarta. Warga Wuhan adalah yang pertama merasakan lockdown total akibat Virus Corona.

Pada 8 April, lalu lintas Wuhan sudah kembali dibuka dan aktivitas masyarakat diharapkan mulai kembali aktif. Sebelumnya, warga Wuhan dilarang keluar rumah apabila tidak ada kegiatan penting.

Jalur keluar-masuk Wuhan juga diblokir akibat lockdown. Selain itu, transportasi umum ditutup, dan kendaraan pribadi dibatasi. 

Akibatnya, sempat ada WNI yang terjebak di Wuhan hingga dijemput pemerintah. Nasib sama terjadi bagi warga negara asing lain. 

Media China Global Times melaporkan warganet China sudah menyebar postingan bertema perayaan berakhirnya lockdown di Wuhan.

"Lama tak jumpa, Wuhan akan restart dalam dua hari," tulis sebuah pesan. 

Orang-orang turut berbagi foto ketika mereka berkunjung ke Starbucks, datang ke tempat makan, bahkan saat naik bus. Ratusan kereta peluru dilaporkan siap kembali beroperasi. 

Akhir dari lockdown tidak berarti pemerintah setempat lengah. Tokoh-tokoh masyarakat diminta tetap memperhatikan orang yang keluar masuk wilayah mereka serta tetap melaksanakan pengecekan suhu. 

Wuhan adalah awal ditemukannya Virus Corona, namun pemerintah setempat dilaporkan membungkam dokter karena dianggap membuat gaduh.  

Hingga H-1 akhir lockdown Wuhan, ada 1,3 juta kasus Virus Corona di dunia. Di China ada 82 ribu kasus dan 77 ribu di antaranya berhasil sembuh.

 

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Data China Jadi Pertanyaan Dunia

FOTO: Wabah COVID-19 Mereda, Presiden China Tinjau Kawasan Industri
Presiden China Xi Jinping saat mengunjungi kawasan industri otomotif di Ningbo, Provinsi Zhejiang, China, Minggu (29/3/2020). Pemerintah China tengah berupaya memulai kembali industrinya setelah wabah virus corona COVID-19 mereda di negaranya. (Shen Hong/Xinhua via AP)

China merasa difitnah Amerika Serikat (AS) karena dituduh menyembunyikan data kasus Virus Corona COVID-19. Tuduhan itu berasal dari laporan rahasia intelijen AS yang bocor ke media.

Dilaporkan Bloomberg, laporan intel AS menyebut China sengaja tidak jujur dalam menyajikan data kasus pasien dan kematian Virus Corona. Kesimpulan laporan itu adalah data China palsu.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying membantah laporan intelijen AS. Laporan itu ia anggap sebagai upaya fitnah AS untuk menyalahkan China.

"Beberapa pejabat AS hanya ingin melempar kesalahan," kata Hua. "Sebetulnya kami tidak ingin berargumen dengan mereka, tetapi dihadapi dengan fitnah moral yang berulang-ulang, saya merasa harus meluangkan waktu dan meluruskan kebenaran lagi," ujar wanita itu di Beijing.

Hua Chunying juga mempertanyakan kecepatan AS dalam merespons Virus Corona. Sejak 2 Februari, AS sudah melarang penerbangan dari China.

Ia pun menegaskan China siap memberikan bantuan, dan aksi saling tuding dianggap hanya buang-buang waktu dan nyawa.

"Kami ingin menyediakan support dan membantu mereka sesuai kapasitas kami," ucapnya.

Sebelumnya, Koordinator Respons Virus Corona Gedung Putih Dr. Deborah Birx sempat mempertanyakan data dari China. Dr. Birx menduga China tak memberi data secara lengkap, alhasil ilmuwan terkecoh.

"Ketika kamu melihat data China di awal-awalnya, dan kamu mendapati ada 80 juta orang, atau 20 juta orang di Wuhan dan 80 juta di Hubei, dan mereka menyebut ada 50 ribu (pasien), kamu berpikir ini lebih mirip SARS ketimbang pandemi global seperti sekarang," ujar Dr. Deborah Birx, Koordinator Respons Virus Corona Gedung Putih.

"Saya pikir komunitas medis menginterpretasi data dari China bahwa ada sesuatu yang serius, tetapi lebih kecil ketimbang yang siapa pun perkirakan, karena saya pikir mungkin kita kehilangan jumlah data yang signifikan," pungkas Dr. Birx.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya