25 Pasukan Penjaga Perdamaian NATO Terluka Akibat Bentrok dengan Demonstran Serbia di Kosovo

Bentrokan terjadi setelah massa etnis Serbia mencoba mengambil alih kantor-kantor pemerintahan di empat kota di Kosovo utara, di mana wali kota etnis Albania terpilih menjabat pekan lalu.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 30 Mei 2023, 14:26 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2023, 14:26 WIB
Ilustrasi bendera NATO
Ilustrasi bendera NATO (Wikipedia/Public Domain)

Liputan6.com, Pristina - Pasukan penjaga perdamaian Kosovo pimpinan NATO (KFOR) mengatakan pada Senin (29/5/2023), 25 tentaranya terluka dalam bentrokan dengan demonstran etnis Serbia di Kosovo utara setelah massa mencoba mengambil alih kantor-kantor pemerintahan di empat kota, di mana wali kota etnis Albania terpilih menjabat pekan lalu.

"Beberapa tentara kontingen KFOR Italia dan Hongaria menjadi sasaran serangan tak beralasan dan luka trauma yang berkelanjutan dengan patah tulang dan luka bakar akibat ledakan perangkat pembakar," ungkap pernyataan pasukan penjaga perdamaian seperti dilansir AP, Selasa (30/5/2023).

Beberapa kendaraan polisi Kosovo dan satu milik wartawan dirusak dan disemprot dengan simbol nasionalis Serbia.

Berbicara pada Senin malam waktu setempat, Presiden Serbia Aleksandar Vucic mengatakan bahwa dia akan menghabiskan malam dengan pasukannya di perbatasan dengan Kosovo yang berstatus siaga tinggi pekan lalu. Menurut Vucic, 52 orang Serbia terluka dalam bentrokan, tiga di antaranya dalam kondisi serius, sementara empat orang ditahan.

"Konsekuensi (bentrokan) besar dan serius. Satu-satunya yang bersalah adalah (Perdana Menteri Kosovo) Albin Kurti," kata Vucic, menyebut pasukan Albania di Kosovo utara sebagai penjajah.

Kekerasan itu merupakan insiden terbaru di tengah ketegangan melonjak selama akhir pekan lalu, dengan Serbia menempatkan militer negara itu dalam siaga tinggi dan mengirim lebih banyak pasukan ke perbatasan dengan Kosovo, yang mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 2008.

Kosovo dan Serbia telah bermusuhan selama beberapa dekade, dengan Beograd menolak untuk mengakui kedaulatan Kosovo.

Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa telah meningkatkan upaya untuk membantu menyelesaikan perselisihan Kosovo-Serbia, mengkhawatirkan ketidakstabilan lebih lanjut di Eropa menyusul perang Ukraina.

Uni Eropa sendiri telah menegaskan kepada Serbia dan Kosovo bahwa mereka harus menormalisasi hubungan jika ingin membuat kemajuan untuk bergabung dengan blok tersebut.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menggambarkan situasi di Kosovo "mengkhawatirkan", menyalahkan AS dan NATO karena mengklaim dominasi di bagian dunia itu.

"Sebuah 'ledakan' besar sedang terjadi di tengah Eropa, di tempat di mana, pada tahun 1999, NATO melakukan agresi terhadap Yugoslavia," kata Lavrov.

AS dan Uni Eropa Mengutuk Kosovo

Ilustrasi Amerika Serikat
Ilustrasi Amerika Serikat (Dok. Pixabay/oohhsnapp)

Pada Senin, polisi Kosovo dan KFOR dilaporkan berusaha melindungi gedung-gedung pemerintahan kota di Zvecan, Leposavic, Zubin Potok, dan Mitrovica.

Pemungutan suara yang berlangsung awal bulan lalu di empat kota tersebut sebagian besar diboikot oleh etnis Serbia, yang merupakan mayoritas di sana. Hanya perwakilan etnis Albania atau minoritas kecil lainnya yang terpilih untuk menduduki kursi wali kota dan majelis.

Perdana Menteri Serbia Ana Brnabic mengkritik penanganan KFOR yang disebutnya tidak melindungi rakyat, melainkan perampas - diduga mengacu pada wali kota baru dari etnis Albania.

"Tapi kita harus menjaga perdamaian. Kedamaian adalah satu-satunya yang kita miliki," kata dia.

KFOR telah meningkatkan kehadirannya di empat kota di utara dan meminta semua pihak untuk menahan diri dari tindakan yang dapat menyebabkan eskalasi. Selain itu, mereka juga mendesak Beograd dan Pristina untuk terlibat dalam dialog yang dipimpin Uni Eropa.

Jumat lalu, etnis Serbia di Kosovo utara mencoba memblokir pejabat etnis Albania yang baru terpilih untuk memasuki gedung kota. Polisi Kosovo menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa dan membiarkan pejabat baru masuk ke kantor.

AS dan Uni Eropa mengutuk pemerintah Kosovo karena menggunakan polisi untuk memasuki gedung kota secara paksa.

Konflik di Kosovo meletus pada tahun 1998 ketika separatis Albania memberontak melawan kekuasaan Serbia dan Serbia menanggapinya dengan tindakan brutal. Sekitar 13.000 orang, kebanyakan etnis Albania, meninggal.

Intervensi militer NATO pada tahun 1999 akhirnya memaksa Serbia untuk menarik diri dari wilayah tersebut. AS dan sebagian besar negara Uni Eropa telah mengakui Kosovo sebagai negara merdeka, tetapi Serbia, Rusia, dan China belum.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya