Liputan6.com, Swiss - Sejak berakhirnya humanitarian pause (jeda kemanusiaan) di Gaza pada 1 Desember 2023 lalu, situasi kemanusiaan semakin memburuk. Korban jiwa mencapai lebih dari 18.000 orang, di mana 70% merupakan anak-anak.
Data menunjukkan bahwa di Gaza, tiap 10 menit terdapat 1 anak korban jiwa. Situasi ini dan kekhawatiran atas korban yang terus bertambah, serta kondisi sistem kesehatan dan kemanusiaan yang nyaris kolaps di Gaza, telah disampaikan banyak pihak dalam beberapa pekan terakhir, termasuk dari Sekjen PBB dan Comissioner General UNRWA.
Baca Juga
Dalam pembukaan Sidang Emergency Special Session ke-10, Presiden Majelis Umum (MU) PBB Denis Francis menegaskan bahwa, "Tujuan kita di sini satu – hanya satu. Yakni menyelamatkan nyawa manusia."
Advertisement
Resolusi "Protection of Civilians and Upholding Legal and Humanitarian Obligations" yang diajukan Mesir atas nama Kelompok Arab dan OKI di Sidang ESS ke-10 tersebut sangat singkat, meminta agar segera dilakukan gencatan senjata, melindungi warga sipil, melepas seluruh sandera dan memastikan pemenuhan kewajiban hukum humaniter internasional.
Adapun resolusi "Protection of Civilians and Upholding Legal and Humanitarian Obligations" disepakati pada pertemuan Emergency Special Session ke-10 (ESS ke-10) Majelis Umum (MU) PBB, di New York pada Selasa 12 Desember 2023.
Sebanyak 153 negara mendukung Resolusi Majelis Umum PBB yang menuntut agar segera dilakukan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza.
Mengutip situs Kemlu RI, Kamis (14/12/2023), Indonesia diketahui turut menggalang dukungan 11 negara dari berbagai kawasan, yakni:
- Afrika Selatan
- Bangladesh
- Brunei Darussalam
- Kamboja
- Laos
- Malaysia
- Maladewa
- Namibia
- Timor Leste
- Turki
- Thailand
Indonesia menyampaikan Joint Letter kepada Presiden MU PBB untuk dukungan permintaan Kelompok Arab dan OKI agar MU PBB segera menggelar sidang Emergency Special Session tersebut.
Indonesia Bersama 104 Negara Menjadi Co-Sponsor Resolusi Gencatan Senjata di Gaza
Indonesia bersama 104 negara lainnya turut menjadi co-sponsor atas resolusi "Protection of Civilians and Upholding Legal and Humanitarian Obligations", agar segera dilakukan gencatan senjata, melindungi warga sipil, melepas seluruh sandera dan memastikan pemenuhan kewajiban hukum humaniter internasional.
Sebelumnya, pada 8 Desember 2023 lalu, resolusi serupa diajukan di Dewan Keamanan PBB. Walaupun resolusi mendapat dukungan 13 negara dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, namun tidak dapat diadopsi karena di veto oleh Amerika Serikat.
Keberhasilan MU PBB untuk mengadopsi resolusi "Protection of Civilians and Upholding Legal and Humanitarian Obligations" dengan dukungan yang tinggi, tidak lepas dari upaya Indonesia yang terus melakukan mobilisasi suara dengan berbagai pendekatan ke negara-negara anggota, termasuk di wilayah Asia Tenggara, Karibia dan Amerika Latin. Sebagian besar negara Uni Eropa kali ini juga turut mendukung resolusi tersebut.
Advertisement
Menlu RI bersama Tujuh Menteri Luar Negeri OKI Shuttle Diplomacy
Seperti diketahui, Menlu RI bersama tujuh Menteri Luar Negeri OKI lainnya juga melakukan shuttle diplomacy ke negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, seperti China, Rusia, Inggris dan Prancis guna menggalang dukungan agar segera dilakukannya gencatan senjata di Gaza.
Resolusi Majelis Umum PBB merupakan pernyataan politis negara-negara anggota PBB terhadap suatu isu atau permasalahan yang menjadi perhatian atau kekhawatiran internasional.
Banyaknya jumlah negara co-sponsor (104 negara) dan dukungan negara anggota (153 negara) terhadap resolusi yang meminta gencatan senjata di Gaza tersebut, menunjukkan semakin tingginya tekanan politis dari berbagai negara untuk hentikan serangan Israel di Gaza.
Hal ini diharapkan memberikan tekanan politis kepada Israel untuk segera menghentikan serangan militernya di Gaza yang terus memakan korban sipil, dan mendorong Amerika Serikat untuk hentikan dukungannya kepada Israel.
Menlu Retno Desak Dunia Beri Perhatian atas Pelanggaran Berat HAM di Gaza, Sebut Aksi Israel Langgar Hukum Humaniter Internasional
Sebelumnya, Menlu Retno Marsudi juga mendesak komunitas internasional untuk memberi perhatian khusus bagi pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Gaza akibat perang Israel Vs Hamas yang pecah sejak 7 Oktober lalu. Ia menyoroti hal tersebut dalam momentum peringatan 75 tahun deklarasi universal HAM di forum PBB.
"Tindakan Israel yang membunuh masyarakat sipil, merusak rumah sakit, tempat ibadah dan kamp pengungsi, serta memberangus hak-hak dasar Palestina bukanlah self-defense," kata Menlu Retno saat menjadi panelis dalam Roundtable mengenai Hak Asasi Manusia, perdamaian dan keamanan di Kantor PBB, Jenewa, Swiss, pada Selasa (12/12/2023).
"Tindakan ini tidak dapat dibenarkan dan jelas melanggar hukum humaniter internasional," lanjut dia.
Maka dari itu, ia menyampaikan tiga hal yang perlu menjadi perhatian dan perlu dilakukan oleh komunitas internasional. Berikut ini di antaranya:
Pertama, agar dunia memperbaharui komitmen bersama terkait pemajuan HAM.
"Saya tegaskan bahwa siapa pun yang berkomitmen menjadi pembela HAM tidak boleh diam dan tidak boleh berhenti untuk terus memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan bagi Palestina," tegasnya.
Menteri luar negeri wanita Indonesia pertama itu kembali menyuarakan kekecewaan Indonesia atas kegagalan DK PBB dalam mengesahkan resolusi humanitarian ceasefire atau gencatan senjata. Menurutnya, kegagalan tersebut mencerminkan gagalnya sistem multilateral yang sudah ketinggalan zaman.
Kedua, mengajak negara-negara untuk menolak penerapan standar ganda dalam penegakan HAM.
Penerapan standar ganda, sebut Retno, merupakan masalah terbesar dalam penerapan HAM.
"Pihak-pihak yang sering mendikte kita mengenai HAM, justru menjadi pihak yang kini membiarkan Israel melanggar Hak Asasi Manusia," tuturnya.
Ketiga, menegaskan agar berbagai pelanggaran HAM segera dihentikan.
"Proses perdamaian yang sesungguhnya agar segera dimulai khususnya menuju solusi dua negara. Dan akar masalah isu Palestina harus diatasi secara menyeluruh," ungkap Menlu Retno.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Wakil Presiden Kolombia dan dihadiri oleh panelis lainnya termasuk Presiden Polandia, Presiden Senegal dan Menteri Luar Negeri Palestina.
Advertisement