27 Februari 2004: Superferry 14 Meledak, 116 Orang Tewas dalam Tragedi Maritim Terburuk di Laut Filipina

Sebanyak 116 orang tewas, puluhan lainnya hilang. Ini kronologi lengkap tragedi Superferry 14, dari ledakan dahsyat hingga operasi pencarian jenazah selama berbulan-bulan.

oleh Alya Felicia Syahputri Diperbarui 27 Feb 2025, 06:00 WIB
Diterbitkan 27 Feb 2025, 06:00 WIB
Kebakaran terjadi di Superferry 14 hampir dua jam setelah meninggalkan Manila. (AFP/Arsip)
Kebakaran terjadi di Superferry 14 hampir dua jam setelah meninggalkan Manila. (AFP/Arsip)... Selengkapnya

Liputan6.com, Mariveles - Salah satu tragedi maritim paling mematikan dalam sejarah Filipina terjadi pada 27 Februari 2004 pukul 23.00 waktu setempat. Saat itu, kapal feri berbobot 10.192 ton berangkat dari Manila menuju Kota Cagayan de Oro dengan membawa 899 penumpang dan awak kapal.

Mengutip dari safety4sea.com Kamis, (27/2/2025), diketahui bahwa terjadi ledakan yang memicu kebakaran hebat di atas kapal satu jam setelah keberangkatan, tepatnya di perairan sekitar Pulau El Fraile atau Corregidor. Kapten Ceferino Manzo segera mengeluarkan perintah untuk meninggalkan kapal sekitar pukul 01.30 dini hari waktu setempat.

Saat api terus menyebar ke seluruh kapal, sebagian besar penumpang dan awak kapal memilih melompat ke laut atau menaiki perahu penyelamat. Akhirnya, kapal pun tenggelam sepenuhnya.

Sebanyak 116 orang --114 penumpang dan dua awak kapal-- kehilangan nyawa dalam insiden yang diklaim serangan teroris paling mematikan di laut Filipina.

Upaya pencarian jenazah berlangsung selama berbulan-bulan. Dalam pekan pertama, tim penyelam Penjaga Pantai dari kapal feri hanya berhasil menemukan empat jenazah dari dalam kapal yang sebagian masih mengapung. Padahal, kapal telah ditarik ke perairan dangkal dekat Kota Mariveles, sebelah barat Manila. Beberapa hari kemudian, 12 jenazah tambahan ditemukan.

Hingga akhirnya, sebanyak 63 jenazah berhasil ditemukan, sementara 53 orang lainnya dinyatakan hilang dan diduga tewas. Menurut pejabat setempat, para korban yang hilang kemungkinan besar terperangkap di dalam kapal yang terbakar dan tenggelam.

Awalnya, ledakan pada kapal diduga sebagai kecelakaan akibat kebocoran gas. Namun, beberapa kelompok teroris segera mengklaim bertanggung jawab atas peristiwa ini. Salah satunya adalah kelompok militan Abu Sayyaf. Meski demikian, Presiden Filipina saat itu, Gloria Macapagal-Arroyo, menyatakan bahwa klaim Abu Sayyaf tidak memiliki bukti yang kuat.

Namun, keterangan para penyintas, termasuk Kapten Manzo, serta hasil penyelidikan para penyelam menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa ledakan berasal dari bom. Lima bulan setelah kejadian, pada 11 Oktober 2004, pemerintah Filipina secara resmi mengumumkan bahwa ledakan tersebut memang disebabkan oleh aksi terorisme.

Penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan bahwa seorang pria bernama Redondo Cain Dellosa mengaku telah menanam bom di kapal atas perintah kelompok Abu Sayyaf. Dellosa memegang tiket untuk tempat tidur 51B, lokasi tempat bom diletakkan, dan turun dari kapal sebelum keberangkatan. Bom tersebut disembunyikan di dalam televisi yang telah dikosongkan isinya.

Dellosa diketahui merupakan anggota Gerakan Rajah Sulaiman, sebuah organisasi di Filipina yang didirikan oleh Ahmed Santos pada 1991 dan beranggotakan warga Filipina yang beralih keyakinan.

Selain Dellosa, enam tersangka lain ditangkap dalam kasus ini. Namun, dua dalang utama serangan, Khadaffy Janjalani dan Abu Sulaiman, tetap buron. Dugaan kuat menyebutkan bahwa Abu Sayyaf meledakkan Superferry 14 karena pemilik kapal, perusahaan pelayaran WG&A, menolak membayar uang perlindungan sebesar US$1 juta yang diminta kelompok tersebut pada 2003. Khadaffy Janjalani dan Abu Sulaiman akhirnya tewas dalam baku tembak masing-masing pada 2006 dan 2007.

 

Dampak dan Kebijakan Keamanan Baru

Logo International Ship and Port Security Code (Org)
Logo International Ship and Port Security Code (Org)... Selengkapnya

Tragedi ini terjadi hanya beberapa bulan sebelum diterapkannya International Ship and Port Security Code/ISPS (Kode Keamanan Pelabuhan dan Kapal Internasional) pada 1 Juli 2004. ISPS mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2004, berdasarkan bab XI-2 SOLAS, sebagai tanggapan terhadap serangan 11 September, dan menjadi dasar dari rezim keamanan wajib yang komprehensif untuk pelayaran internasional.

Berdasarkan Kode ISPS, pemerintah kontraktor SOLAS, otoritas pelabuhan, dan perusahaan pelayaran diharuskan menunjuk petugas dan personel keamanan yang tepat, di setiap kapal, fasilitas pelabuhan, dan perusahaan pelayaran.

Petugas tersebut, yang disebut sebagai Port Facility Security Officers/PFSOs (Petugas Keamanan Fasilitas Pelabuhan), Ship Security Officers (SSOs) atau Petugas Keamanan Kapal, dan Company Security Officers/CSOs (Petugas Keamanan Perusahaan) , bertugas menilai, merencanakan, serta menerapkan sistem keamanan guna mencegah potensi ancaman terhadap industri maritim.

Sejak diterapkannya ISPS Code, tidak ada lagi serangan terorisme besar yang menyasar kapal komersial internasional, sehingga regulasi ini dinilai cukup berhasil dalam meningkatkan keamanan maritim global.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya