Tolak Gagasan Trump, Pemimpin Arab Dukung Rencana Mesir Bangun Kembali Gaza

Seperti apa rencana yang diajukan Mesir untuk membangun kembali Jalur Gaza yang luluh lantak oleh serangan Israel sejak 7 Oktober 2023?

oleh Khairisa Ferida Diperbarui 05 Mar 2025, 09:10 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2025, 08:56 WIB
15 Bulan Perang Israel-Hamas, Begini Kondisi Kota Rafah di Gaza
Foto udara memperlihatkan orang-orang berjalan melewati reruntuhan rumah di Rafah, Jalur Gaza Selatan pada 20 Januari 2025. (Foto oleh AFP)... Selengkapnya

Liputan6.com, Kairo - Para pemimpin Arab pada Selasa (5/3/2025), mendukung rencana pascaperang Mesir untuk Jalur Gaza, yang memungkinkan sekitar 2 juta warga Palestina tetap tinggal di wilayah kantong tersebut.

Dukungan terhadap rencana senilai USD 53 miliar dalam pertemuan puncak Liga Arab di Kairo ini pada dasarnya merupakan penolakan terhadap proposal Donald Trump, yang ingin mengosongkan Jalur Gaza dan mengubahnya menjadi destinasi wisata pantai.

Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi menyatakan apresiasinya atas "konsensus di antara negara-negara Arab untuk mendukung rencana rekonstruksi Jalur Gaza, yang memungkinkan rakyat Palestina tetap tinggal di tanah mereka tanpa harus mengungsi."

Dalam unggahan di media sosial setelah pertemuan puncak, Sissi mengatakan dia berharap dapat bekerja sama dengan Trump, negara-negara Arab lainnya, dan komunitas internasional "untuk mengadopsi rencana yang bertujuan untuk penyelesaian komprehensif dan adil atas isu Palestina, mengakhiri akar penyebab konflik Israel-Palestina, menjamin keamanan dan stabilitas rakyat di kawasan, dan mendirikan Negara Palestina."

Gedung Putih menyambut baik langkah negara-negara Arab, namun bersikeras bahwa Hamas tidak boleh tetap berkuasa.

"Presiden Trump telah jelas bahwa Hamas tidak bisa terus memerintah Gaza," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih Brian Hughes seperti dikutip dari AP, Rabu (5/3).

"Meskipun presiden tetap pada visi besarnya untuk Jalur Gaza pasca perang, dia menyambut input dari mitra-mitra Arab di wilayah tersebut. Jelas bahwa proposalnya telah mendorong kawasan ini untuk datang ke meja perundingan daripada membiarkan masalah ini berkembang menjadi krisis yang lebih parah."

Promosi 1

Ditolak Israel dan Disambut Baik Hamas

Suka Cita Warga Gaza Berbuka Puasa di Hari Pertama Ramadan
Orang-orang berkumpul untuk berbuka puasa pada hari pertama bulan puasa Ramadan di Jabalia, Jalur Gaza utara, pada 1 Maret 2025. (Bashar TALEB/AFP)... Selengkapnya

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel Oren Marmorstein menuliskan di platform media sosial X bahwa rencana Mesir "gagal mengatasi realitas situasi" dan bahwa komunike bersama pertemuan di Kairo tidak menyebutkan serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang atau mengutuk kelompok militan tersebut. Rencana itu, menurutnya, tetap "berakar pada perspektif yang sudah ketinggalan zaman."

Marmorstein menegaskan kembali dukungan Israel terhadap rencana Trump untuk memindahkan populasi Palestina di Jalur Gaza ke tempat lain. Dia menggambarkannya sebagai kesempatan bagi warga Jalur Gaza untuk memiliki pilihan bebas berdasarkan keinginan mereka sendiri.

Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty mengecam penolakan Israel, menyebutnya "tidak dapat diterima". Tidak hanya itu, dia menggambarkan Israel "keras kepala dan ekstrem."

"Tidak akan ada perdamaian baik untuk Israel maupun untuk kawasan ini tanpa mendirikan Negara Palestina yang merdeka sesuai dengan resolusi PBB," tegasnya.

"Tidak ada satu negara pun yang boleh diizinkan untuk memaksakan keinginannya pada komunitas internasional."

Hamas menyambut baik hasil pertemuan puncak di Mesir. Mereka mengatakan hal ini menandai fase baru keselarasan Arab dan Islam dengan perjuangan Palestina dan menghargai penolakan para pemimpin Arab terhadap upaya untuk memindahkan warga Palestina dari wilayah mereka di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diduduki.

Apa yang Diusulkan oleh Rencana Mesir?

Sambut Ramadan, Warga Gaza Bersihkan Sampah dan Reruntuhan
Perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas masih berlangsung di Gaza sejak 19 Januari 2025. Gencatan senjata ini menghentikan perang Israel yang menewaskan 48.350 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan membuat daerah kantong itu hancur. (Omar AL-QATTAA/AFP)... Selengkapnya

Mengutip Al Jazeera, rencana Mesir terdiri dari tiga tahap utama: langkah-langkah sementara, rekonstruksi, dan pemerintahan.

Tujuannya adalah untuk merekonstruksi Jalur Gaza – yang hampir sepenuhnya hancur oleh Israel – menjaga perdamaian dan keamanan, serta mengembalikan pemerintahan Otoritas Palestina (PA) di Jalur Gaza, 17 tahun setelah mereka dikeluarkan akibat pertikaian antara Fatah, yang mendominasi PA, dan Hamas.

Periode sementara selama enam bulan akan melibatkan komite teknokrat Palestina yang bekerja di bawah PA untuk membersihkan puing-puing dari Jalan Salah al-Din, jalan utama yang menghubungkan utara dan selatan Jalur Gaza.

Setelah jalan dibersihkan akan dibangun 200.000 unit perumahan sementara untuk menampung sekitar 1,2 juta orang dan perbaikan sekitar 60.000 bangunan yang rusak.

Rekonstruksi jangka panjang, menurut rencana ini, memerlukan waktu tambahan empat hingga lima tahun setelah langkah-langkah sementara selesai. Dalam periode tersebut, rencana ini bertujuan untuk membangun setidaknya 400.000 rumah permanen, serta merekonstruksi pelabuhan Jalur Gaza dan bandara internasional.

Secara bertahap, kebutuhan dasar seperti pasokan air, sistem pembuangan limbah, layanan telekomunikasi, dan pasokan listrik juga akan dipulihkan.

Rencana ini juga mencakup pembentukan Dewan Pengarah dan Pengelola, yang akan menjadi sumber pembiayaan untuk mendukung pemerintahan sementara di Gaza. Selain itu, konferensi akan diadakan untuk para donor internasional guna mengumpulkan dana yang diperlukan untuk rekonstruksi dan pembangunan jangka panjang di Jalur Gaza.

Rencana Mesir tidak menyinggung soal pemilu, namun dalam pidatonya pada Selasa, Presiden PA Mahmoud Abbas mengungkapkan pemilu bisa diadakan tahun depan jika keadaan memungkinkan.

Di bidang keamanan, Mesir dan Yordania telah berjanji untuk melatih petugas polisi Palestina dan mengirim mereka ke Jalur Gaza. Kedua negara ini juga telah meminta Dewan Keamanan PBB untuk mempertimbangkan pemberian mandat misi penjaga perdamaian untuk mengawasi pemerintahan di Jalur Gaza hingga rekonstruksi selesai.

Rincian Biaya Rekonstruksi Jalur Gaza

Suka Cita Warga Gaza Berbuka Puasa di Hari Pertama Ramadan
Kesepakatan gencatan senjata tersebut menghentikan perang yang berlangsung pada tanggal 7 Oktober 2023. (Bashar TALEB/AFP)... Selengkapnya

Mesir mengusulkan pendanaan sebesar USD 53 miliar untuk membiayai rekonstruksi Jalur Gaza, dengan pembagian dana dalam tiga tahap.

Pada fase pertama yang berlangsung enam bulan, dibutuhkan USD 3 miliar untuk membersihkan puing-puing dari Jalan Salah al-Din, membangun perumahan sementara, dan memperbaiki rumah-rumah yang sebagian rusak.

Fase kedua akan berlangsung selama dua tahun dan membutuhkan dana sebesar USD 20 miliar. Pekerjaan pembersihan puing-puing akan berlanjut dalam fase ini, serta pembangunan jaringan utilitas dan pembangunan lebih banyak unit perumahan.

Fase ketiga akan menghabiskan biaya USD 30 miliar dan berlangsung selama dua setengah tahun. Fase ini mencakup penyelesaian pembangunan perumahan untuk seluruh penduduk Jalur Gaza, pembangunan tahap pertama zona industri, pembangunan pelabuhan perikanan dan komersial, serta pembangunan bandara, di antara layanan lainnya.

Menurut rencana ini, dana akan diperoleh dari berbagai sumber internasional, termasuk PBB, organisasi keuangan internasional, investasi asing, dan sektor swasta.

Ketidakpastian Nasib Gencatan Senjata

Sambut Ramadan, Warga Gaza Bersihkan Sampah dan Reruntuhan
Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, hampir 1,5 juta warga Palestina kehilangan rumah atau tempat berlindung setelah serangan bom Israel. (Omar AL-QATTAA/AFP)... Selengkapnya

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Gideon Saar mengatakan pada Selasa bahwa Israel siap melanjutkan ke fase kedua kesepakatan gencatan senjata asalkan Hamas bersedia membebaskan lebih banyak dari 59 sandera yang masih ditahannya.

Pertempuran di Jalur Gaza telah terhenti sejak 19 Januari berdasarkan gencatan senjata yang didukung Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir. Sejak saat itu pula Hamas telah menukar 33 sandera Israel dan lima warga Thailand dengan sekitar 2.000 tahanan Palestina.

Namun, fase pertama yang berlangsung selama 42 hari telah berakhir. Hamas dan Israel, yang telah memblokir masuknya truk bantuan ke Jalur Gaza, tetap memiliki perbedaan yang signifikan dalam masalah-masalah yang lebih luas, termasuk mengenai pemerintahan pasca perang di Jalur Gaza dan masa depan Hamas.

"Kami siap melanjutkan ke fase kedua," kata Saar seperti dilansir Reuters. "Tapi untuk memperpanjang waktu ... kami membutuhkan kesepakatan untuk membebaskan lebih banyak sandera."

Hamas sendiri mengaku mereka ingin melanjutkan negosiasi fase kedua yang dapat membuka jalan untuk mengakhiri perang secara permanen, dengan syarat penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza.

Israel dilaporkan mendukung rencana yang diusulkan oleh utusan khusus Trump, Steve Witkoff, untuk memperpanjang gencatan senjata selama Ramadan hingga setelah perayaan Paskah Yahudi pada April. Kementerian Luar Negeri AS pada Senin mengumumkan, Witkoff dijadwalkan mengunjungi kawasan Timur Tengah dalam beberapa hari ke depan untuk membahas masa depan gencatan senjata.

Juru bicara pemerintah Israel Omer Dostri mengatakan kepada Radio Angkatan Darat bahwa Israel memberikan "beberapa hari" bagi Hamas setuju dengan proposal Witkoff.

"Jika tidak, kabinet akan berkumpul dan memutuskan langkah selanjutnya," ujarnya.

Saar membantah klaim bahwa Israel melanggar perjanjian dengan tidak melanjutkan ke pembicaraan fase kedua. Dia menegaskan bahwa tidak ada "mekanisme otomatis" yang menghubungkan antara fase-fase tersebut. Selain itu, Saar menyatakan bahwa justru Hamas yang telah melanggar perjanjian gencatan senjata dengan tidak mengizinkan bantuan masuk ke Jalur Gaza secara penuh karena mereka merampas sebagian besar pasokan.

"Itu adalah cara untuk melanjutkan perang melawan Israel. Saat ini, itu adalah sumber utama pendapatan Hamas di Gaza," klaim Saar.

Kelompok-kelompok bantuan telah melaporkan bahwa perampokan dan perampasan truk bantuan ke Jalur Gaza menjadi masalah besar, namun Hamas, kelompok militan Islam yang merebut kekuasaan di Gaza pada tahun 2007, membantah telah merampas bantuan untuk anggotanya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya