Liputan6.com, Jakarta Bulan Sura adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. Secara lugas maknanya merupakan tahun baru menurut penanggalan Jawa. Tradisi dan kepercayaan Jawa melihat bulan Sura sebagai bulan sakral. Mereka yang indera keenamnya sensitif akan merasakan bahwa sepanjang Bulan Sura ini aura mistis dari alam gaib begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya.
Dalam kesadaran makrokosmos, masyarakat Jawa meyakini bahwa Tuhan menciptakan kehidupan di alam semesta mencakup berbagai dimensi yang fisik (wadag) maupun metafisik (gaib). Seluruh penghuni masing-masing dimensi mempunyai kelebihan maupun kekurangan.
Baca Juga
Interaksi antara dimensi alam fisik dengan dimensi metafisik merupakan interaksi yang bersimbiosis mutual, saling mengisi mewujudkan keselarasan dan keharmonisan alam semesta sebagai upaya mewujudkan rasa syukur akan karunia terindah dari Tuhan. Sehingga manusia bukanlah segalanya di hadapan Tuhan, dan dibanding mahluk Tuhan lainnya.
Advertisement
Karena itu, tidak seharusnya manusia mentang-mentang mengklaim dirinya sendiri sebagai mahluk paling sempurna dan mulia, hanya karena akal-budinya.
Mikrokosmos
Mikrokosmos
Selain kesadaran makrokosmos, sebaliknya di sisi lain kesadaran mikrokosmos Jawa, diyakini bahwa akal budi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi dapat memuliakan manusia tetapi di sisi lain justru sebaliknya akan menghinakan manusia, bahkan lebih hina dari binatang, maupun mahluk gaib jahat sekalipun.
Berdasarkan dua dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa memiliki prinsip hidup yakni pentingnya untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta agar supaya kelestarian alam tetap terjaga sepanjang masa. Menjaga kelestarian alam merupakan perwujudan syukur tertinggi umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan bumi ini berikut seluruh isinya untuk dimanfaatkan umat manusia.
Dalam tradisi Jawa yang dianggap paling klenik sekalipun, prinsip dasar yang sesungguhnya tetaplah percaya pada Tuhan. Karena itu, di awal atau di akhir setiap kalimat doa dan mantra selalu diikuti kalimat; saka kersaning Gusti, saka kersaning Allah.
Semua media dalam ritual, hanya sebatas dipahami sebagai media dan kristalisasi dari simbol-simbol doa semata. Doa yang ditujukan hanya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Prinsip tersebut memproyeksikan bahwa kaidah dan prinsip religiusitas ajaran Jawa tetap jauh dari kemusrikan maupun syirik yang menyekutukan Tuhan.
Cara pandang tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki tradisi yang unik dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tipikal tradisi Jawa kental akan penjelajahan wilayah gaib sebagai konsekuensi adanya interaksi manusia terhadap lingkungan alam dan seluruh isinya.
Advertisement
Dua dimensi
Dua dimensi
Lingkungan alam dilihat memiliki dua dimensi, yakni fana/wadag atau fisik, dan lingkungan dimensi gaib atau metafisik. Lingkungan alam tidak sebatas apa yang tampak oleh mata, melainkan meliputi pula lingkungan yang tidak tampak oleh mata (gaib).
Boleh dikata pemahaman masyarakat Jawa akan lingkungan atau dimensi gaib sebagai bentuk kepercayaan pada yang gaib. Bahkan oleh sebagian masyarakat Jawa, unsur kegaiban tidak hanya sebatas diyakini tetapi lebih dari itu seseorang dapat membuktikannya dengan bersinggungan atau berinteraksi secara langsung dengan yang gaib sebagai bentuk pengalaman gaib.
Karena itu, bagi masyarakat Jawa dimensi gaib merupakan sebuah realitas konkret. Dalam arti hal-hal yang dapat dibuktikan melalui indera penglihatan maupun indera batin. Penjelasan ini masih sulit dipahami mereka yang belum pernah samasekali bersinggungan dengan hal-hal gaib. Sehingga cerita-cerita maupun kisah-kisah gaib dirasa tak masuk akal, mustahil.