Indonesia Minim Tenaga Medis Cedera ACL

Teknologi baru dalam operasi cedera olahraga belum banyak diketahui tenaga medis di Indonesia, khususnya cedera Anterior Cruciate Ligament.

oleh Risa Kosasih diperbarui 28 Feb 2016, 18:00 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2016, 18:00 WIB
Indonesia Minim Tenaga Medis Cedera ACL
Teknologi baru dalam operasi cedera olahraga belum banyak diketahui tenaga medis di Indonesia, khususnya cedera Anterior Cruciate Ligament.

Liputan6.com, Jakarta Teknologi baru dalam operasi cedera olahraga belum banyak diketahui tenaga medis di Indonesia, khususnya cedera ACL (Anterior Cruciate Ligament). Hingga tahun ini saja, dokter ortopedi yang berkualifikasi melakukan operasi ACL dengan Arthroscopy (metode teropong sendi) kurang dari 25 orang.

Hal ini dijelaskan oleh dr. I Gusti Made Febry Siswanto, SpOT, spesialis orthopedi dan traumatologi dari RS Royal Progress, Sunter kepada Liputan6.com, Sabtu (27/2) sore. Oleh karena itu, tim medis dari klinik Sport Medicine Center rumah sakit tersebut mengadakan Arthroscopy Live Surgery, proses bedah cedera lutut ACL yang bisa disaksikan lewat video conference.

Pada kesempatan tersebut, dr. Bobby N.Nelwan,SpOT tengah memimpin operasi ACL di ruang bedah. Tanya jawab bisa dilakukan antara dokter Bobby dengan dr Febry yang berada di auditorium bersama tenaga medis peserta workshop, sambil fokus 'mengutak-atik' lutut pasien. 

Bagi orang awam, operasi lutut bisa dibayangkan dengan bagian kaki yang disayat panjang dan durasi bedah yang lama. Namun saat ini, Arthroscopy memungkinkan kamera berukuran sangat kecil mendeteksi letak ligamen yang sobek, dan menghasilkan luka operasi tak lebih dari 10 mili meter.

"Arthroscopy belum berkembang di Indonesia, lagi pula biayanya tidak murah karena menggunakan peralatan canggih. Bedanya dengan operasi konvensional, alat yang sudah digunakan tidak bisa dipakai lagi dengan disterilkan," tutur dokter Febry.

Pasien harus merogoh kocek sekitar Rp 60 juta untuk sekali operasi cedera ACL yang menimpanya. Belum lagi, proses rehabilitasi memakan waktu enam sampai sembilan bulan dengan melibatkan fisioterapis dan personal trainer agar bisa kembali melakukan aktivitas olahraga.

Wadah para dokter yang menekuni bidang ini, yakni Indonesian Orthopaedic Society for Sport Medicine and Arthroscopy (IOSSMA), sudah mulai menyadari pentingnya edukasi melakukan operasi Arthroscopy. Para dokter spesialis orthopedi dapat mengambil program pendidikan Fellowship Orthopedic Sports Medicine selama satu tahun, termasuk waktu tiga bulan untuk menimba ilmu di klinik olahraga luar negeri.

Dr. Febry misalnya. Dia mendalami bidang Sports injury dan Arthroscopy melalui fellowship program di CSMC Hospital-Philippines dan mendalami bidang Shoulder Injury (cedera bahu) di Universitas of Santo Thomas-Philippines. Sejauh ini, ada 23 dokter berkualifikasi pada Arthroscopy tersebar di Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Bali, dan Makassar.

"Penduduk Indonesia 260 juta orang, berarti ini sangat kurang. Kita sudah ketinggalan dengan Singapura, Malaysia dan Filipina. Perbandingan dokter di sana bisa 1:100 penduduk," tutur dr Febry lagi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya