Liputan6.com, Jakarta Ada dua alasan mendasar mengapa seorang dokter mau bertugas di daerah terpencil Indonesia. Selain untuk melanjutkan sekolah, beberapa dokter merasa terpanggil untuk membantu masyarakat.
Berbekal kedua hal ini, Dokter Afifah Mayangsari Yanis atau akrab disapa Mayang membulatkan tekadnya untuk melaksanakan tugas kemanusiaan di Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Baca Juga
Tepatnya Mei 2015, Mayang berangkat ke Halmahera Selatan dan ditempatkan di Puskesmas Makian. Di Kabupaten ini, kata dia, sebenarnya ada 32 Puskesmas yang semestinya diisi oleh dokter umum. Namun kenyataannya hanya 18 dokter yang bertugas. Sisanya kosong.
Advertisement
"Dokter di Indonesia Timur itu kekurangan banget. Di wilayah kerjaku, sampai saat ini belum ada dokter PNS. Ada juga satu dokter PNS tapi menjabat Direktur rumah sakit tipe D yang setara Puskesmas. Alhasil, semua dokter yang ditempatkan di sana enggak terikat atau hanya 1-2 tahun. Kosongnya bisa sampai sebulan," katanya saat diwawancarai Liputan6.com, Selasa (16/5/2016).Â
Baca Juga
Menurut gadis kelahiran Jakarta 1 Februari 1990 ini, sejak jalur PTT pusat ditutup, semua dokter mengandalkan Pemerintah Daerah untuk penempatan kerja. Dan dengan berbagai alasan, banyak dokter yang enggan ditempatkan di sana.
"Akses memang jadi kendala utama. Pasien gawat darurat memang jarang tapi ada saja. Dan kita susah merujuknya. Sementara rumah sakit besar ada di Ternate, kami harus menyewa kapal dengan harga Rp 1,5 juta sekali jalan. Itu untuk kapasitas lima orang. Kalau ada ombak, kami enggak bisa naik itu," katanya.
Mayang masih ingat, bagaimana kasus-kasus seperti ibu hamil yang harus ditangani cepat bisa terlambat hanya karena medan yang sulit. Belum lagi, fasilitas Puskesmas yang terbatas, membuat pasien tidak mendapatkan pelayanan maksimal.
"Beruntung, masyarakat di sana masih mau gotong royong. Mereka mau membantu ibu ini berangkat ke Ternate," ujarnya.
Masalah tidak berhenti sampai di situ. Kasus lainnya datang justru tanpa bisa ditebak. Pernah suatu ketika, tengah malam, pintu rumahnya diketuk beberapa kali oleh para nelayan. Ternyata ada seorang nelayan yang perutnya tertusuk ikan-semacam ikan pedang.
"Di sana banyak nelayan yang mengail ikan di tengah malam. Waktu saya lihat kondisinya, ikan itu sudah menembus rongga usus bapak itu," katanya.
Ada pula kasus parah lainnya yang melibatkan seorang kakek. Kelopak matanya menjuntai, hampir lepas. Entah apa yang telah dilakukannya tapi dia bersikeras tidak mau dirujuk ke rumah sakit.
"Saya ingat, itu magrib, mungkin karena sudah menjelang malam dan ombak yang besar membuat kakek itu tidak mau dirujuk. Tapi kondisinya parah, dia harusnya dirawat oleh dokter spesialis bedah plastik, yah minimal dokter bedah. Karena kakek ini tidak mau dirujuk, terpaksa dokter mengeluarkan surat persetujuan menolak dirujuk," katanya.
Kasus kecelakaan memang banyak di sana, namun bagi Mayang, ada satu kasus yang paling berkesan. Â
Berdebat
Berdebat dengan masyarakat
Satu kejadian yang mungkin tak akan dilupa Mayang. Dia membantu anak kecil dan berdebat keras dengan orangtuanya.
"Jadi waktu itu aku dipanggil, ada anak kecil yang menderita sesak napas. Pas aku periksa, ternyata anak itu mengalami infeksi saluran napas. Tapi dia juga punya kelainan bawaan, gizi buruk, hernia, dan gangguan pertumbuhan. Kondisinya parah tapi keluarganya tidak mau dirujuk," ujar dia.
Orangtua anak itu bercerita, bagaimana keluarganya masih menyimpan trauma mendalam karena sang kakak sakit dan harus dirujuk namun meninggal di kapal sebelum mendapatkan perawatan medis di Ternate.
"Semua anggota keluarganya menolak membawa anak ini. Padahal, anaknya masih bisa ditolong. Akhirnya aku ajak ngobrol, dan bantu jelaskan kondisi anaknya. Setelah debat dan beri pengertian, orangtuanya mau. Tak lama, anak ini dibawa ke Puskesmas untuk diinfus dan dirujuk ke Ternate," katanya.
Meski kondisinya bukan sesuatu yang berat, namun kini anak tersebut telah sehat. Sebagai tenaga medis, Mayang merasa orang setempat mulai percaya padanya.
"Alhamdulillah, anaknya sekarang sehat, hernia sudah dioperasi, dia sudah konsul ke dokter anak dan itu cukup bikin saya senang," katanya.
"Kendala pendidikan dan bahasa itu bukan apa-apa. Kalau kita mau usaha, masyarakat juga akan mengerti. Kita orang luar, sebisa mungkin kita bantu mereka juga pasti ada yang berpikir negatif. Tapi aku yakin, kalau kerja berdasarkan hati nurani, kita bisa bantu orang lain," ungkap Mayang.
Berdebat dengan masyarakat memang bukan sekali atau dua kali dilakukan gadis pecinta Travelling ini. Selain perbedaan pandangan mengenai kesehatan, masyarakat cenderung masih percaya berobat ke dukun atau disebut orang tua-tua. Selain itu, mereka juga terbiasa dengan pola pengobatan perawat dan bidan yang merupakan penduduk lokal di sana.
"Membangun kepercayaan itu susah. Dulu awal di sana sepi, sampai akhirnya mereka mulai kenal, karena aku coba berbaur sama mereka. Ikut voli, pengajian, tahlilan sampai kegiatan rutin. Dari nggak percaya, sekarang mereka mau diedukasi," katanya.Â
Advertisement
Masalah obat
Masalah obat yang tak kunjung beres
Satu hal yang tak kunjung beres dalam menangani pasien di Puskesmas Makian itu masalah ketersediaan obat. Mayang mengatakan, sejauh ini kebutuhan obat di Puskesmas hanya datang dari Dinas Kesehatan setempat. Itupun dokter harus membuat surat permintaan obat tiga bulan sekali.
"Sekali datang memang banyak, bisa satu truk. Tapi kebanyakan obatnya habis. Kita bisa saja sih minta, tapi perjalanan dinas bisa menghabiskan uang transpor sekitar Rp 1 juta untuk naik kapal," katanya.
Pengadaan obat, bagi Mayang, sangat penting mengingat warga sekitar yang mulai percaya dengannya. "Kita selalalu kekurangan. Kita selalu minta, tapi obat yang aku butuhin sering nggak ada atau expired. Jadi sering banget tuh permintaan obat disesuaikan dulu. Aku cek dulu, kalau kurang, aku tambahin jumlahnya."
Sudah melakukan trik itu pun, obat yang datang belum tentu sesuai.
Mayang mengaku kurang memahami sistemnya. Tapi kebutuhan Puskesmas yang semestinya bisa didapat dari BPJS Kesehatan juga nyatanya nihil.
"Seingat aku ada biaya kapitasi untuk obat sekian, dokter dan administrasi sekian. Tapi selama di sana, kebijakan Pemda setempat, 50 persen dana untuk Pemerintah setempat dan sisanya untuk Puskesmas," ujarnya.
Akibatnya, masyarakat yang harus menanggungnya. Karena pasokan obat tetes telinga kosong misalnya, ada pasien yang mengalami infeksi telinga harus diberikan obat oral meski kurang efektif.
"Harus pintar-pintar dokternya menjelaskan, obat ini habis. Ada masyarakat yang mau ambil resepnya dan dia beli sendiri tapi enggak semua pasien punya uang karena beli obat harus di Ternate," katanya.
Ancaman penyakit di musim buah
Di balik rasa kegembiraan warga Halmahera Selatan saat buah melimpah, rasa khawatir justru menghampiri bagi para dokter.  "Warga sering makan buah asal digigit begitu. Mereka malas mengupasnya dan langsung memakannya," ujar Mayang.
Akibatnya, sebagian besar penduduk mengalami diare. Beberapa pengetahuan dasar mengenai kebersihan pun akhirnya diberikan.
Ada yang menarik ketika Mayang bercerita bagaimana penyuluhan kesehatan dilakukan pada malam hari. Dan untuk menarik minat masyarakat, edukasi akan dimulai setelah "nonton bareng".
"Jangan bayangin penyuluhan di gedung dan sebagainya. Karena di Halmahera Selatan, penyuluhan dilakukan di jalan raya. Kalau hujan, kita pindah ke halaman rumah orang. Tapi sebelumnya, kita biasanya adakan nonton film dulu," ujarnya.Â
Ironi dan Bahagia
Ironi kehamilan remaja
Daerah kepulauan timur Indonesia memang memiliki kasus HIVÂ yang tinggi. Mayang sendiri selama berada di sana agak heran dengan perilaku seks anak mudanya. Menurutnya, mungkin karena keterbatasan listrik, banyak anak sekolah yang bercinta di tempat umum tanpa "pengaman".
"Banyak anak sekolah yang tidak mendapat pendidikan seks. Itu sebabnya mereka bisa bebas bergaul tanpa pendampingan orangtua," katanya.
Yang membuat Mayang terkejut, para siswi di sana seolah tidak malu bila hamil di luar nikah. Mereka berbondong-bondong datang ke puskesmas dan meminta obat untuk mengurangi efek mual dan sebagainya.
"Menurut guru di sana, kejadian seks bebas meningkat sejak ada tugas kelompok. Mungkin mereka mengerjakannya malam-malam dan akhirnya terjadilah seks itu. Tapi sejak tugas kelompok itu ditiadakan, kasusnya mulai berkurang," katanya.
Untuk urusan ini, Mayang juga aktif melakukan kegiatan penyuluhan ke sekolah-sekolah khususnya SMP dan SMA. Dia menyampaikan beberapa poin edukasi pendidikan seks dalam program ABATÂ (Aku Bangga Aku Tahu).
Bahagia itu dari hal sederhana
Akses yang sulit, persediaan obat yang kurang, masyarakat yang kurang berpendidikan ternyata tidak membuat Mayang merasa kapok ditempatkan di sana. Menurut dia, bekerja di tengah masyarakat yang membutuhkan jauh lebih membahagiakan.
"Di sana itu enggak ada tekanan, punya keluarga baru dan sudut pandang hidup yang baru. Ini membuat aku merasa, oh, bahagia itu sederhana," pungkasnya.
Advertisement