Liputan6.com, Jakarta Menjadi sosok yang maskulin adalah impian kebanyakan pria. Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap pria dididik sejak kecil untuk menjadi lebih tangguh dalam menghadapi sesuatu dan menyingkirkan perasaan terlalu emosional layaknya kebanyakan wanita.
Tidak sedikit jumlah ayah yang mendidik anak lakinya untuk melampiaskan perasaan emosi dengan amarah atau kekerasan yaitu keinginan kuat untuk berkelahi secara fisik. Ini merupakan respon umum lantaran orangtua berharap agar anak lakinya suatu hari kelak tidak ‘lembek’ atau menjadi seorang penakut saat dihadapi berbagai macam masalah.
Namun, apakah semua pria harus didoktrin menjadi pribadi yang tangguh dan terhindar dari penderitaan emosional layaknya yang dimiliki kebanyakan wanita? Apakah stigma pria tangguh selalu membawa kebaikan terhadap kesehatan psikis sekaligus mental setiap pria di dunia? Bagaimana jika beberapa dari mereka tidak ingin mengikuti stereotip tersebut?
Melansir The New York Times, Senin (17/10/2016), seorang peneliti sekaligus penulis buku dalam bidang kemaskulinan pria bernama Michael Kimmel bertekad untuk mengupas dan menganalisis persepsi seputar maskulinitas sejak abad ke-18.
Topik menariknya itu telah dijadikan mata kuliah khusus di sejumlah universitas di Amerika Serikat yang bertajuk Real Men Smile. Kimmel terus mendatangi universitas-universitas tersebut untuk memberikan kuliah umum tentang bagaimana maskulinitas telah atau belum berubah sejak 3 abad lalu.
Salah seorang murid di Towson University menceritakan bagaimana dirinya sangat tertarik akan topik ini saat dibawakan oleh Kimmel ke kampusnya pada tahun 2011 lalu.
“Ia datang ke kampus saya untuk membicarakan hal seputar Bro Code dan juga membantu para siswa mengeksplorasi jiwa pria yang mungkin tertutup karena berusaha terlihat maskulin yaitu, perasaan malu, kesedihan, putus asa, emosi yang kuat selain amarah, rasa keterasingan dan lainnya,” jelasnya.
Murid ini menerangkan bahwa Kimmel berhasil mengungkap sebuah fakta bahwa setiap pria yang terlihat maskulin sebetulnya mengenakan sebuah topeng yang mana menutupi dirinya yang sebetulnya.
“Kebanyakan pria maskulin sebetulnya di dalam lubuk hati mereka merasakan pedih atau emosi mendalam layaknya seorang wanita tetapi mereka berpura-pura tidak merasakannya agar tidak terlihat lemah,” lanjutnya.
Pria yang sebenarnya
Selain fakta tersebut, Kimmel juga berhasil mengungkap melalui penelitiannya bahwa anak laki usia empat hingga lima tahun umumnya lebih emosional dibandingkan anak perempuan.
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian dari Harvard Medical School dan rumah sakit anak di Boston pada tahun 1999 silam yang mana menunjukkan bahwa anak laki usia bayi hingga balita lebih sering menunjukkan ekspresi wajahnya saat marah, menginginkan sesuatu untuk memberikan signal atau isyarat agar yang ia mau terpenuhi dibandingkan anak perempuan.
Terlebih lagi, anak pria lebih sering menangis dibandingkan perempuan dan lebih cenderung mengikuti gerak-gerik ibu mereka sekaligus menampilkan ekspresi wajah sukacitanya.
Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu dan ketika ia beranjak dewasa, kebanyakan pria semakin gemar bersosialisasi dan hal ini menjadi ranah untuk dirinya melakukan pembuktian bahwa ia maskulin dan memiliki kedudukan di mata sosial.
Ini mungkin menjelaskan istilah Bro Code di mana setiap laki-laki memilih untuk lebih ke temannya dibandingkan kekasih, istri atau keluarganya. Kedudukan tersebut penting untuk maskulinitasnya.
Advertisement