MUI Angkat Bicara soal Nikah Siri

Wakil ketua Umum MUI mengutarakan beberapa dampak negatif seputar nikah siri, apa saja?

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Sep 2017, 17:22 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2017, 17:22 WIB
Serba Serbi Nikah Siri, dari Sah hingga Merugikan
Nikah siri memang sudah sering didengar, apakah nikah ini sah? Begini serba-serbinya. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Saadi, mengatakan MUI tidak menganjurkan nikah siri atau nikah secara diam-diam. Pernikahan jenis ini, menurut dia, tak memiliki landasan hukum atau pengakuan negara, sehingga rentan terjadi sengketa tidak berkesudahan.

"MUI mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Zainut di Jakarta, seperti dilansir dari Antaranews, Senin (25/9/2017). 

Meskipun nikah siri sah secara agama, kata dia, pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan tidak adanya kekuatan hukum, maka baik istri maupun anak berpotensi menderita kerugian akibat pernikahan tersebut.

Dia mengatakan perkawinan seperti itu seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap istri dan anak yang dilahirkannya, terkait dengan hak-hak mereka, seperti nafkah maupun hak kewarisannya.

Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut, kata Zainut, seringkali menimbulkan sengketa. Sebab, tuntutan akan sulit dipenuhi karena tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.

 

Simak juga video menarik berikut:

 

Pernikahan siri bisa menjadi haram, jika...

Untuk menghindari kemudaratan, ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi yang berwenang.

Menurut dia, pernikahan di bawah tangan atau nikah siri baru sah secara hukum kalau telah terpenuhi syarat dan rukun nikah. Rukun pernikahan dalam Islam antara lain ada pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali, dua orang saksi laki-laki, mahar, serta ijab dan kabul.

Akan tetapi, ucap dia, pernikahan tersebut bisa menjadi haram jika menimbulkan mudarat atau dampak negatif.

MUI juga telah mengeluarkan fatwa terkait pernikahan tersebut sesuai hasil keputusan Ijtima Ulama se-Indonesia ke-2 di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur tahun 2006.

Dia mengatakan, MUI berpandangan tujuan pernikahan itu sangat luhur dan mulia untuk mengangkat harkat dan martabat manusia yang tidak sekadar memenuhi kebutuhan nafsu dasariah manusia saja, yaitu hanya pemenuhan kebutuhan seks semata.

"Pernikahan merupakan institusi yang sakral yang harus dijaga dan dipelihara. Tidak boleh direndahkan dan dijadikan sebagai komoditas perdagangan semata. Jika hal tersebut terjadi, maka sama halnya merendahkan nilai-nilai kemanusiaan," kata dia.

(Anom Prihantoro/Antaranews)

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya