Cantik Dikategorikan sebagai Hak Asasi Manusia di Negara Ini

Walaupun standar kecantikan di setiap negara berbeda, masyarakat Brasil memiliki hak asasi untuk menjadikan dirinya terlihat indah dipandang.

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 11 Mei 2018, 15:00 WIB
Diterbitkan 11 Mei 2018, 15:00 WIB
Sao Paulo Fashion Week
Model berjalan di atas catwalk mengenakan busana karya dari Agua de Coco untuk Liana Thomaz selama Sao Paulo Fashion Week di Sao Paulo, Brasil, (23/4). (AFP Photo/Miguel Schincariol)

Liputan6.com, Jakarta Walaupun kecantikan bukanlah hal yang mutlak dan bersifat relatif, di Brasil, cantik ternyata dianggap sebagai hak asasi manusia yang boleh diterima oleh masyarakatnya.

Para penduduk asli Brasil dianggap memiliki "hak atas kecantikan". Pemerintah setempat ikut mendukung ini dengan menyubsidi hampir setengah juta operasi setiap tahun. Dilaporkan Vice, banyak rumah sakit umum yang menawarkan operasi plastik secara gratis atau berbiaya rendah.

Dilansir dari New York Post, Jumat (11/5/2018), kecantikan di negara tersebut dianggap penting bagi pasar kerja, mencari pasangan, serta untuk bisa lebih maju di wilayah Amerika Selatan.

Hal ini sayangnya menimbulkan permasalahan baru. Banyak masyarakat Brasil mempertimbangkan operasi plastik gratis atau murah tanpa mempertimbangkan risikonya. Walaupun begitu, prosedur ini tetap populer di sana.

Seiring berjalannya waktu, hal ini menjadikan Brasil sebagai konsumen operasi plastik terbesar kedua di dunia. Paling tidak, tercatat ada sekitar 1,2 juta operasi yang dilakukan setiap tahunnya.

Simak juga video menarik berikut ini:

 

Buruk Rupa Adalah Masalah Kemanusiaan

Sao Paulo Fashion Week
Model berjalan di atas catwalk mengenakan busana karya dari koleksi Projeto Ponto Firme selama Sao Paulo Fashion Week di Sao Paulo, Brasil, (23/4). (AFP Photo/Miguel Schincariol)

Ide menjadikan kecantikan sebagai hak asasi manusia bisa dilihat sejak 1950-an ketika seorang ahli bedah bernama Ivo Pitanguy, meyakinkan presiden Juscelino Kubitschek bahwa hak atas kecantikan sama pentingnya dengan kebutuhan di bidang kesehatan lainnya.

Dia menganggap bahwa buruk rupa dapat menyebabkan banyak penderitaan psikologis dan dianggap sebagai masalah kemanusiaan.

Tujuan awalnya adalah mereka yang mengalami cacat bawaan atau korban luka baakar. Namun, sebagian besar yang saat ini dilakukan diyakini hanya berdasarkan alasan estetika.

Masyarakat sendiri kerap dengan sengaja mengaburkan batas antara prosedur rekonstruksi dan estetika, untuk mendapatkan persetujuan pemerintah.

Sayangnya, hanya ada sedikit aturan yang melindungi para pasien dari malapraktik. Terutama, kebanyakan dari mereka berpenghasilan rendah, serta sulit mendapat keadilan jika prosedur yang dilakukan salah.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya