Sains Ungkap Orang Beragama Lebih Terlindungi dari Depresi

Studi menyatakan bahwa walaupun memiliki risiko genetik terkena depresi, namun jika orang tersebut beragama, otaknya akan lebih terlindungi dari masalah mental

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 25 Feb 2019, 20:00 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2019, 20:00 WIB
Masjid dan Katedral
Masjid Al-Amin dan Katedral Christian Maronite saat diterangi cahaya bergambar masjid al-Aqsa dan gereja Makam Suci di Kota Tua Yerusalem di Beirut, Lebanon, (7/12). (AFP Photo/Anwar Amro)

Liputan6.com, Jakarta Orang yang percaya pada agama ternyata lebih mungkin untuk terhindar dari depresi. Setidaknya, itulah yang diungkap dalam sebuah penelitian terbaru.

Melansir Mashable pada Senin (25/2/2019), para peneliti mengatakan bahwa kepercayaan spiritual mungkin bisa menjadi bentuk perlindungan dari depresi. Sehingga, ini tidak hanya terkait dengan genetika.

Tim peneliti dari Departemen Psikiatri Columbia University dan New York State Psychiatry Institute, Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa depresi lebih banyak berhubungan dengan genetik. Namun, beberapa orang yang diamati oleh para ilmuwan ternyata tidak memiliki anggota keluarga yang terkena depresi.

Studi tersebut menggunakan pencitraan tensor difusi, sejenis neuroimaging berbasis MRI yang memetakan materi putih di otak 99 partisipan. Sekalipun tidak semua memiliki genetik depresi, namun mereka semua memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda. 

 

Simak juga video menarik berikut ini:

 

Pengaruh agama pada otak

Yerusalem di Pusaran Konflik Tiga Agama
Ada cerita yang menarik dari Church of the Holy Sepulchre atau Gereja Makam Kudus di Kota Tua Yerusalem ini yaitu juru kunci gereja paling suci ini bukanlah seorang Kristiani melainkan dari umat Muslim. (iStockPhoto)

Mengutip Science Alert, penelitian ini sendiri memulai data dari sebuah penelitian di 2005 yang menyatakan bahwa agama bisa berfungsi sebagai pelindung dari depresi. Selain itu, studi 2013 juga menyatakan bahwa mereka yang dirawat karena masalah mental merespon pengobatan dengan lebih baik jika mereka percaya pada Tuhan.

Sebuah studi lain menyatakan bahwa penipisan materi putih adalah penanda depresi di otak. Sementara di tahun 2014, penelitian lain mengatakan bahwa agama dan spiritulaitas terkait dengan korteks yang lebih tebal di beberapa daerah yang berkaitan dengan depresi.

Semua temuan ini mengkorelasikan dua hal tersebut. Para peneliti menemukan bahwa mereka yang memiliki risiko depresi keturunan tetapi memiliki iman dan spiritual yang lebih tinggi, memiliki otak yang mirip dengan peserta dengan risiko depresi rendah secara genetik.

"Kami menemukan bahwa kepercayaan akan pentingnya agama atau spiritualitas terkait dengan korteks yang lebih tebal di daerah parietal dan oksipital bilateral," tulis para ilmuwan dalam studi yang terbit di Brain and Behaviour tersebut.

"Seperti yang kami laporkan sebelumnya bahwa penipisan kortikal di wilayah ini menjadi biomarker yang stabil untuk risiko depresi, kami berhipotesisi bahwa korteks yang lebih tebal pada mereka yang melaporkan pentingnya keyakinan (agama atau spiritual) yang tinggi, bisa berfungsi sebagai mekanisme kompensasi atau perlindungan."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya