Liputan6.com, Jakarta Tanda pagar (tagar) #JusticeforAudrey menggema di lini masa Twitter Indonesia sejak Selasa (9/4/2019). Tagar tersebut menggugah kesadaran massa akan kasus perundungan (bullying) terhadap seorang siswi SMP berinisial ABZ yang dilakukan sekelompok siswi SMA di Pontianak, Kalimantan Barat.
Dari cuitan warganet di Twitter diketahui, siswi 14 tahunan itu menjadi korban pengeroyokan dan kekerasan oleh 12 pelajar SMA pada 29 Maret 2019. Diduga, adu komentar di media sosial terkait masalah asmara menjadi pemicu aksi perundungan tersebut.Â
Akibat perilaku kekerasan yang dialaminya, kini ABZ masih menjalani perawatan di rumah sakit di Pontianak. Polisi pun tengah mengusut kasus tersebut. Status perkara telah dinaikkan ke tahap penyidikan.
Advertisement
"Saat ini dari pihak Polresta Pontianak sudah melakukan proses penyidikan, sudah ditingkatkan menjadi penyidikan bukan lagi penyelidikan," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo, Rabu (10/4/2019).
Tak hanya menjadi trending topic di Twitter Indonesia, berikutnya muncul pula petisi daring Justice for Audrey yang dibuat oleh warganet yang bersimpati pada ABZ. Petisi online itu ditujukan untuk Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) agar tidak menyelesaikan kasus dengan akhir damai.
"Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPAD) berharap ini berakhir damai demi masa depan para pelaku. Kenapa korban kekerasan seperti ini harus damai?" tulis pembuat petisi, Rachira Anindy, dikutip dari laman Change.org.Â
Baca Juga
Seperti tagar JusticeforAudrey yang menduduki posisi puncak di lini masa Twitter, petisi terkait kasus tersebut juga mendapat respons luar biasa dari warganet. Per tanggal 10 April 2019 pukul 18.17 WIB, petisi Justice for Audrey tembus lebih dari 3,2 juta tanda tangan dari target semula yang hanya 500 ribu tanda tangan.
Â
Â
Kasus Kekerasan Anak di Indonesia
Kekerasan terhadap anak tak hanya dialami oleh ABZ, ada banyak kasus serupa terjadi di Indonesia.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa pada 2018 mereka mendapatkan banyak laporan terkait kasus kekerasan pada anak baik secara fisik, psikis, verbal, dan seksual. Namun, Susanto tidak secara rinci menyebutkan jumlahnya saat ditemui di Jakarta, Rabu (10/4/2019).Â
"Prinsipnya seluruh laporan yang ada tidak semata-mata menyelesaikan kasusnya, tapi kita harus jadi titik masuk untuk perubahan kebijakan yang lebih besar termasuk juga perubahan perilaku publik. Semua kasus harus selesai," kata Susanto, Ketua KPAI.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh KPAI Bidang Data dan Pengaduan Tahun 2018, tercatat ada 33.462 kasus kekerasan anak pada tahun 2011-2018. Sumber data primer tersebut didapat dari pengaduan langsung ke KPAI, pengaduan online bank data perlindungan anak, pengaduan hasil pemantauan dan investigasi kasus KPAI, serta pengaduan hotline service KPAI.Â
KPAI membagi jumlah kasus menjadi 10 klaster. Kasus kekerasan anak seperti yang dialami ABZ masuk dalam klaster Anak Berhadapan Hukum (ABH). Tercatat, 107 kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik (penganiayaan, pengeroyokan, perkelahian, dsb) pada 2018. Sementara ada 166 kasus anak sebagai korban kekerasan fisik pada tahun yang sama.
Dari tabel data KPAI periode 2011-2018 itu juga terlihat, kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik mencapai jumlah tertinggi pada 2017 yakni 112 kasus. Sementara anak sebagai korban kekerasan fisik mencapai jumlah tertinggi pada 2014 dengan 273 kasus.
Terkait kasus kekerasan anak yang menimpa ABZ, Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati menyesalkan hal tersebut.
"KPAI menyesalkan adanya kasus pengeroyokan terhadap anak dengan pelaku anak juga," kata Rita, Selasa 9 April 2019.
Menurut Rita, proses penyelesaian kasus tersebut harus dilandaskan pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang menyebutkan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) adalah anak pelaku, korban dan saksi.
Senada dengan Rita, Ketua KPAI Susanto menyerahkan kasus tersebut pada pihak kepolisian dan menekankan agar penanganan kasus mengacu pada UU SPPA.
"Karena pelakunya masih usia anak, negara sudah memberikan acuan yaitu Undang-Undang Sistem Peradilan Anak nomor 11 tahun 2012. Itulah yang harus menjadi acuan penanganan kasus ini," kata Susanto di Jakarta, Rabu (10/4/2019).Â
Â
Â
Â
Advertisement
Tak Ada Istilah Damai
Susanto meminta agar masyarakat memberi waktu kepada pihak kepolisian yang sedang mengungkap lebih dalam mengenai kejadian ini. KPAI juga menyerahkan wewenang untuk memantau dan mengawasi proses hukum kasus ini kepada Komisi Perlindungan Anak Daerah di Kalimantan Barat.
Selain itu, untuk kasus ini, Susanto juga tidak bisa menyatakan apa yang menjadi penyebab pengeroyokan terjadi. Menurutnya, setiap kasus memiliki faktor pemicu yang bermacam-macam dan tidak bisa digeneralisir.
"Apa pun dan bagaimana pun, tindak kekerasan tidak diperbolehkan. Siapa pun pelakunya baik itu anak atau orang dewasa."
Mengenai rumor yang menyebutkan bahwa jalan damai akan ditempuh, Susanto menyatakan bahwa tidak ada istilah "damai" dalam kasus ini. Maka dari itu, mereka meminta agar masalah ini tidak diselesaikan hanya dengan berdamai.
Senada dengan KPAI, psikolog sosial Ratna Djuwita dari Universitas Indonesia menilai, kasus yang menimpa ABZ sudah masuk dalam tindak kekerasan, bukan lagi bullying, dan jalan damai dirasa bukan penyelesaian terbaik.
"Menurut saya kejadiannya mungkin diawali bullying, tapi ketika sudah terjadi pengeroyokan yang begitu sadis sudah dapat dikategorikan sebagai violence (kekerasan)," ujar Ratna ketika dihubungi Health Liputan6.com, Rabu (10/4/2019).
Bila menilik kronologis yang beredar di media sosial, Ratna mengatakan pelaku harus mendapat pidana karena perilakunya telah masuk dalam tindak kekerasan.
"Kalau menurut saya, pelaku harus mendapat pidana karena sudah masuk ranah kekerasan," ujar Ratna Djuwita.
Ratna mengatakan, meski di bawah umur, saat seseorang sudah melakukan tindak pidana maka harus dikenai hukum yang sesuai.
Kekerasan Berbeda dari Bullying
Ada perbedaan antara perilaku kekerasan dengan perundungan atau bullying. Psikolog sosial Ratna Djuwita menjelaskan, dalam perundungan, perasaan agresif akan terasa namun tidak sampai mengarah pada kekerasan secara fisik pada korban.
Di sisi lain, Ratna menyayangkan bahwa masih banyak orang yang melihat tanpa membantu korban serta malah menertawai dan membantu pelaku. Hal ini cukup menunjukkan bahwa ada yang salah dengan pendidikan di Indonesia.
"Itu yang perlu dibahas. Ada apa dengan pendidikan kita," kata Ratna.
Ratna sendiri mengatakan bahwa kasus ini menjadi tantangan untuk dunia pendidikan di Indonesia. Khususnya mengenai penanaman empati dan keberanian untuk berani membela kebenaran.
Advertisement
Banjir Dukungan Moral
Kasus Justice for Audrey menyedot perhatian banyak orang. Para publik figur negeri ini pun ikut angkat bicara. Salah satunya, pengacara kondang Hotman Paris Hutapea yang menawarkan untuk membantu siswi SMP ini dalam menghadapi kasus hukum.
Walau terduga pelaku kekerasan masih termasuk usia anak, hukum pidana masih bisa ditegakkan.
"Walaupun dia masih di bawah umur dia masih tetap bisa diadili. Bukankah masih ada pengadilan anak?" kata Hotman seperti dikutip laman Instagram pribadinya.
"Kenapa 12 orang itu masih bisa bebas begitu saja? Bukankan ini tindak pidana serius, tidak bisa dihentikan walau ada perdamaian," tuturnya.
Selain Hotman, influencer yang digandrungi banyak anak muda Awkarin pun angkat bicara. Sebagai sosok yang pernah menjadi korban perisakan saat SMA, ia bisa memahami perasaan ABZ.
"Doakan ya, jika diberi kesempatan dan waktu, aku akan ke Pontianak, memperjuangkan hak (ABZ) dan hak asasi wanita," kata Awkarin di Instagram.
Vokalis Ifan Seventeen malah sudah langsung menjenguk bocah 14 tahun itu. Dalam akun Instagram pribadi, caleg DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tampak memberikan semangat kepada ABZ yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit tempat ia dirawat.