Liputan6.com, Jakarta - Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2018, Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia dalam hal konsumsi rokok setelah China dan India. 38,3 persen penduduk Indonesia adalah perokok dan sekitar 20 persen di antaranya adalah remaja usia 13 sampai 15 tahun.
Persentase perokok usia 10 sampai 18 tahun terus mengalami peningkatan dari 2013 sebesar 7,2 persen menjadi 9,1 persen di 2018.
Baca Juga
Di antara perokok anak, 1,5 persen perokok mulai merokok pada usia yang sangat muda yaitu usia 5 sampai 9 tahun sehingga Indonesia mendapat julukan baby smoker country. 56,9 persen perokok mulai merokok pada usia 15 sampai 19 tahun menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013).
Advertisement
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meneliti tentang pengaruh teman sebaya dan harga terhadap prevalensi merokok anak. Untuk melihat kedua pengaruh tersebut diperlukan data di tingkat individu yang merekam tiga informasi penting yaitu status anak merokok, proporsi teman sebaya yang merokok dan rata-rata tingkat harga rokok di lingkungan tempat tinggal anak.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Indonesia Family Life Survey (IFLS) adalah dua data survei rumah tangga dan individu yang representatif di tingkat nasional dan menyediakan informasi dan proxy untuk tiga informasi penting tersebut.
Dalam studi ini peneliti menggunakan data Susenas 2015 yang mencakup sampel sebanyak 244.737 sampel anak usia 7–18 dan data IFLS 4 dan 5 yang mencakup sampel sebanyak 7.122 sampel remaja usia 15–18 tahun.
Simak Video Berikut Ini:
Hasil Analisis
Analisis menunjukkan, prevalensi merokok pada anak dan remaja di Indonesia (7-18 tahun) berdasarkan Susenas 2015 adalah sebesar 2,7 persen. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi tertinggi berada pada usia 16-18 tahun, namun tidak sedikit dari anak usia 7–12 tahun juga telah merokok.
Berdasarkan estimasi peneliti dengan data Susenas, total perokok anak dan remaja di Indonesia mencapai 1,5 juta jiwa. Prevalensi merokok anak dari IFLS relatif lebih tinggi karena perbedaan cakupan dan definisi sampel IFLS. Selain itu, studi PKJS-UI juga menunjukkan:
1) Secara umum kedua faktor, efek teman sebaya maupun efek harga secara statistik berpengaruh terhadap peluang seorang anak merokok. Estimasi poin dari pengaruh positif sebaya merokok terhadap peluang seorang anak menjadi perokok berada pada rentang 0.1–49persen dari tiap 1 persen proporsi teman sebaya yang merokok.
2) Harga rokok berhubungan negatif dengan peluang anak merokok. Semakin mahal harga rokok maka semakin turun prevalensi anak merokok. Harga rokok berpengaruh besar terhadap perilaku merokok anak usia remaja (SMA) dibandingkan usia SMP & SD.
3) Efek teman sebaya berhubungan secara positif meningkatkan peluang seorang anak menjadi perokok terutama untuk kalangan anak usia SMA (berdasarkan antar kelompok usia), tinggal di desa dan luar Jawa.
Advertisement
Perlu Kebijakan yang Lebih Efektif
Ketua Peneliti, Teguh Dartanto, Ph.D mengatakan bahwa Kenaikan prevalensi perokok anak menunjukkan perlu kebijakan yang lebih efektif untuk menekan laju perokok khususnya perokok usia muda. Hasil studi menunjukkan efek teman sebaya maupun efek harga secara statistik berpengaruh terhadap peluang seorang anak merokok.
Untuk itu, peneliti merekomendasikan kebijakan yang dapat dilakukan, di antaranya:
“Hasil penelitian menunjukkan harga rokok berpengaruh besar terhadap perilaku merokok terutama usia remaja, maka kenaikan harga rokok adalah kunci pengendalian rokok pada anak-anak,” ujar Teguh dalam keterangan pers (27/8/2020).
Efek teman sebaya pun berhubungan secara positif meningkatkan peluang seorang anak menjadi perokok, maka diperlukan upaya terpadu dan menyeluruh dalam mempengaruhi social cognitive behaviour anak (misalnya: program kampanye anti rokok di sekolah-sekolah, pelarangan iklan rokok di sekitar sekolah).