2 Alasan Orang Ragu Konsultasi ke Psikolog Saat Kena Gangguan Mental

Setiap orang dapat memiliki gangguan kesehatan mental, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 07 Agu 2021, 11:00 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2021, 11:00 WIB
Ilustrasi orang dengan gangguan mental.
Ilustrasi orang dengan gangguan mental. (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Liputan6.com, Jakarta - Setiap orang dapat mengalami gangguan kesehatan mental, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda.

Bahkan, menurut catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi penderita depresi di Indonesia sebesar 6,1 persen pada 2018.

Angka tersebut meningkat di 2021, terutama dengan adanya pandemi COVID-19 yang membuat masyarakat lebih mungkin untuk terkena gangguan mental.

Walau gangguan mental sudah dirasakan dan mengganggu kehidupan sehari-hari, tapi sebagian masyarakat enggan pergi ke psikolog untuk konsultasi.

“Masih ada orang-orang Indonesia yang tidak ingin atau mampu pergi ke psikolog untuk berkonsultasi mengenai masalah atau gangguan mental yang dimilikinya,” kata psikolog dari aplikasi konseling daring Riliv, Della Nova Nusantara dalam keterangan pers dikutip Selasa (3/8/2021).

Ia menambahkan, ada berbagai hal yang menjadi alasan keraguan seseorang untuk datang ke psikolog, dua di antaranya adalah stigma sosial dan kurangnya pemahaman tentang kesehatan mental.

Simak Video Berikut Ini:

Stigma Sosial dalam Masyarakat

Alasan pertama yang membuat seseorang ragu untuk datang ke psikolog adalah stigma sosial dalam masyarakat.

Sejak lama, masyarakat Indonesia menganggap gangguan jiwa sebagai sesuatu yang tabu. Kebanyakan dari mereka tidak ingin menjadi bahan pembicaraan orang lain sebagai seseorang dengan perilaku yang menyimpang dari norma sosial, kata Della.

“Gangguan kesehatan mental itu bukanlah hal yang tabu, bukan pula aib, sama seperti saat fisik kita kalau sedang terluka, capek, kadang butuh istirahat, butuh penanganan yang tepat sesuai dengan kebutuhannya saat itu mungkin istirahat mungkin olahraga,” tambahnya.

Seperti fisik, mental juga butuh penanganan yang tepat untuk mengobatinya dan menjaganya tetap sehat.

Meski mulai berkurang di kalangan milenial dan Gen Z, stigma sosial masih dapat ditemukan. Pasalnya, melepaskan pemikiran kolektif yang telah tertanam sejak lama itu bukan merupakan hal yang mudah.

Kurangnya Pemahaman Kesehatan Mental

Della menambahkan, anggapan bahwa gangguan mental itu tabu menandakan bahwa kesadaran orang Indonesia masih rendah tentang kesehatan mental.

Biasanya, hal ini ditunjukkan dengan orang-orang yang menyepelekan gangguan mental, karena tidak bisa dilihat secara gamblang layaknya penyakit fisik.

Kenyataannya, penyakit mental dan fisik sama-sama menimbulkan rasa sakit kepada penderitanya. Bahkan, dalam beberapa kasus, penyakit mental lebih mungkin untuk mengancam nyawa seseorang, pungkasnya.

Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi COVID-19

Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya