Liputan6.com, Jakarta - Selang 26 hari setelah dinyatakan hilang pada Rabu 7 Desember 2022, Malika (6) akhirnya berhasil ditemukan di kawasan Ciledug, Pondok Aren, Tangerang Selatan. Malika kembali dalam pelukan orangtuanya dalam keadaan selamat.
Saat ini, Malika tengah menjalani proses pemulihan secara psikologis. Anak yang terkenal cukup cerdas tersebut pun telah melakukan visum. Sedangkan pelaku Iwan Sumarno (42) masih dalam proses pemeriksaan oleh pihak kepolisian.
Baca Juga
Kasus penculikan anak tak jarang membuat para orangtua khawatir. Kekhawatiran tersebut memang wajar dirasakan. Mengingat kasus perdagangan anak masih kerap terjadi.
Advertisement
Data dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) salah satu yang membuktikan. Sepanjang 2017-2022, terdapat 2.356 korban tindak pidana perdagangan orang. 50,97 persen diantaranya adalah anak-anak.
Lalu, upaya apa yang sebenarnya bisa dilakukan untuk mencegah penculikan anak? Health Liputan6.com berbincang dengan psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani atau yang akrab disapa Nina terkait hal ini. Maka, berikut hal yang dianjurkan.
1. Dilakukan Bersama dari Dua Sisi
Nina mengungkapkan bahwa upaya mencegah penculikan anak idealnya dilakukan oleh dua sisi, yakni orangtua dan anak itu sendiri. Terutama bila anak sudah berada pada usia di atas lima tahun.
"Pencegahan itu idealnya ada dari sisi orangtua atau lingkungan. Ada juga dari sisi anaknya. Jadi jangan anaknya sama sekali enggak. Apalagi anaknya sudah berusia di atas lima tahun, dia sudah bisa dilibatkan untuk mengamankan dirinya," kata Nina melalui sambungan telepon.
2. Harus Punya Hubungan Baik dengan Lingkungan
Berbeda jika anak masih ada pada kategori usia balita, upaya untuk mencegah penculikan sepenuhnya ada pada orangtua dan lingkungan sekitar. Sehingga menurut Nina, orangtua perlu punya hubungan baik dengan orang-orang yang ada di sekitar.
"Jadi kalau anaknya dibawa sama orang yang enggak dikenal, kalau tetangganya kenal, tetangga bisa ikut waspada, ikut menjaga anak itu," ujar Nina.
3. Jangan Bongkar Identitas Anak di Media Sosial
Cara selanjutnya yang bisa dilakukan oleh orangtua adalah dengan tidak menjelaskan hal-hal detail soal anak di media sosial. Nina menjelaskan, saat ini banyak orangtua mencantumkan keterangan soal anak secara gamblang di internet.
"Banyak yang nama anaknya diceritakan secara terbuka, terus tanggal lahirnya. Jadi ketahuan kan, ulang tahun kesekian, hari ini. Terus juga kesukaan-kesukaannya dan sebagainya," kata Nina.
"Kalau ada orang yang jahat, dia akan dengan cepat relate. 'Oh, ini anaknya si itu. Punya kesukaan ini. Dia biasa main di sana', dan sebagainya. Kita memberikan data-data soal anak kita walaupun kita mungkin tujuannya memamerkan kesenangan. Jadi jangan terlalu membongkar identitas kita dan anak di media sosial," tegasnya.
Advertisement
4. Ajari Anak Hal Penting Soal Keamanan
Begitupun dengan memberikan pemahaman pada anak tentang menjaga keamanannya sendiri.
Nina mengungkapkan anak-anak perlu tahu bahwa dirinya tidak boleh berada terlalu jauh dari orangtuanya. Serta, wajibkan anak untuk meminta izin pada orangtua.
"Termasuk kalau keluar rumah, anak itu harus izin dengan orangtua. Atau kalau misalnya diajak oleh orang lain, anak itu harus izin. Jadi tidak hanya sekadar jaraknya yang dekat, tapi dia juga izin," ujar Nina.
Kalau memang anak masih balita, pastikan anak tidak berada terlalu jauh jaraknya dari orangtua maupun anggota keluarga lainnya. Pada anak yang sudah besar, batas jaraknya bisa ditambah agar anak tetap bisa mandiri.
Nina menambahkan, penting pula untuk mengajarkan anak menolak dengan elegan. Terutama jika diberikan makanan atau minuman dari orang yang tidak dikenal.
"Penting untuk mengajarkan anak menolak secara tegas tapi bukan yang galak, elegan gitu. Kalau misal ada yang mau kasih permen, tetap bisa sopan tapi menolak. Ini bisa mencegah bila anak diberikan obat bius dan sebagainya," kata Nina.
5. Jangan Cantumkan Nama Anak pada Barang
Lebih lanjut Nina menjelaskan cara mencegah penculikan bisa dilakukan dengan tidak mencantumkan nama anak pada barang yang mereka gunakan. Seperti pada baju atau stiker anggota keluarga yang biasa ditempel di belakang kendaraan.
Hal tersebut dianggap bisa membuat orang yang tidak dikenal dengan mudahnya mengetahui nama anak. Saat sudah mengetahui nama, akan lebih mudah juga untuk orang yang tidak dikenal mendekati anak.
"Kalau bajuku ada nama Nina terus orang iseng manggil. Katakanlah aku anak enam tujuh tahun, tentunya aku nengok karena namaku dipanggil. Anak itu bisa lebih mudah tertarik pada orang yang bisa memanggil namanya dibandingkan cuma sekadar 'Adik, adik' gitu. Itu meningkatkan kerentanan pada anak," kata Nina.
"Itu termasuk juga kalau di mobil dulu suka banyak stiker-stiker nama anggota keluarga. Nah, itu sebenarnya juga jadi ketahuan anak-anak itu namanya siapa," tambahnya.
Advertisement