Target Kasus Stunting 14 Persen di 2024 Bisa Tercapai Asal ....

Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Ketua Satgas Stunting Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Ph.D, Sp.A(K), optimistis target penurunan stunting bisa tercapai.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 09 Feb 2023, 11:10 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2023, 15:00 WIB
Ilustrasi Stunting
Ilustrasi Stunting. Foto: Ade Nasihudin Liputan6.com (9/11/2020).

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menargetkan prevalensi stunting di tahun 2024 di bawah 14 persen. Lalu, menargetkan juga tidak ada kasus stunting alias Zero Stunting pada 2030.

Adapun angka stunting di tahun 2021 sebesar 24,4 persen, sehingga untuk mencapai target tersebut diperlukan penurunan 2,7 persen setiap tahun.

Terkait hal ini, Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Ketua Satgas Stunting Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Ph.D, Sp.A(K),  optimistis target itu bisa tercapai.

Dengan catatan, Indonesia tetap konsisten menjalankan konsep yang terbukti secara ilmiah (scientifically proven).

“Hasil penelitian membuktikan zat makanan terpenting untuk mencegah stunting adalah protein hewani. Kunci menurunkan stunting adalah mengonsumsi asam amino esensial lengkap dan cukup yang bersumber dari protein hewani,” kata Damayanti dalam keterangan pers, Senin (30/1/2023).

“Penelitian lebih jauh mengungkap bahwa pangan sumber protein hewani mengandung asam amino esensial yang lengkap dan bisa didapatkan dari susu, telur, ikan, ayam dan lainnya,” tambahnya.

Damayanti menjelaskan, tidak semua balita pendek itu diklasifikasikan sebagai stunting, bisa saja hanya mengalami kekurangan gizi berulang atau kronis.

Banyak hal akan dialami anak jika mengalami kekurangan gizi terus menerus, dimulai dari anak mengalami kenaikan berat badan yang tidak adekuat (memadai) atau dikenal dengan weight faltering.

Contohnya pada bayi berusia 0-3 bulan yang mengalami kenaikan berat badan kurang dari 750 gram per bulan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Jika Tidak Dilakukan Intervensi

Jika tidak dilakukan intervensi secara cepat, lama-kelamaan berat badan bayi akan underweight. Hal ini berakibat pada penurunan imunitas sehingga anak mudah terinfeksi penyakit, dan akhirnya mengalami gizi kurang dan gizi buruk, sehingga mempengaruhi pembentukan hormon pertumbuhan.

Ketika hormon pertumbuhan berkurang, penambahan tinggi badan juga terhambat. Jika tidak segera diatasi, maka akan sampai pada titik -2 (minus dua) standar deviasi (SD) atau yang disebut dengan stunting.

Ada dua hal yang bisa menyebabkan anak kekurangan gizi. Pertama, asupan tidak memadai, dan ini bisa terjadi karena kemiskinan, penelantaran atau ketidaktahuan.

Kedua, misalnya anak sering sakit, sehingga memiliki gangguan makan atau memang memiliki masalah berat lahir rendah (BBLR). Bisa pula karena prematuritas dan kelainan metabolisme bawaan yang harus ditangani dengan pemberian nutrisi khusus atau disebut pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK).


Mengenali Anak Stunting

Untuk mengenali anak stunting atau tidak, dokter anak lah yang mempunyai kompetensi keilmuan untuk menentukan. Hal ini perlu diidentifikasi sejak awal, agar bisa ditentukan tindakan tepat yang diperlukan.

Ada sejumlah sebab lain yang bisa menyebabkan anak berperawakan pendek. Mulai dari pendek yang normal seperti familial short stature (berasal dari keluarga yang berperawakan pendek) dan late bloomer. Maupun yang patologis, seperti kelainan genetika mulai dari skeletal dysplasia, mukopolisakaridosis, atau rakitis yang tentu membutuhkan penanganan berbeda dengan stunting.

“Masalah tinggi badan pada keadaan stunting sebenarnya hanya penanda atau marker dari masalah yang lebih besar. Hal yang paling ditakuti adalah pertumbuhan otak juga terhambat, sehingga kecerdasan menurun,” kata wanita yang karib disapa Yanti ini. 

Anak yang mengalami weight faltering pada usia kurang dari 2 bulan, bisa mengalami penurunan IQ sekitar 3-4 poin. Jika tidak segera diatasi, dampaknya akan lebih buruk.

Penelitian mengungkap bahwa 65 persen anak yang pernah mengalami gizi kurang atau gizi buruk pada 1 tahun pertama kehidupan memiliki IQ di bawah 90. Jika kekurangan gizi terjadi dalam jangka panjang, maka penurunan IQ bisa mencapai 15-20 poin, kata Yanti.


Peran Orangtua

Orangtua memiliki peran penting dalam pencegahan dan penanganan stunting dengan pemenuhan nutrisi berkualitas pada anak, lanjut Yanti.

Jika anak telanjur mengalami stunting, bukan berarti tidak ada harapan. Penelitian Graham McGregor di Jamaika memperlihatkan cara mengatasinya. Yakni dengan pemberian pangan lokal ditambah terapi nutrisi susu 1 kilogram setiap minggu. Dilengkapi terapi stimulasi bermain selama 18 bulan pada anak yang mengalami stunting untuk mengejar hingga 90 persen potensi kecerdasan yang seharusnya.

Adapun anak yang sudah mencapai usia dua tahun, jika terus didukung dan diperbaiki nutrisinya hingga usia lima tahun, penurunan IQ bisa tidak terlalu banyak. Bahkan bisa mengejar hingga minus 5 dari potensi seharusnya jika tidak pernah mengalami stunting. Langkah perbaikan dari segi nutrisi masih bisa diberikan hingga anak mencapai usia 9 tahun.

Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi
Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya