Budaya Tutur Mendominasi dan Faktor Lain yang Bikin Angka Literasi Anak-Anak Papua Rendah

Budaya tutur lebih mendominasi dari tulis serta tidak meratanya guru di Papua, membuat angka literasi di sana rendah.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 16 Jan 2024, 10:06 WIB
Diterbitkan 17 Jul 2023, 10:00 WIB
Ilustrasi membaca buku, memahami majas
Ilustrasi membaca buku dan angka literasi anak-anak Papua yang rendah (Photo by Blaz Photo on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Literasi masih menjadi tantangan di Papua. Data dari organisasi kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (WVI) pada 2022 di empat wilayah (Sentani, Biak, Pegunungan Tengah, Asmat) baru 36,1 persen anak Sekolah Dasar kelas 3 yang terampil membaca dan memahami isi bacaannya.

Di antara empat wilayah yang didampingi WVI, angka literasi terendah ada di Asmat. Kemampuan literasi yakni membaca dan memahami isi bacaan pada anak kelas 3 SD di sana baru 26 persen seperti disampaikan Education Tim Leader WVI Marthen Sambo.

Lalu, guru-guru di Asmat juga sebagian jarang membacakan buku cerita di kelas. Para pendidik jarang bertanya pada anak tentang buku yang dibaca murid. Serta jarang mengajarkan kosa kata baru ke murid.

"Anak-anak kelas 3 SD di Asmat hanya bisa membaca 5 kata dengan benar dalam waktu satu menit, sedangkan standarnya murid kelas 3 SD bisa membaca sampai 80 kata per menit," kata Marthen.

Salah satu faktor yang membuat angka literasi di sana belum tinggi lantaran budaya tutur yang masih mendominasi dibandingkan tulis. Alhasil, hal ini menjadi salah satu tantangan dalam meningkatkan literasi di sana.

"Di rumah, sebenarnya pendidikan yang pertama dan utama tidak mendukung literasi. Mayoritas budaya Papua itu bertutur bukan tulis, sehingga ini menjadi tantangan dalam meningkatkan literasi di sana," kata Marthen lagi dalam konferensi pers Baca Tanpa Batas ditulis Minggu (16/7/2023).

Faktor Lain yang Bikin Angka Literasi Papua Rendah

WVI juga menilai distribusi guru yang tidak merata pada sekolah dasar yang ada di saana juga turut membuat angka literasi jadi rendah. Faktor lain adalah insetif pada guru honorer yang tak layak. Hal tersebut juga berakibat pada kualitas dalam mengajarkan literasi ke anak-anak.

Faktor lain yang tak kalah berdampak adalah akses terhadap buku. Di ibukota kecamatan akses anak-anak untuk bisa mendapatkan masih bagus tapi kalau sudah keluar dari ibukota kecamatan makan sulit mendapatkan buku bacaan untuk anak.

"Makin ke luar dari kabupaten makin susah didapatkan buku bacaan, termasuk di sekolah-sekolah. Ada juga sekolah yang tidak menyediakan buku bacaan sesuai usia anak. Jadi, materi bacaan itu terbatas," kata Marthen lagi.

Upaya Tingkatkan Literasi Anak-Anak Papua

Melihat kenyataan bahwa angka literasi masih rendah, WVI menggagas Kampung Literasi. Di dalam program tersebut terdiri dari mendirikan 3 rumah baca, 5 motor pustaka, penyediaan materi kontekstual dan alat peraga, serta penguatan masyarakat dan pemerintah, termasuk melatih tutor.

"Kampung Literasi itu program kolaborasi dari semua pemangku kepentingan di kampung, dimana aktivitas dalam membangun literasi harus berkualitas dan menyenangkan," kata Marthen.

Selain dengan mendirikan rumah baca, di dalam program Kampung Literasi ini ada Motor Pustaka. Buku-buku bacaan untuk anak dibawa dengan motor lalu bakal berhenti di satu titik sehingga anak-anak di situ bisa membaca.

"Ini cara paling cepat bergerak di daerah yang agak jauh dari pusat desa. Jadi, bisa mendekatkan dan memberi akses paling cepat, seperti kita ketahui akses untuk mendapatkan buku bacaan di sana tidak mudah," kata Marthen lagi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya