Bedah Tubuh Mayat atau Kadaver untuk Kepentingan Ilmiah, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Kadaver sebagai media penelitian ilmiah dinilai sangat penting dalam pendidikan kedokteran modern, bagaimana hukumnya dalam Islam?

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 31 Agu 2024, 14:00 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2024, 14:00 WIB
Ilustrasi mayat (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)
Ilustrasi mayat (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Di dunia pendidikan kedokteran ada praktik pembelajaran yang melibatkan mayat atau kadaver untuk dibedah dan dipelajari anatominya.

Kadaver sebagai media penelitian ilmiah dinilai sangat penting dalam pendidikan kedokteran modern. Lantas, bagaimana pandangan Islam terkait penggunaan kadaver dalam praktik pembelajaran calon dokter? 

Menurut pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan, Jawa Timur, Ustaz Bushiri, dalam agama Islam tubuh manusia sangat dimuliakan dan dijaga kehormatannya. Baik saat hidup maupun ketika sudah meninggal. Tubuh manusia yang sudah meninggal tidak boleh direndahkan dan dirusak dengan cara apapun.  

Dalam hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah ra, Rasulullah Saw bersabda:  

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا 

Artinya:

“Mematahkan tulang mayit sama seperti mematahkannya saat hidup.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).  

Merujuk pada pendapat As-Shan'ani, hadits di atas menunjukkan larangan menyakiti mayat dalam bentuk apapun, baik dipukul, dilukai, dan semacamnya. Mayat yang dilukai akan merasakan rasa sakit yang sama seperti saat dia hidup. (As-Shan’ani, At-Tanwir Syarh Jami’is Shaghir, [Riyadh, Maktabah Darussalam: 2011], juz VIII, halaman 146).  

“Pemanfaatan mayat untuk kepentingan ilmiah telah dibahas dalam Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makassar pada 27 Maret 2010. Dalam keputusan disebutkan bahwa hukum membedah jenazah setelah lama diawetkan untuk kepentingan studi diperbolehkan dalam kondisi darurat atau hajat,” jelas Bushiri mengutip NU Online, Sabtu (31/8/2024).  

Boleh Jika Darurat dan Butuh

Keputusan tersebut merujuk pada pendapat ulama kontemporer Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Fiqhul Islami.

Menurut Syekh Wahbah, membedah mayat untuk kepentingan studi kedokteran hukumnya diperbolehkan selama memang menjadi kebutuhan dan tidak ada jalan lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut.  

وبناء على هذه الآراء المبيحة: يجوز التشريح عند الضرورة أو الحاجة بقصد التعليم لأغراض طبية، أو لمعرفة سبب الوفاة وإثبات الجناية على المتهم بالقتل ونحو ذلك لأغراض جنائية إذا توقف عليها الوصول إلى الحق في أمر الجناية، للأدلة الدالة على وجوب العدل في الأحكام، حتى لا يظلم بريء، ولا يفلت من العقاب مجرم أثيم 

Artinya:

“Berdasarkan pendapat ini (Syafi’iyah dan Malikiyah) yang memperbolehkan (pembedahan jenazah karena menelan harta), maka diperbolehkan melakukan otopsi (operasi) pada tubuh jenazah dalam kondisi darurat atau dibutuhkan, untuk kepentingan pendidikan kedokteran, mengetahui sebab kematian, menetapkan pidana atas tersangka kasus pembunuhan dan semacamnya, ketika otopsi (operasi) tersebut menjadi satu-satunya jalan dalam mengungkap kasus kriminalitas berdasarkan dalil-dalil wajibnya menegakkan keadilan hukum. Sehingga seseorang tidak terzalimi berdasarkan suatu asumsi (saja) dan seorang penjahat tidak bisa berkelit dari hukuman yang setimpal," (Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr: 2015], juz III, halaman 521).  

2 Kemaslahatan yang Harus Dijaga

Dalam kasus ini ada dua kemaslahatan yang sama-sama harus dijaga. Yaitu antara tujuan menjaga kehormatan jenazah dan kepentingan ilmu medis atau kedokteran yang sangat dibutuhkan.

Pendidikan ilmu medis dipandang sebagai kemaslahatan yang lebih diunggulkan karena menyangkut kepentingan umum yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, pengobatan, hingga pencegahan dari penyakit.  

Dalam kaidah fiqih dijelaskan, jika ada dua kemaslahatan yang saling bertentangan maka dahulukan kemaslahatan yang paling kuat. 

 إذا تعارضت المصلحتان وتعذر جمعهما فإن علم رجحان إحداهما قدمت  

Artinya:

“Jika dua kemaslahatan saling bertentangan dan sulit mengumpulkannya, jika diketahui salah satunya lebih unggul, maka didahulukan yang lebih unggul,” (Lihat Izzuddin bin Abdissalam, Qawaidul Ahkam, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1991], juz I, halaman 44).  

Mayat yang Boleh Dibedah

Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur Komisi Waqi’iyah di UIN Malang tahun 2016 menyebutkan bahwa jenazah yang boleh dibedah untuk kepentingan medis adalah jenazah ghoiru muhtaram (tidak terhormat) seperti kafir harbi, murtad, dan kafir zindiq.

Sementara jenazah muslim tidak diperbolehkan. Penentuan kriteria jenazah yang boleh digunakan sebagai kadaver tersebut merujuk keterangan dalam kitab Fiqhul Nawazil sebagai berikut: 

 والرأي الثالث: التفصيل في هذه المسألة أنه يجوز تشريح جثة الكافر لغرض التعلم وأما المسلم فلا يجوز تشريح جثته  

Artinya:

“Pendapat ketiga memerinci dalam masalah ini, bahwa boleh membedah tubuh jenazah kafir karena tujuan pendidikan. Sedangkan jenazah muslim maka tidak boleh dibedah tubuhnya,” (Bakr bin Abdullah, Fiqhun Nawazil, [Saudi, Muassasatur Risalah: 1996], juz II halaman 54).

Meski hukumnya boleh, pemanfaatan jenazah sebagai kadaver untuk kepentingan medis tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip syariat dengan tetap menjaga kehormatan jenazah. Membedah jenazah sesuai kebutuhan tidak berlebihan, dan merawat jenazah sebagaimana mestinya setelah proses bedah selesai.

Infografis 5 Alasan Kemenkes Datangkan Dokter Asing dan Payung Hukumnya. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis 5 Alasan Kemenkes Datangkan Dokter Asing dan Payung Hukumnya. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya