Liputan6.com, Surakarta - Berbagai elemen penyandang disabilitas ikut terlibat dalam Pekan Paralimpiade Nasional atau Peparnas 2024 termasuk juru pijat.
Salah satu juru pijat yang terlibat dalam gelaran pesta olahraga disabilitas ini adalah Arif Fathoni. Pria yang menyandang disabilitas netra sejak 2013 ini mengatakan, dirinya tidak menjalani rekrutmen melainkan ditawari oleh pihak penyelenggara Peparnas.
Baca Juga
“Tiba-tiba saya dapat kontak dari tim media center (Peparnas 2024) terus saya ditawarkan untuk menjadi bagian dari media center di tim relaksasi, lalu saya mengiyakan,” kata penduduk Solo itu kepada Disabilitas Liputan6.com saat ditemui di media center Peparnas 2024 di Solo, Rabu (9/10/2024).
Advertisement
Sehari-hari, pria usia 33 itu memang bekerja sebagai terapis pijat dan mengontrak sebuah rumah untuk dijadikan panti pijat.
“Saya mulai pijat sejak 2020 pada saat pandemi, belajarnya di balai rehabilitasi Dinas Sosial, Palembang, Sumatera Selatan dan sekarang sudah menetap di Solo.”
Ayah satu anak itu mulai bekerja di media center Peparnas 2024 mulai pukul 08.00 hingga pukul 20.00 WIB. Dalam sehari, dia bisa memijat 10 orang atau lebih. Meski banyak menangani pasien, tapi Arif mengaku tak lelah lantaran sudah biasa. Sebaliknya, jika tidak menangani pasien malah terasa lebih pegal.
“Kalau teman-teman juru pijat seperti saya kalau lama nganggur malah pegal. Kalau enggak ada pasien tuh malah kaku-kaku.”
Tak Semua Penyandang Disabilitas Netra Bisa Pijat
Arif menambahkan, di tengah masyarakat penyandang disabilitas netra memang selalu diarahkan pada pijat. Tak sedikit pula yang menganggap bahwa tunanetra pasti jago pijat.
“Istri saya kan tunanetra juga, dia enggak bisa pijat, tapi orang-orang mau pijat ke dia padahal kan enggak seluruhnya tunanetra itu bisa pijat,” jelas Arif.
Pengidap ablasio retina ini juga menegaskan bahwa kemampuan penyandang disabilitas netra tidak melulu sebatas pijat.
“Sebenarnya masih banyak potensi lain yang bisa digali,” ucap Arif.
Advertisement
Potensi Lain yang Bisa Digali
Apa yang dikatakan Arif tentang potensi tunanetra bukan ucapan belaka. Dia sendiri memiliki keahlian lain di samping pijat, yakni di bidang musik.
“Saya pemain biola, suka musik sejak kecil. Pernah kuliah kesenian tapi enggak lulus. Jadi menuntut diri untuk bisa salah satu alat musik yaitu biola.”
Pria yang menyandang disabilitas netra sejak usia 20 itu mulai belajar biola sejak 2010. Dia berguru pada pengamen hingga mahir memainkan alat musik tersebut.
“Guru saya pengamen, dikasih rumus-rumus kemudian disuruh mengembangkan sendiri.”
Manfaatkan Hobi Bermusik di Akhir Pekan
Hobi pada musik membawanya pada pekerjaan sampingan yakni bermain biola di tempat wisata Solo yakni Koridor Gatot Subroto (Gatsu).
“Jumat-Sabtu bermusik di tempat wisata, Koridor Gatsu, ini tuh seperti Malioboro. Minggu paginya main musik di Car Free Day Slamet Riyadi Solo.”
“Jadi skill yang saya punya ya saya kerahkan,” imbuhnya.
Arif berkisah, ia tidak menyandang disabilitas sejak lahir, tapi ketika duduk di bangku kuliah semester 7 tahun 2013. Disabilitas ini ia dapat lantaran mengidap ablasio retina.
Ablasio retina adalah sebuah kondisi medis yang menyebabkan disabilitas netra mendadak dan permanen apabila tidak segera ditangani. Prevalensinya di dunia mencapai 6,3 hingga 18,2 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Data dari Poliklinik Vitreoretina RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan, setiap tahun tercatat sekitar 1.500 kasus ablasio retina regmatogen di Indonesia. Mayoritas pasien berusia produktif dan memiliki risiko kebutaan permanen.
Advertisement