Tes Kesehatan Mental Tak Bisa Jadi Satu-satunya Instrumen Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Dokter

Tes kesehatan mental adalah langkah awal yang baik, tetapi tidak bisa menjadi satu-satunya instrumen pencegahan kekerasan seskual oleh oknum dokter.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori Diperbarui 18 Apr 2025, 20:00 WIB
Diterbitkan 18 Apr 2025, 20:00 WIB
Tes Kesehatan Mental Tak Bisa Jadi Satu-satunya Instrumen Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Dokter
Tes Kesehatan Mental Tak Bisa Jadi Satu-satunya Instrumen Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Dokter. Foto dibuat oleh AI.... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Dokter sekaligus akademisi dan pemerhati mutu serta etika pendidikan kedokteran, Dicky Budiman menilai bahwa tes kesehatan mental tak bisa jadi satu-satunya instrumen pencegahan kekerasan seksual.

“Tes kesehatan mental adalah langkah awal yang baik, tetapi tidak bisa menjadi satu-satunya instrumen pencegahan,” kata Dicky dalam keterangan tertulis dikutip Jumat (18/4/2025).

“Kesehatan mental yang terganggu memang bisa berkontribusi terhadap perilaku tidak etis, tapi tindakan amoral seperti kekerasan seksual lebih erat kaitannya dengan masalah integritas, penyimpangan etika, dan kegagalan sistem pengawasan profesional,” tambahnya.

Tes psikologis hanya akan mengidentifikasi gejala atau risiko umum seperti depresi, burnout, atau kecenderungan agresif. Namun, perilaku menyimpang seperti kekerasan seksual sering kali berkaitan dengan faktor kekuasaan, impunitas, dan budaya diam di institusi.

Ditambah lagi, fakta adanya bimbingan tes untuk tes psikologi juga dapat berpotensi mengaburkan atau meloloskan kandidat bermasalah mental.

“Jadi, tes kesehatan mental penting, tetapi tidak cukup untuk mencegah kekerasan seksual jika tidak disertai sistem etik dan pengawasan yang ketat,” katanya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menilai penting untuk melaksanakan tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory alias MMPI.

Melansir Verywell Mind, MMPI adalah alat penilaian klinis yang digunakan oleh profesional kesehatan mental untuk membantu mendiagnosis gangguan kesehatan mental seseorang.

“Nanti akan ada cek namanya MMPI, MMPI ini pemeriksaan kesehatan jiwa terlebih lagi untuk yang menggunakan obat-obat bius seperti program anestesi. Tentu ini akan kerja sama dengan kolegium pendidikan anestesi,” kata Dante saat ditemui di Jakarta (10/4/2025).

 

Apa Bisa Deteksi Kelainan Seksual Peserta PPDS?

Menurut konselor dan seks edukator dari Asosiasi Seksologi Indonesia, Febrizky Yahya, MMPI tidak spesifik mengukur penyimpangan seksual.

“Sebetulnya MMPI bertujuan mengukur adanya gangguan kejiwaan. Namun, tidak secara spesifik mengukur penyimpangan seksual,” jelas konselor yang akrab disapa Eby kepada Health Liputan6.com, Kamis (10/4/2025).

Yang jelas, sambungnya, sebagian pelaku penyimpangan seksual menunjukan skor signifikan psikopatologi (kondisi kejiwaan di mana seseorang kekurangan empati), sehingga tidak merasa bersalah saat melakukan perbuatan merugikan orang lain.

 

Perlu Reformasi Kurikulum Etika Kedokteran 

Terlepas dari cek kesehatan mental, Dicky Budiman menilai bahwa etika medis harus tidak hanya menjadi teori di awal pendidikan dokter, tetapi diinternalisasi terus-menerus selama masa pendidikan spesialis.

“Diskusi kasus, refleksi etik, dan supervisi moral harus dilakukan secara rutin,” ucapnya.

Setiap rumah sakit pendidikan harus membentuk Komite Etik yang independen dan menjamin pelaporan kasus bisa dilakukan secara aman tanpa takut balasan. Budaya saling menutupi atau hierarki yang kaku harus diurai, jelas Dicky.

 

Seleksi PPDS Tak Boleh Hanya Berdasar pada Nilai Akademik 

Seleksi calon peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), sambung Dicky, tidak boleh hanya berdasar pada nilai akademik.

“Evaluasi rekam jejak etik, rekam kelakuan, dan integritas calon peserta PPDS harus menjadi bagian dari sistem seleksi. Kita tidak hanya mencari dokter yang pintar, tapi juga yang berintegritas dan berempati,” ujarnya.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) perlu mewajibkan seluruh institusi pendidikan dokter spesialis memiliki Standard Operating Procedure (SOP) etik dan pengawasan profesional yang eksplisit. Termasuk sanksi terhadap pelanggaran berat seperti kekerasan seksual.

“Perlu ada platform nasional yang independen dan anonim untuk pelaporan kekerasan di lingkungan pendidikan kedokteran. Sistem ini akan memotong rantai budaya tutup mulut karena situasi represif,” katanya.

Setiap peserta PPDS juga harus berada dalam sistem supervisi klinis yang aktif, dengan logbook dan evaluasi perilaku profesional secara berkala. Supervisi tidak boleh hanya administratif, tetapi juga observasional dan korektif. Hal ini dapat diperkuat dengan keterlibatan peran aktif organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan lain-lain.

Sementara, pasien harus mendapat edukasi bahwa mereka berhak menolak tindakan medis bila merasa tidak aman atau tidak nyaman. Dan rumah sakit harus memfasilitasi hak ini secara eksplisit.

Infografis Sanksi & Hukuman Dokter Pelaku Pelecehan Seksual.
Infografis Sanksi & Hukuman Dokter Pelaku Pelecehan Seksual. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya