Liputan6.com, Jakarta Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2022 telah sukses digelar sejak 26 November - 3 Desember kemarin. Dilaksanakan secara luring dan daring, festival film tahunan yang ke-17 ini begitu menarik antusias pencinta film selama delapan hari berturut-turut. Hal tersebut dibuktikan dengan selalu ramainya lokasi JAFF terselenggara, yakni Empire XXI Yogyakarta.
Baca Juga
Advertisement
Keramaian juga terlihat pada hari Kamis(1/12/2022). Di mana penayangan 'Emerging 1' diputar. Dalam sesi pemutaran tersebut terdapat lima film pendek karya sutradara muda Tanah Air. Antara lain, These Colours Don't Run - Sunday - Kala Rau When The Sun Got Eaten - Berdamai dengan Raqib dan Atid - My Grandmother is a Bird.
Dari kelima film pendek yang diputar, 'Berdamai dengan Raqib dan Atid' menjadi salah satu yang mencuri perhatian. Film ini paling entertaining dan disambut oleh riuh tawa dan tepuk tangan penonton. Sebuah karya dari sineas muda Orista Primadewa Hadiwiardjo ini dikemas rapi dalam durasi 21 menit. Menariknya, film ini juga menggaet aktris senior Niniek L. Karim dan aktor muda Yusuf Mahardika.
Cerita yang relate dengan kehidupan
Film pendek 'Berdamai dengan Raqib dan Atid' ini menceritakan tentang Zainab (80 tahun) yang diperankan oleh Niniek L. Karim. Awalnya, dia tinggal di rumah anak bungsunya di kampung, kemudian harus pindah ke rumah Kiki (47 tahun), anak sulungnya yang tinggal di kota.
Di desa tersebut, kehidupan Zainab sangat sederhana, aktivitasnya hanya terfokus pada salat. Dia melakukannya karena merasa sangat dekat dengan kematian, takut berbuat dosa dan masuk neraka. Setelah pindah ke kota, Zainab merasa fasilitas yang diberikan Kiki justru merugikan dirinya. Jadi, Zainab harus menghadapi ketakutan yang semakin meningkat akan dosa.
Di samping itu, karakter sang cucu bernama Gio yang diperankan oleh Yusuf Mahardika pun ikut menjadi pemanis cerita.
Secara keseluruhan, film ini dikemas dengan rapi sehingga membuat pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh penonton.
Advertisement
Proses kreativitas sang sutradara
Ditemui di Yogyakarta, Kamis (1/12/2022), Orista Primadewa Hadiwiardjo selaku sutradara menceritakan latar belakang penciptaan film 'Berdamai dengan Raqib dan Atid'. Awalnya, ide tersebut tercipta dari obrolannya dengan sang penulis.
"Kebetulan penulis saya itu kerjain suatu project iklan, duduk-duduk, ngobrol, terus mau deh ngerjain suatu film untuk dimasukkin ke festival. Tentang apa mas? Gue ada cerita nih, personal banget, karena ini datangnya dari keluarga," ungkapnya.
Rupanya, cerita dalam film pendeknya itu merupakan pengalaman pribadi yang dialaminya sendiri. Peran utama dalam film adalah kisah nyata dari neneknya. Sang nenek yang awalnya tinggal di Bandung kemudian dipindahkan ke rumah yang berada di Bekasi karena semua anak-anaknya sudah pindah ke Jakarta. Hal tersebut dilakukan agar bisa cepat tanggap jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
Namun, sekitar tiga hingga empat tahun tinggal di rumahnya, ada sifat yang berubah dari sang nenek. Sineas muda yang disapa Oris ini menyebutkan jika neneknya kerap minta maaf dan tiba-tiba sering merasa takut.
"Ini sering banget, hal-hal kecil minta maaf ini sebenarnya kenapa. Jujur aku lihat mamahku juga nggak tahu. Tapi saat aku observasi, aku lihat kenapa ya bisa sampai kepikiran seperti itu, soalnya dia merasa ajalnya itu sudah sebentar lagi dan dia keingat kata-kata yang hablumminallah dan hablumminannas itu," ungkapnya.
Hal itulah yang kemudian mencetuskan ide untuk membuat film tersebut. Melalui film karyanya, alumni Limkokwing University of Creative Technology ini ingin menyampaikan pesan bahwa ketika mencoba untuk membantu orang lain (dalam konteks orang yang sudah tua), misalnya nenek atau orangtua, kita harus mengkaji lagi apakah kita benar-benar membantu dia atau justru membantu diri kita sendiri.
"Kalau tadi Zainab, semua fasilitas yang diberikan menjadi ketakutan di akhir hidupnya. Beda kalau di desa, rumahnya nggak ada tv, rumahnya nggak ada ac, tenang hidupnya. Pengajian, salat, makan, walaupun itu-itu saja yang dilakukan setiap hari tapi tenang hidupnya. Jadi, lagi-lagi kita harus tahu apakah ini yang dibutuhkan oleh mereka. Gitu sih yang ingin aku sampaikan," lanjut Oris.
Maka dari itu, dinamakan Roqib dan Atid karena mereka yang mencatat amal baik dan buruk manusia semasa hidup. Menceritakan seorang ibu-ibu yang sangat takut berdosa, sampai akhirnya dia bisa berdamai dengan ketakutannya itu.
Pendalaman karakter Zainab oleh Niniek L. Karim
Dalam pemilihan pemain, Oris juga sangat berhati-hati. Dari beberapa rekomendasi, pilihannya jatuh kepada Niniek L. Karim. Aktris sekaligus psikolog dan dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu tampil begitu apik dan mendalami karakter dengan baik. Wanita yang pernah menyabet Piala Citra itu pun menceritakan awal mula dia bergabung dalam film garapan Oris Pictures tersebut.
"Pengen tahu, apa sih yang ingin ditampilkan? Karena terus terang saya bukan orang yang sangat religius lho, walaupun saya salat lima kali atau tujuh kali sehari (salat dhuha dan tahajjud). Jadi saya pikir awalnya film ini, kalau film religi aku nggak sanggup. Tapi ternyata film tentang orang lansia atau senior. Tapi saya nggak mau bilang lansia ya, jadi senior. Dan tahunya baru kemarin, setelah film-nya jadi," ungkap aktris 73 tahun itu.
Dalam mengolah kedekatan karakter Zainab dengan dirinya sendiri, artis yang akrab disapa Mbak Niniek itu sampai membuat deskripsi tentang tiga tipe senior yang di atas 60 tahun.
"Terus saya tadi bilang, ini kan tipe yang pertama. Tipe kedua kan yang marah menantang mati itu kan. 'aku sudah mau mati nih, kamu nggak kasihan sama aku ya,' yang kayak gitu lo. Tipe yang ketiga yang pasrah, sadar atau tidak sadar dia siapkan untuk mati dengan indah. Saya harap kalian juga begitu," jelasnya.
Ikut ambil peran di film 'Berdamai dengan Raqib dan Atid', Niniek pun mengucapkan rasa berterima kasih. Saat proses pembuatan film, dia langsung teringat dengan orangtuanya. Aktris yang sudah melanglang buana di dunia seni peran itu pertama kali bermain film berjudul "Ibunda" pada tahun 1986. Setelah sebelumnya pernah mendapatkan penghargaan sebagai aktris terbaik di sebuah festival teater kampus yang diadakan di Taman Ismail Marzuki di era 70an.
Sudah sekitar 40 tahun berkecimpung di dunia seni peran, Niniek mengaku sudah tidak lagi mengharapkan sesuatu terkait peran yang akan dilakoni di project mendatang. Bintang film "Ketika Cinta Bertasbih" itu melakoni hidup sebagaimana yang diperintah oleh Tuhan. Jadi, semua itu akan datang dengan sendirinya saja.
Advertisement
Diikutkan ke berbagai festival lain
Film pendek 'Berdamai dengan Raqib dan Atid' membutuhkan waktu sepuluh bulan untuk proses produksi. Dijelaskan oleh Oris, prosesnya tidak memakan waktu lama karena workshop singkat, lokasi yang tidak terlalu banyak (di desa dan apartemen).
Selain diputar di JAFF, film karyanya juga akan dikirimkan ke festival lain. Salah satunya, Mumbai Shorts International Film Festival yang akan digelar pada 11 Desember mendatang. Kemudian, Oris juga sudah mendaftarkannya ke Berlin dan satu festival lagi di tahun 2023 yang masih menunggu konfirmasi.
"Jadi ada tiga. Yang pertama di Asia Short Festival, yang kedua di JAFF, dan yang ketiga di Mumbai. Semoga ke depan bisa membuat film panjang yang bisa kalian nikmati," kata Oris.
Perjuangan Oris untuk membuat karyanya sampai ke tahap sekarang pun tidak mudah. Mulai tahun 2018, dia hanya bersama dua rekannya (produser dan editor), dan kini jadi delapan orang. Mereka mengerjakan iklan sambil mencari kesempatan untuk membuat layar lebar. Sampailah akhirnya pada project membuat short film ini.
"Kita bisa ketemu orang-orang hebat, dan kita bisa show off skill juga, makanya akhirnya ini masuk JAFF, ini pencerahan banget. Kita dari hari Senin itu hunting nomor orang," sambungnya.
Ditanya soal masa depan film pendeknya jika masuk sebuah platform layanan streaming, Oris menjawab belum. Karena kalau sudah masuk sebuah platform, film tidak bisa lagi masuk festival. Umur short movie maksimal dua tahun, jadi sutradara muda ini ingin membawa filmnya keliling dunia terlebih dahulu.