Liputan6.com, Jakarta - Google kembali menghadapi pukulan hukum serius usai Pengadilan Distrik Amerika Serikat (AS) di Virginia memutuskan, raksasa mesin pencari itu secara ilegal memonopoli pasar teknologi iklan digital.
Adapun ini merupakan putusan kedua kalinya dalam kurun waktu kurang dari setahun, setelah raksasa teknologi itu sebelumnya dinyatakan melanggar hukum antimonopoli serupa.
Advertisement
Baca Juga
Hakim Leonie Brinkema mengatakan, Google telah menyalahgunakan dominasinya di dua segmen utama: server iklan penerbit dan bursa iklan online, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (18/4/2025)
Advertisement
Dengan menggabungkan kedua produk tersebut, perusahaan dianggap telah menghambat persiangan, merugikan penerbit, dan membatasi pilihan di internet bagi konsumen.
Putusan ini membuka jalan bagi sidang untuk menentukan langkah-langkah pemulihan persaingagn di pasat tersebut, termasuk kemungkinan bisnis iklan Google seperti Ad Manager dipisah.
Meskipun demikian, pengadilan tidak mendapati akuisisi Google terhadap DoubleClick dan Admeld secara inheren ilegal. Informasi, Google telah mengakusisi perusahaan spesialis iklan online DoubleClick pada 2008 dengan harga USD 3,2 miliar.
Diduga, akuisisi merupakan langkah awal raksasa teknologi berbasis di Mountain View tersebut memanipulasi harga iklan yang menjadi pilar pendapatan berbagai situs web.
Menanggapi keputusan pengadilan ini, Google menyatakan akan mengajukan banding. "Penerbit memiliki banyak pilihan dan mereka memilih Google karena perangkat teknologi iklan kami sederhana, terjangkau, dan efektif," kata Lee-Ann Mulholland, kepala urusan regulasi perusahaan.
Kasus dugaan Google memonopili pasar iklan digital ini merupakan bagian dari upaya Departemen Kehakiman AS dan 17 negara bagian untuk menindak praktik antimonopoli di sektor teknologi.
Sebelumnya pada Agustus 2024, pengadilan federal di Washington, D.C, juga mencap Google telah memonopili pasar mesin pencari online.
Google pun semakin tertekan dengan dua putusan besar ini, dan menjadi pelajaran penegakan hukum terhadap dominasi perusahaan teknologi besar lainnya, seperti Meta, Amazon, dan Apple.
Dianggap Monopoli, Jepang Semprit Google
Di sisi lain, The Japan Fair Trade Commission (JFTC) atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha Jepang mengeluarkan perintah cease and desist kepada raksasa teknologi Google.
Google dianggap telah menjalankan praktik perdagangan yang tidak adil terkait layanan pencarian pada perangkat Android.
Dikutip dari CNBC, Rabu (16/4/2025), Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyeluarkan pernyataan bahwa raksasa teknologi Amerika Serikat (AS) ini melanggar undang-undang antimonopoli Jepang dengan mengharuskan produsen perangkat Android untuk memprioritaskan aplikasi dan layanan pencarian Google melalui perjanjian lisensi.
Dengan adanya perjanjian ini, perusahaan manufaktur telepon pintar dan tablet yang menggunakan produk android seperti Samsung dan Lenovo harus menggunakan aplikasi dan layanan pencarian Google, termasuk Play Store.
JFTC mengatakan Google juga menggunakan lisensi untuk mengharuskan perusahaan manufaktur untuk terlebih dahulu dan menonjolkan Google Search dan Chrome di perangkat.
Advertisement
Perusahaan Dilarang Lakukan Perdagangan
Setidaknya enam perjanjian semacam itu berlaku dengan produsen Android hingga Desember 2024. Bahkan Google meminta aplikasi pesaing seperti Bing milik Microsoft atau Yahoo Japan untuk tidak diinstal sama sekali.
Berdasarkan undang-undang antimonopoli Jepang, perusahaan dilarang melakukan perdagangan dengan ketentuan yang membatasi yang secara tidak adil menghambat aktivitas bisnis mitra transaksi.
JFTC pertama kali melakukan penyelidikannya terhadap Google pada tanggal 23 Oktober 2023, dan pada bulan April 2024, menyetujui rencana komitmen dari Google yang membahas beberapa masalah persaingan usaha ini.
Langkah ini menunjukkan sikap yang lebih keras yang diambil oleh pemerintah Jepang serta tindakan pertamanya terhadap raksasa teknologi AS.
Langkah ini juga dilakukan di tengah tren tindakan antipersaingan terhadap Google secara global. Menurut JFTC, pihaknya mengoordinasikan penyelidikannya dengan pengawas persaingan luar negeri lainnya yang memiliki pengalaman menyelidiki Google.
KPPU Denda Google Rp 202 Miliar, Ini Gara-garanya
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan untuk mengenakan denda terhadap Google LLC senilai Rp 202,5 miliar.
Putusan ini dikeluarkan setelah Google LLC dinyatakan melanggar sejumlah pasal dalam peraturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam Pembacaan Putusan Perkara Nomor 03/KPPU-I/2024, Majelis KPPU dipimpin Komisioner Hilman Pujana sebagai Ketua Majelis Komisi, dan didampingi oleh Komisioner Eugenia Mardanugraha serta Anggota Majelis Komisi, Mohammad Reza.
“Menghukum terlapor membayar denda sebesar dua ratus dua miliar lima ratus juta rupiah (Rp.202,5 miliar) yang harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha satuan kerja KPPU melalui bank dengan kode penerimaan 425812 pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha," kata Hilman dalam Pembacaan Keputusan di Kantor KPPU, Jakarta, Selasa (21/1/2025).
Advertisement
Google LLC Langgar 2 Pasal, Apa Itu?
Hilman mengatakan, Google LLC melanggar 2 pasal yaitu Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Kedua, yaitu pasal 25 ayat 1 huruf b UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait unsur posisi dominan serta menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.
Namun, Google LLC juga dinyatakan tidak melanggar beberapa pasal dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, salah satunya Pasal 19 huruf a dan huruf b dan Pasal 25 ayat 1 huruf a.
"Menyatakan terlapor tidak terbukti melanggar pasal 25 ayat 1 huruf a undang-undang Nomor 5 tahun 1999,” ucap Hilman.
Dengan putusan tersebut, putusan Majelis KPPU meminta Google LLC untuk menghentikan kewajiban penggunaan Google Play Billing (BPB) System dalam Google Play Store.
