Liputan6.com, Jakarta Mempelajari ilmu mawaris hukumnya adalah suatu hal yang perlu dipahami oleh umat Islam. Pasalnya, mawaris ini merupakan ilmu yang sangat penting dalam Islam. Istilah ini berkaitan dengan waris atau warisan, yang tentunya sudah dikenal banyak orang.
Baca Juga
Advertisement
Mawaris berkaitan dengan prinsip mengenai pembagian warisan kepada ahli waris. Masalah waris atau harta pusaka ini kerap kali menjadi permasalahan. Padahal, semuanya telah diatur di dalam Islam melalui ilmu mawaris dengan sangat baik.
Mempelajari ilmu mawaris hukumnya adalah fardu kifayah. Jadi, jika telah ada sebagian kalangan yang mempelajari ilmu tersebut, maka kewajiban yang lain telah gugur. Namun, bila di suatu daerah belum ada seorang pun yang memahaminya, maka semua penduduk wilayah tersebut menanggung dosa.
Berikut Liputan6.com rangkum dari cendikia.kemenag.go.id dan Universitas Islam An-Nur Lampung, Sabtu (4/2/2023) tentang hukum mempelajari ilmu mawaris.
Mengenal Ilmu Mawaris
Mempelajari ilmu mawaris hukumnya adalah suatu hal yang perlu kamu pahami. Sebelum itu, kamu tentu perlu memahami apa itu mawaris. Istilah waris sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata mirats. Dalam bahasa Arab, kata waris ini berarti harta peninggalan orang yang meninggal dunia, yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Ilmu yang berkaitan dengan masalah pewarisan disebut dengan ilmu mawaris yang lebih dikenal dengan istilah ilmu fara’id.
Syariat Islam sudah mengatur pembagian harta pusaka (warisan) orang yang meninggal. Hal ini karena harta memainkan peranan yang besar di dalam kehidupan manusia dan menjamin keutuhan tatanan sosial ekonomi sebuah masyarakat. Harta pusaka menurut perspektif Islam meliputi semua harta. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya perselisihan di antara ahli waris, Islam telah menetapkan bagian masing-masing pihak.
Bisa dikatakan bahwa ilmu mawaris adalah disiplin ilmu yang membahas tentang ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan untuk masing-masing ahli waris. Ilmu mawaris juga akan selalu terkait dengan beberapa unsur yang sering diistilahkan dengan rukun-rukun mawarits.
Rukun tersebut di antaranya waris, yaitu orang yang mendapatkan harta seseorang, muwarris, yaitu orang yang telah meninggal dan mewariskan, serta maurus, yaitu harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris.
Advertisement
Mempelajari Ilmu Mawaris Hukumnya
Melansir laman Universitas Islam An-Nur Lampung, para ulama berpendapat bahwa mempelajari ilmu mawaris hukumnya adalah fardu kifayah. Artinya, mempelajari ilmu mawaris hukumnya adalah jika telah ada sebagian kalangan yang mempelajari ilmu tersebut, maka kewajiban yang lain telah gugur. Namun, bila di suatu daerah belum ada seorang pun yang mau mendalami ilmu warisan ini, maka semua penduduk wilayah tersebut menanggung dosa.
Mempelajari ilmu mawaris hukumnya adalah fardu kifayah bisa kamu cermati dalam hadis Rasulullah SAW, di mana beliau bersabda, yang artinya:
“Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh (mawaris) dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, dan ad-Daruqutni)”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa mempelajari ilmu mawaris hukumnya adalah fardu kifayah dan tidak dapat dipandang sebelah mata. Walaupun awalnya fardu kifayah, akan tetapi dalam kondisi tertentu, saat tak ada seorangpun yang memahaminya maka mempelajari ilmu mawaris hukumnya adalah berubah menjadi fardu ain.
Sejarah Pembagian Warisan
Setelah mengetahui bahwa mempelajari ilmu mawaris hukumnya adalah fardu kifayah, kamu tentunya juga perlu memahami sejarahnya. Pada zaman jahiliyyah, yakni sebelum datangnya ajaran Islam, kaum perempuan, baik istri, ibu atau kerabat perempuan yang lain, tidak mendapatkan hak dalam pembagian harta pusaka. Harta warisan hanya dibagikan di kalangan kaum lelaki saja. Demikian juga halnya dengan anak-anak yang belum baligh, mereka tidak mendapatkan hak dalam pembagian harta pusaka.
Penyebab tidak diberinya kaum perempuan dan anak-anak dalam pembagian harta warisan karena mereka tidak mampu untuk berperang dan tidak berupaya untuk melindungi kaum keluarga dari ancaman musuh. Ini disebabkan masyarakat Arab jahiliyyah saat itu masih hidup dengan sistem kesukuan dan sangat gemar melakukan peperangan. Lantaran sikap gemar berperang inilah, masyarakat Arab Jahiliyah amat bergantung kepada kaum lelaki yang gagah perkasa untuk melindungi kaum keluarga dan sukunya.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, lahirlah satu sistem waris yang hanya mengutamakan kaum lelaki yang dianggap sebagai benteng suatu suku. Sementara kaum lemah, seperti perempuan dan anak-anak, tidak diberikan hak dalam pembagian harta pusaka karena mereka dianggap tidak mampu untuk melindungi suku dan justru harus mendapatkan perlindungan.
Pembagian Warisan Setelah Islam Datang
Ketika Islam datang, fenomena ketidak adilan tersebut menjadi salah satu perhatian utama. Cara yang diambil Islam untuk mengganti hukum waris jahiliyah adalah secara bertahap. Langkah pertama, mereka dibiarkan dengan sistem waris jahiliyah. Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah, baginda membina sebuah masyarakat yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan akhlak.
Rasulullah mempersaudarakan golongan Anshar dan Muhajirin, dan menjadikan persaudaraan mereka sebagai salah satu sebab pewarisan. Hukum warisan yang ditetapkan ketika itu hanya tertumpu di kalangan orang-orang Islam Madinah. Sehingga kaum muslim yang tidak ikut hijrah (masih tinggal di Mekah) tidak dibolehkan mewarisi harta mereka yang berhijrah.
Hukum waris terus diberlakukan secara bertahap sampai akhirnya menjadi aturan yang utuh. Sistem waris dalam Islam telah membawa beberapa pembaharuan yaitu ketika para perempuan dan anak-anak telah diberi hak dalam pembagian harta pusaka. Islam juga memberikan hak untuk mewarisi, baik dari keluarga lelaki maupun perempuan, dan memberikan harta pusaka kepada semua pihak dalam keluarga, baik tua atau muda, besar atau kecil, bahkan janin dan bayi dalam kandungan pun juga tidak luput dari hak waris yang diatur oleh Islam.
Advertisement