Pengertian Qiyas adalah Menetapkan atau Meniadakan Hukum, Lengkap Contohnya

Pengertian qiyas adalah melakukan padanan suatu hukum terhadap hukum lain.

oleh Laudia Tysara diperbarui 17 Mei 2023, 18:30 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2023, 18:30 WIB
ibadah haji di tengah pandemi COVID-19
Sejumlah jemaah saling jaga jarak saat melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah di dalam Masjidil Haram saat melakukan rangkaian ibadah haji di Kota Suci Mekkah, Arab Saudi, Rabu (29/7/2020). Karena pandemi virus corona COVID-19, pemerintah Arab Saudi hanya membolehkan sekitar 10.000 orang. (AP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - Qiyas, secara etimologi atau bahasa berasal dari kata qadr (قدر) yang artinya ukuran atau bandingan. Secara terminologi, menurut Al Ghazali dalam al-Mustashfa, pengertian qiyas adalah menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang lain dalam menetapkan hukum atau meniadakan hukum dari keduanya.

“Setiap kejadian/peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya. Dan apabila tidak ada nashnya dicari dari permasalahannya (dilalah-nya) diatas jalan yang benar dengan ijtihad, dan ijtihad itu adalah qiyas,” jelas Imam Syafii dikutip dari STAI Syamsul'ulum.

Penetapan atau peniadaan ini dilakukan karena adanya kesamaan di antara keduanya. Pengertian qiyas dalam ushul fiqh dapat diartikan sebagai kegiatan melakukan padanan suatu hukum terhadap hukum lain. Pengertian qiyas juga dapat dimengerti sebagai penerapan hukum yang sudah ditetapkan kepada kasus serupa yang belum memiliki ketetapan hukum.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang pengertian qiyas, rukun, dan contohnya, Rabu (17/5/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Menetapkan atau Meniadakan Hukum

Meningkatkan Pahala di Bulan Puasa dengan Membaca Al Quran
Umat muslim membaca al quran pada bulan Ramadhan di Masjid Istiqlal, Jakarta, Sabtu (25/3/2023).(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menurut Imam Syafii, setiap kejadian atau peristiwa yang dialami oleh seorang muslim pasti ada hukumnya. Dalam menentukan atau menetapkan hukum tersebut, seorang muslim wajib mengikuti nash atau ketetapan hukum yang sudah jelas terdapat dalam sumber-sumber Islam, seperti Al-Quran dan Hadis.

Dalam buku berjudul Ushul Fiqih Jilid I oleh Amir Syarifudin, terdapat banyak kasus-kasus yang hukumnya telah ditetapkan oleh Allah SWT, dan seringkali terdapat kesamaan dengan kasus lain yang hukumnya belum ditetapkan. Oleh karena itu, hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan kepada kasus serupa yang lain.

Namun, jika tidak terdapat nash yang langsung relevan dengan permasalahan yang dihadapi, maka solusinya adalah mencari petunjuk dari dalil-dalil yang ada, melalui metode ijtihad atau penalaran yang cermat.

Dalam konteks ini, Imam Syafi'i menjelaskan bahwa ijtihad dapat dilakukan dengan menggunakan metode qiyas. Pengertian qiyas adalah suatu bentuk penalaran yang digunakan untuk menemukan hukum yang belum terdapat nashnya dalam Islam. Dalam melakukan qiyas, seorang muslim harus melalui jalan yang benar, dengan memperhatikan prinsip-prinsip dan rukun-rukunnya.

Pada proses ini, analogi ditarik dari hukum yang sudah ditetapkan untuk diterapkan pada kasus yang serupa dan belum memiliki ketetapan hukum. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan kesamaan substansial antara kedua kasus tersebut.

Dalam jurnal penelitian berjudul Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad oleh Ahmad Sanusi, diterangkan bahwa di antara salah satu metode ijtihad itu adalah qiyas, yang kebanyakan ulama menganggap bahwa qiyas ini adalah bisa dijadikan metode dalamijtihad, akan tetapi ada juga ulama yang tidak menerima qiyas sebagai metode ijtihad.


Rukun Qiyas

Qiyas dianggap lengkap apabila memenuhi rukun-rukunnya. Menurut Amrullah Hayatudin dalam bukunya berjudul Ushul Fiqh, para ulama ushul fiqh sepakat bahwa terdapat empat rukun qiyas. Diantaranya:

  1. Pertama adalah ashl, yang merupakan kasus lama yang dijadikan objek penyerupaan atau kasus yang sudah memiliki ketetapan hukumnya secara tekstual dalam nash maupun ijma'. Ashl sering disebut juga musyabbah bih atau yang diserupai, dan merupakan ukuran atau pembanding.
  2. Rukun kedua adalah far'u, yang secara etimologis berarti cabang. Far'u merujuk pada kasus yang ingin disamakan dengan ashl karena tidak adanya nash yang secara jelas menyebutkan hukumnya. Far'u akan diproses untuk disamakan dengan ashl, dan terdapat kesamaan substansial antara far'u yang belum jelas status hukumnya dengan ashl. Titik temu antara ashl dan far'u inilah yang disebut 'illat.
  3. Hukum ashl menjadi rukun ketiga dalam qiyas. Hukum ashl merujuk pada hukum syara yang ditetapkan oleh suatu nash dan dimaksudkan untuk diterapkan kepada cabangnya. Hukum ashl merupakan landasan yang menjadi acuan dalam melakukan qiyas.
  4. Rukun terakhir adalah 'illat. Secara bahasa, 'illat diartikan sebagai hujjah atau alasan. Secara terminologis, 'illat adalah sifat yang menjadi landasan hukum ashl. 'Illat haruslah berupa sifat yang jelas dan dapat dibatasi. Konsekuensi dari 'illat adalah penetapan hukum. Oleh karena itu, 'illat harus jelas, dapat dimengerti, dan diketahui batasan-batasannya.

Pengertian qiyas adalah metode penalaran hukum dalam Islam yang menggunakan analogi antara kasus yang telah memiliki ketetapan hukum dengan kasus serupa yang belum memiliki ketetapan hukum. Ini contoh qiyas yang Liputan6.com lansir dari berbagai sumber:


1. Dilarang memukul kedua orang tua karena diqiyaskan dengan ta'fif atau berkata

Mencari Berkah di Akhir Ramadan
Umat muslim membaca Al-Quran pada hari ke-28 bulan suci Ramadan di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (12/6). Sejumlah umat muslim meningkatkan ibadah mereka dengan melakukan itikaf di Masjid Istiqlal. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Hal ini dilakukan karena dianggap bahwa tindakan tersebut memiliki unsur menyakiti. Larangan ini didasarkan pada ayat dalam Al-Quran, yang menyatakan, "... maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (QS. Al-Isra: 23)

2. Dilarang meminum wine atau minuman keras karena diqiyaskan dengan khamar.

Kedua minuman ini memiliki unsur memabukkan. Qiyas digunakan dalam hal ini karena dianggap bahwa wine dan khamar memiliki kesamaan dalam efek negatif yang dihasilkan. Oleh karena itu, hukum meminum wine juga diterapkan pada khamar.

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma'idah: 90)

3. Diharamkan mengonsumsi daging babi karena diqiyaskan dengan hewan najis lainnya seperti bangkai.

“Allah SWT melaknat babi, memakannya, dan memberikannya kepada orang lain.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Hewan-hewan tersebut memiliki kesamaan dalam sifat najisnya. Qiyas digunakan dalam kasus ini untuk menetapkan hukum yang berlaku pada babi berdasarkan kesamaan sifat najis dengan hewan-hewan lain yang sudah memiliki ketetapan hukum sebagai najis.

“Jangan makan babi karena ia haram dan ia memunculkan kemunafikan di dalam diri.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

4. Diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah berdasarkan qiyas dengan zakat harta.

Meskipun zakat fitrah tidak disebutkan secara langsung dalam nash, namun melalui qiyas dengan zakat harta yang memiliki ketetapan hukum, zakat fitrah juga diwajibkan. Hal ini dilakukan karena terdapat kesamaan dalam prinsip memberikan hak kepada yang berhak dan kewajiban memberikan sumbangan pada saat-saat tertentu.

"Dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk." (QS. al-Baqarah: 43)

5. Diharamkan memakan daging hewan yang tidak disembelih dengan cara yang syar'i (halal) karena diqiyaskan dengan bangkai.

Bangkai dan daging hewan yang tidak disembelih secara syar'i memiliki kesamaan dalam hal tidak memenuhi syarat-syarat kehalalan dalam agama Islam. Oleh karena itu, hukum yang berlaku pada bangkai juga diterapkan pada daging hewan yang tidak disembelih dengan cara yang syar'i.

“Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik pula. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihnya.” (HR. Muslim)

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya