Cara Mencegah dan Mengobati ISPA pada Anak Menurut Para Ahli, Penyakit Mematikan

Kemenkes RI menyebut anak-anak terutama balita lebih berisiko atau rentan terkena ISPA hingga menyebabkan kematian.

oleh Laudia Tysara diperbarui 25 Agu 2023, 16:50 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2023, 16:50 WIB
Polusi Udara Tingkatkan ISPA
Dokter Desman Siahaan melakukan pemeriksaan pasien anak yang menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di Klinik BPJS Prima Husada, Depok, Jawa Barat, Rabu (16/8/2023). Sejumlah klinik kesahatan dan rumah sakit di kawasan Jabodetabek merasakan adanya kenaikan kasus ISPA di tengah buruknya udara Jabodetabek. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah masalah pernapasan serius yang bisa memengaruhi kesehatan anak-anak dan balita. Perlindungan terbaik untuk mereka dengan langkah pencegahan dan pengobatan tepat sangat penting dilakukan. Ini mencegah risiko kematian.

Hasil Survey Kesehatan Nasional (SURKESNAS) Tahun 2011, menunjukkan dari 100 anak balita yang meninggal, 28 di antaranya disebabkan oleh ISPA, terutama pneumonia. Hal ini juga berarti, sekitar 5 dari setiap 1000 anak balita meninggal setiap tahun karena pneumonia. Itu artinya, ada sekitar 140.000 anak balita yang meninggal setiap tahunnya karena penyakit ini.

Kejadian serupa terjadi di Jakarta Selatan pada tahun 2023. Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan mencatat pada periode Mei - Juli 2023, kunjungan ke puskesmas oleh penderita ISPA naik hingga 22 persen. Mayoritas pasien ISPA adalah anak-anak berusia 0-5 tahun atau balita (62.186 orang).

Selain itu, ada 45.247 orang berusia 9-60 tahun dan 13.225 orang berusia 5-9 tahun yang juga terkena ISPA. Jumlah pasien yang berusia di atas 60 tahun jauh lebih sedikit, hanya 7.588 orang.

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan kasus ISPA di Jakarta mengalami peningkatan drastis hingga mencapai 200.000 kasus per 24 Agustus 2023. Angka ini merupakan empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah kasus ISPA yang terjadi selama masa pandemi Covid-19.

Pada masa pandemi, penyakit ISPA hanya mencapai sekitar 50.000 kasus.

"Dan sekarang naik hingga 200.000 kasus. Itu ada akibatnya juga karena polusi udara," ujarnya saat ditemui tim Liputan6.com di sela-sela acara ASEAN Finance and Health Ministerial Meeting di Hotel Mulia Senayan, Jakarta pada Kamis (24/8/2023).

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam cara mencegah dan mengobati ISPA pada anak menurut ahli kesehatan, Jumat (25/8/2023).

Pencegahannya

Antusias Anak Sekolah Ikut Imunisasi DT
Petugas Puskesmas Kelurahan Rawa Bunga menyuntikkan vaksin Difteri Tetanus (DT) kepada seorang anak di RPTRA Citra Permata, Jakarta, Selasa (28/9/2021). Kegiatan rutin tahunan tersebut dalam rangka program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Melakukan Imuninsasi

Imunisasi adalah suntikan yang membuat tubuh anak menjadi lebih kuat melawan penyakit. Menurut Kementerian Kesehatan RI, anak yang belum diimunisasi campak lebih berisiko menderita ISPA yang bisa berkembang menjadi penyakit paru-paru serius seperti pneumonia.

Imunisasi DPT pun termasuk yang dapat membantu melindungi anak dan balita dari penyakit difteri dan pertusis yang termasuk dalam ISPA.

Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yang dijalankan oleh pemerintah, terutama melalui imunisasi DPT dan campak, telah berhasil menurunkan angka kematian balita akibat pneumonia, seperti yang disebutkan dalam penelitian oleh Said pada tahun 2004, yang dikutip oleh Kemenkes RI.

Bayi yang divaksinasi memiliki risiko lebih rendah terkena ISPA dibandingkan dengan yang tidak divaksinasi. Bahkan, risiko pneumonia pada bayi yang tidak mendapatkan vaksin DTP dan campak lebih tinggi sebanyak 2,7 kali dibandingkan dengan yang divaksinasi, seperti yang diketahui dari penelitian oleh Agni Hotram pada tahun 2015.

Memakai Masker N95 dan Filter Udara

Cara mencegah ISPA pada anak-anak sekolah yang perlu beraktivitas di luar ruangan adalah pakai masker. Peneliti Global Health Security sekaligus ahli kesehatan lingkungan Dicky Budiman ungkap, di tempat-tempat dengan polusi udara tinggi, anak-anak bisa menggunakan masker N95 saat berada di luar rumah, terutama saat pergi sekolah.

"Dapat menggunakan masker juga ya. Itu salah satu yang penting. Pakainya masker N95, bukan masker yang bedah," ujar Dicky kepada tim Health Liputan6.com melalui pesan suara, ditulis Jumat (25/8/2023).

Masker ini membantu melindungi saluran pernapasan mereka dari partikel berbahaya di udara. Direkomendasikan pula untuk menggunakan filter udara di dalam ruang kelas. Polusi udara bisa merusak sistem kekebalan tubuh anak, membuat mereka lebih rentan terhadap ISPA. Jadi, dengan menggunakan masker, ini akan membantu menjaga mereka tetap sehat.

"Oleh karena itu, baik juga untuk menguatkan kualitas udara di dalam kelas dengan cara filter udara dapat digunakan, memperbanyak ventilasi udara dan penghijauan," ia menjelaskan.

Imunisasi dan penggunaan masker adalah dua cara mencegah ISPA pada anak. Imunisasi membuat tubuh mereka lebih tahan terhadap penyakit, sementara masker membantu mengurangi risiko terpapar polusi udara berbahaya.

Pengobatannya

Cek Kesehatan Anak SD
Dokter memeriksa kesehatan anak Sekolah Dasar Negeri 06 Lubang Buaya, Jakarta, Jumat (25/8/2023). Pemeriksaan dilakukan untuk menskrining kemungkinan anak-anak terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). (merdeka.com/Imam Buhori)

ISPA adalah infeksi yang mempengaruhi bagian atas saluran napas, seperti hidung, tenggorokan, faring, laring, dan bronkus. Bagi anak-anak yang mengalami ISPA, pendekatan perawatan yang umum dilakukan adalah terapi simptomatis, seperti yang diungkapkan oleh dokter umum di Rumah Sakit Bakti Timah, Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, dr. Ainni Putri Sakih.

Dilakukan dengan Terapi Simptomatis

Terapi simptomatis ini melibatkan pemberian obat batuk dan pilek, dan biasanya tidak melibatkan penggunaan antibiotik. Menurut dr. Ainni, penggunaan antibiotik tergantung pada tingkat keparahan gejala. Jika gejala seperti batuk, pilek, dan demam baru muncul selama dua hingga tiga hari, antibiotik biasanya tidak diperlukan.

Jika hanya ada kemerahan di tenggorokan tanpa tanda-tanda yang lebih serius, seperti adanya lapisan putih-putih di tenggorokan (detritus), penggunaan antibiotik mungkin tidak diperlukan. Namun, jika ada indikasi lebih lanjut dari infeksi, penggunaan antibiotik bisa dianggap sebagai bagian dari perawatan.

Diberikan Obat Antibiotik

Seperti ada tanda-tanda radang dan nyeri tenggorokan, penggunaan antibiotik bisa dipertimbangkan. Pengambilan keputusan untuk menggunakan antibiotik juga didasarkan pada evaluasi kondisi kesehatan.

"Tergantung tingkat keparahan juga. Kalau baru batuk, pilek, demam dua hingga tiga hari, enggak perlu antibiotik. Tapi kalau ada radang sama nyeri tenggorokan, baru pakai antibiotik," kata Ainni saat dihubungi tim Health Liputan6.com, ditulis Jumat (25/8/2023).

Dalam jurnal penelitian berjudul Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Balita dengan Diagnosa Infeksi Saluran Pernapasan Atas di Puskesmas Koni Kota Jambi (2020) oleh Rasmala Dewi, Deny Sutrisno, dan Ryzki Purnamasari menjelaskan ini karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi terhadap bakteri tertentu.

Resistensi antibiotik adalah masalah serius karena membuat antibiotik menjadi kurang efektif dalam mengatasi infeksi, dan resistensi ini tidak dapat dihilangkan. Oleh karena itu, penting untuk menggunakan antibiotik secara bijaksana dan sesuai dengan petunjuk dokter untuk menghindari resistensi antibiotik yang tidak diinginkan.

Dalam menangani ISPA pada anak, sangat penting untuk berkonsultasi dengan dokter atau tenaga medis yang berpengalaman. Mereka dapat memberikan panduan yang tepat berdasarkan gejala dan kondisi kesehatan anak dan balita. Pilihan perawatan yang bijaksana dan sesuai akan membantu anak pulih lebih cepat dan mengurangi risiko komplikasi yang mungkin terjadi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya