Liputan6.com, Jakarta Amar maruf artinya? Amar ma'ruf adalah sebuah konsep dalam Islam yang berarti "menyuruh yang baik" atau "mendorong perbuatan baik." Konsep ini mengacu pada tindakan atau upaya, untuk mengajak orang lain melakukan perbuatan baik yang sesuai dengan ajaran Islam.
Baca Juga
Advertisement
Amar maruf artinya? Perlu diketahui, bahwa Amar ma'ruf adalah salah satu dari dua konsep dalam prinsip Amar Ma'ruf Nahi Munkar, yang berarti "mencegah yang buruk." Amar maruf nahi munkar juga bagian penting dari ajaran Islam, yang mengatur tindakan dakwah di mana mengajak orang lain berbuat kebaikan, dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik.
Amar maruf artinya? hal ini mencakup berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari, termasuk mengajak orang lain untuk menjalankan ibadah, mematuhi hukum-hukum Islam, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dalam agama Islam.
Oleh sebab itu, sebagai seorang Muslim perlu memahami dan menerapkan Amar ma'ruf nahi munkar, dalam kehidupan sehari-hari karena merupakan kewajiban. Berikut ini arti amar ma'ruf yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (21/9/2023).
Arti dan Dalil
Secara harfiah, kata amar berakar dari kata amara-ya'muru yang berarti suatu perintah. Sedangkan, kata ma'ruf, secara etimologi diambil dari kata bahasa Arab, yaitu isim maf'ul dari kata 'arafayu'rifu-irfatan atau ma'rifatan yang berarti mengakui, mengenal danmengetahui. Kata ma'ruf juga dapat dipahami sebagai sesuatu yang sudah diketahui.
Kata ma'ruf juga kadang-kadang dipahami sebagai sesuatu yang sewajarnya, sepatutnya, sepantasnya atau sesuatu yang bernilai kebaikan dan kemaslahatan. Sementara itu, kata munkar berasal dari bahasa kata bahasa Arab, yang kata dasarnya adalah nakara, yang diartikan sebagai tidak mengenal, tidak mengetahui atau tidak mengakui. Kata munkar juga dapat dipahami sebagai sesuatu yang tidak diketahui, yang tidak dikenali atau yang tidak diakui.
Dalil Al-Qur’an
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“.[Al-Imran:104].
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,
”Maksud dari ayat ini, hendaklah ada sebagian umat ini yang menegakkan perkata ini”.[3]
Dan firman-Nya.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah“. [Al-Imran :110].
Umar bin Khathab berkata ketika memahami ayat ini,”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya”.[4]
Dalil Sunnah
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barang siapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman“. [HR Muslim].
Advertisement
Syarat
Bagaimana sejatinya berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam perspektif Islam? Mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci Al-Qur’an Al-Karim:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Artinya: ”Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Âli ‘Imrân [3]: 104)
Imam Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî (849-911 H/1445-1505 M), dalam kitab yang sangat populer, Tafsîr al-Jalâlain, dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan:
ومن للتبعيض لأن ما ذكر فرض كفاية لا يلزم كل أمة ولا يليق بكل أحد كالجاهل
Artinya: ”Huruf ‘min’ untuk arti sebagian, karena apa yang telah disebutkan (dalam ayat 104 itu, yakni dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar) merupakan fardhu kifâyah, tidak layak dilakukan oleh setiap orang, seperti orang yang bodoh (tidak berpengetahuan)” (al-‘Allâmah Ahmad as-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyat al-‘Allâmah as-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993, Juz I, h. 229).
Terdapat beberapa syarat menurut Amar Ma’ruf Nahi Munkar menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani diantaranya:
1. Mengetahui sesuatu yang diperintahkan dan sesuatu yang dilarang.
2. Tujuan atau motivasi dari amar ma’rufnya adalah mencari ridha Allah dan meluhurkan agama-Nya, serta meninggikan Kalimat-Nya, bukan karena riyâ’, sum‘ah, dan kebanggaan bagi diri sendiri. Ia akan membantu dan membimbing orang yang berbuat kemungkaran ke arah kebaikan, jika memang ia (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) berlaku benar dan ikhlas.
3. Perintah dan larangannya dilakukan dengan lemah lembut, ramah dan kasih sayang. Nasihat disampaikan dengan cara yang baik, bukan dengan keras dan marah-marah, agar ia tidak mempersamakan musuhnya itu dengan setan yang terkutuk.
4. Menjadi seorang yang penyabar, murah hati, toleran, rendah hati, mampu mengontrol hawa nafsu, kuat hatinya, penurut (tidak beringas atau sangar), laksana dokter yang mengobati pasiennya, bijak bestari yang mengobati orang gila, dan pemimpin yang memberikan petunjuk.
5. Melaksanakan sesuatu yang dia perintahkan, menjauhi sesuatu yang dia larang, dan tidak berlumuran dengan sesuatu yang dilarang tersebut, agar ia tidak dikuasi oleh mereka, yang justru menjadikannya hina dan tercela di hadapan Allah Taala.” (Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî, al-Gunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq fî al-Akhlâq wa-al-Tashawwuf wa-al-Âdâb al-Islâmiyyah, Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, t.t., juz I, h. 51-53).
Tahapan
Terdapat beberapa tahapan atau prosedur, yang harus dilakukan dalam realisasi pelaksanaan amar ma’ruf. Baginda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu _dengan lisannya_, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah lemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Maksud dari hadits ini, bukanlah seperti yang banyak disalahpahami oleh orang-orang yang beranggapan bahwa kalau mampu menghilangkan dengan tangan, maka harus langsung dengan tangan. Anggapan seperti ini salah besar, dan bertentangan dengan nilai rahmat (belas kasih) di dalam Islam. Akan tetapi pemahaman yang benar dari hadits di atas adalah, seseorang yang melihat kemunkaran dan ia mampu menghilangkan dengan tangan, maka ia tidak boleh berhenti dengan lisan.
Imam Muhyiddin an-Nawawi berkata di dalam kitab Raudlatut Thâlibîn:
ولا يكفي الوعظ لمن أمكنه إزالته باليد، ولا تكفي كراهة القلب لمن قدر على النهي باللسان
“Tidak cukup memberi nasihat bagi orang yang mampu menghilangkan kemunkaran dengan tangan. Dan tidak cukup ingkar di dalam hati bagi orang yang mampu mencegah kemunkaran dengan lisan.” (Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan kelima, jilid V, halamann 123).
Dalam proses amar ma’ruf nahi munkar, tetap harus mendahulukan tindakan yang paling ringan sebelum bertindak yang lebih berat. Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani berkata di dalam kitabnya, Hasyiyah asy-Syarwani:
والواجب على الآمر والناهي أن يأمر وينهى بالأخف ثم الأخف. فإذا حصل التغيير بالكلام اللين فليس له التكلم بالكلام الخشن وهكذا كما قاله العلماء
“Wajib bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar untuk bertindak yang paling ringan dulu kemudian yang agak berat. Sehingga, ketika kemungkaran sudah bisa hilang dengan ucapan yang halus, maka tidak boleh dengan ucapan yang kasar. Dan begitu seterusnya).” (Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-Syarwani ala Tuhfahtil Muhtaj, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 cetakan keempat, jilid 7, halaman 217)
Dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, seseorang harus lebih arif dan bijak karena terkadang dalam menghasilkan tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang harus menghilangkannya sedikit demi sedikit, tidak memaksakan harus hilang seluruhnya dalam waktu seketika itu. Sayyid Abdullah ibn Husain ibn Tohir berkata:
ينبغي لمن أمر بمعروف أو نهى عن منكر أن يكون برفق وشفقة على الخلق يأخذهم بالتدريج فإذا رآهم تاركين لأشياء من الواجبات فليأمرهم بالأهم ثم الأهم فإذا فعلوا ما أمرهم به انتقل إلى غيره وأمرهم وخوفهم برفق وشفقة مع عدم النظر منه لمدحهم وذمهم وعطاءهم ومنعهم وإلا وقعت المداهنة وكذا إذا ارتكبوا منهيات كثيرة ولم ينتهوا بنهيه عنها كلها فليكلمهم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في غيرها وهكذا.
“Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus bersikap lembut dan belas kasih kepada manusia, ia harus bertindak pada mereka dengan bertahap. Ketika ia melihat mereka meninggalkan beberapa kewajiban, maka hendaknya ia memerintahkan pada mereka dengan perkara wajib yang paling penting kemudian perkara yang agak penting. Kemudian ketika mereka telah melaksanakan apa yang ia perintahkan, maka ia berpindah pada perkara wajib lainnya. Hendaknya ia memerintahkan pada mereka dan menakut-nakuti mereka dengan lembut dan belas kasih. Begitu juga ketika mereka melakukan larangan-larangan agama yang banyak dan mereka tidak bisa meninggalkan semuanya, maka hendaknya ia berbicara kepada mereka di dalam sebagiannya saja, hingga mereka menghentikannya kemudian baru berbicara sebagian yang lain, begitu seterusnya.”
Advertisement