Kampanye Pemilu dengan AI, Ini Cara Kandidat Presiden Argentina Raih Suara

Pro dan kontra penggunaan AI untuk pemilu.

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 17 Nov 2023, 14:36 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2023, 16:50 WIB
Artificial Intelligence.
Ilustrasi AI Robotika Bersalaman dengan Manusia (Foto: Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Argentina menjadi saksi sebuah revolusi dalam dunia kampanye pemilu, di mana kecerdasan buatan (AI) menjadi senjata utama bagi para kandidat. Dalam perebutan kursi kepresidenan, Sergio Massa dan Javier Milei memanfaatkan teknologi AI untuk menciptakan poster dan video kampanye yang tidak hanya inovatif tetapi juga kontroversial. 

Penggunaan teknologi ini membuka babak baru dalam politik Argentina, memunculkan pertanyaan tentang etika kampanye dan dampak potensialnya pada integritas demokrasi. Kampanye Massa menonjolkan poster propaganda politik seperti zaman Soviet, menciptakan citra otoritas dan kekuatan dengan bantuan AI. 

Di sisi lain, Milei merespons dengan menggambarkan Massa sebagai seorang pemimpin komunis Tiongkok, menciptakan dinamika visual yang intens antara keduanya. Puncaknya adalah penggunaan video deepfake untuk menyajikan naratif kontroversial, seperti Milei yang membahas legalisasi pasar organ manusia.

Lebih lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber pada Kamis (16/11/2023). 


Revolusi Kampanye Pemilu Melalui Teknologi AI di Argentina

beberapa poster yang dibuat oleh AI
Sumber: dailymail.co.uk

Pemilu di Argentina memasuki babak baru dengan para kandidat, Sergio Massa dan Javier Milei, mengguncang panggung politik menggunakan kecerdasan buatan (AI) sebagai senjata utama mereka. Dalam upaya untuk memenangkan hati pemilih, keduanya menghadirkan kampanye yang inovatif dan kontroversial, mengubah pandangan tradisional kampanye politik.

Sergio Massa, dengan tekad kuat, memanfaatkan AI untuk menciptakan poster kampanye yang mencerminkan kekuatan dan otoritasnya. Dengan menggambarkan dirinya dalam adegan militer di tengah kerumunan yang penuh harapan, Massa memberikan nuansa propaganda politik ala Soviet, menciptakan kesan persatuan dan kekuatan.

Namun, perang AI tidak bersifat satu arah. Javier Milei, seorang ekonom libertarian sayap kanan, membalas dengan menciptakan citra Massa sebagai seorang pemimpin komunis Tiongkok. Melalui penggunaan teknologi ini, keduanya tidak hanya bersaing secara politik tetapi juga secara visual, menciptakan naratif yang terus berubah melalui poster digital yang saling memprovokasi.

 

Kedalaman AI dalam Menyajikan Politik Kontroversial

beberapa poster yang dibuat oleh AI
Sumber: dailymail.co.uk

Kampanye Massa tidak hanya terbatas pada poster, tetapi juga mencakup penggunaan video deepfake untuk merusak citra lawannya, Javier Milei. Dalam serangkaian poster dan video, Milei dihadirkan dalam konteks yang kontroversial, seperti menjadi karakter dalam film "Clockwork Orange" dan "Fear and Loathing in Las Vegas". Ini menjadi upaya untuk menunjukkan ketidakstabilan Milei, terutama setelah kejadian kontroversial di siaran langsung televisi pada Oktober lalu.

Massa mengambil langkah ekstra dengan memproduksi video deepfake yang menampilkan Milei membahas konsep pasar organ manusia, yang dinyatakan akan dilegalkan jika terpilih. Meskipun disajikan sebagai hiburan politik, penggunaan teknologi ini menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya pada integritas pemilihan dan membuka diskusi tentang etika dalam kampanye politik modern.


Tantangan dan Dampak Pemilu AI di Masa Depan

Dalam sebuah wawancara, Massa mengakui kejutan atas kemampuan teknologi AI, menyatakan bahwa mereka sedang "menunggang kuda yang triknya masih mereka pelajari." Sementara kampanye menyatakan bahwa penggunaan AI bertujuan untuk menghibur dan menyampaikan poin politik, masyarakat dan pengamat khawatir akan potensi penyesatan dan dampak berbahaya pada proses demokrasi.

Kasus serupa juga sempat terjadi di AS, di mana poster dan video deepfake digunakan dalam kampanye Ron DeSantis, menunjukkan bahwa fenomena ini tidak terbatas pada Argentina. Dengan teknologi yang terus berkembang, risiko menghasilkan informasi palsu yang sulit dibedakan dari yang asli semakin meningkat, memicu pertanyaan tentang perlunya regulasi dan etika dalam kampanye politik masa depan.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya