Liputan6.com, Jakarta Sejarah Rohingya dan penyebab konflik etnis di Myanmar perlu dipahami setiap orang. Etnis Rohingya sendiri adalah penduduk minoritas beragama Islam yang bertempat tinggal di daerah Myanmar, tepatnya Provinsi Arakan di sisi sebelah barat laut Myanmar. Daerah ini berbatasan dengan Bangladesh, dan sekarang dikenal dengan provinsi Rakhine atau Rakhaing.
Baca Juga
Rohingya merupakan keturunan campuran (Arab, Moor, Turki, Persia, Mogul dan Pathan), Bengali lokal dan Rakhine. Setelah kemerdekaan Myanmar, etnis Rohingnya sebenarnya memiliki peranan dalam pemerintahan. Bahkan ada warga Rohingnya yang menjadi menteri di pemerintahan Myanmar pada tahun 1940-1950.
Advertisement
Sejarah Rohingya dan penyebab konflik etnis di Myanmar bermula saat Jenderal Ne Win melakukan kudeta hingga pada akhirnya berhasil menjadi Presiden. Banyak faktor yang menjadi pemicu awal dari konflik yang berkepanjangan ini, mulai dari kasus pemerkosaan, diskrimasi warga minoritas, hingga masalah entitas etnis.
Berikut Liputan6.com rangkum dari repository.umy.ac.id, Jumat (17/11/2023) tentang Sejarah Rohingya dan Penyebab Konflik Etnis di Myanmar.
Sejarah Rohingya di Myanmar
Sejarah etnis Rohingya di Myanmar sebagai penduduk minoritas beragama Islam, bertempat tinggal di daerah Myanmar tepatnya Provinsi Arakan di sisi sebelah barat laut Myanmar berbatasan dengan Bangladesh, dan sekarang dikenal dengan provinsi Rakhine atau Rakhaing.
Etnis Rohingya diperkirakan adalah keturunan campuran (Arab, Moor, Turki, Persia, Mogul dan Pathan), Bengali lokal dan Rakhine. Mereka berbicara versi Chittagonian, dialek regional Bengali yang juga digunakan secara luas di seluruh bagian tenggara Bangladesh.
Setelah kemerdekaan Myanmar, yaitu pada masa kepemimpinan Jenderal Aung San, etnis Rohingnya menjadi salah satu etnis yang memiliki peranan dalam pemerintahan Myanmar. Bahkan ada warga Rohingnya yang menjadi menteri di pemerintahan Myanmar pada tahun 1940-1950.
Namun, pada tahun 1962 ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta hingga pada akhirnya menjadi Presiden di Myanmar, sistem politik Myanmar berubah menjadi lebih otoriter. Konflik yang kerap muncul di Myanmar yang melibatkan antar etnis terjadi dalam kurun 1991 sampai sekarang. Banyak faktor yang menjadi pemicu awal dari konflik yang berkepanjangan ini, mulai dari kasus pemerkosaan, diskrimasi warga minoritas, dan masalah entitas etnis.
Advertisement
Penyebab Konflik Etnis di Myanmar
1. Status yang Berbeda
Perlakuan diskriminatif terhadap Etnis Rohingnya, antara lain disebabkan oleh status mereka yang berbeda. Salah satu akar konflik tersebut adalah status etnis Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di Myanmar. Pemerintah Myanmar juga tidak mengakui serta tidak memberi status kewarganegaraan kepada mereka. Sebagai akibat karena tidak memiliki kewarganegaraan, etnis Rohingya tidak bisa mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak.
Pemerintah Myanmar tak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh Presiden Myanmar, Thein Sein pada tahun 2012, di mana Myanmar tidak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh.
Sejak UU Kewarganegaraan 1982 diberlakukan di Myanmar, etnis yang diakui sebagai warga negara adalah etnis yang telah lama berada di Myanmar sebelum pendudukan kolonial Inggris tahun 1824. Tercatat ada 135 etnis namun warga Rohingya etnis Bengali tidak termasuk di dalamnya.
Bukan hanya dilatar belakangi heterogenitas etnis saja yang menyebabkan konflik antar etnis melainkan juga disebabkan oleh adanya ketimpangan ekonomi, agama, superioritas etnis, dan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terutama kebijakan yang mengandung unsur-unsur etnisitas (memberikan hak privilege pada etnis tertentu).
2. Kecemburuan Etnis Rakhine Terhadap Etnis Rohingya
Penyebab konflik etnis di Myanmar selanjutnya adalah adanya kecemburuan dari etnis Rakhine terhadap etnis Rohingya. Hal tersebut dikarenakan populasi etnis Muslim Rohingya dalam beberapa tahun terus meningkat. Bagi mereka, keberadaan etnis Rohingya dianggap sebagai sesuatu yang terus mengganggu.
Keberadaan etnis Rohingya dianggap mengurangi hak atas lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim Rohingya. Keberadaan etnis Rohingya di Provinsi Rakhine semakin terancam oleh tindakan yang sewenang-wenang seperti penjarahan, pemusnahan tempat tinggal, pembakaran masjid, dan pemerkosaan.
Etnis Rohingya yang banyak menjadi korban perampasan tanah melampiaskan kekecewaannya pada etnis Rakhine yang jauh lebih dilindungi oleh pemerintah. Sejak saat itu, tingkat kebencian warga Muslim Rohingya semakin besar dengan etnis Rakhine dan konflik antar keduanya sering menimbulkan kerusakan dan pertikaian yang berlarut-larut di Provinsi Rakhine.
3. Burmanisasi
Pada masa Rezim Militer, mulai dari era Ne Win hingga tahun 2000, etnis Rohingnya menghadapi situasi yang berat. Situasi ini dikarenakan adanya diskriminasi dalam skala besar yang dilakukan oleh pemerintah Junta Militer Myanmar. Salah satunya adalah semakin gencarnya kebijakan Burmanisasi yang dilakukan dengan menerapkan program model village.
Model village yaitu suatu perumahan yang dibangun khusus untuk orang-orang beragama Buddha seperti Buddha Rakhine dan orang Buddha lainnya yang sebagian besar berasal dari etnis Burma. Mereka didatangkan secara massal dan kemudian dibekali kebutuhan hidup berupa pasokan bahan pangan dan diberikan rumah yang layak huni oleh pemerintah Myanmar.
Pemerintah Myanmar bahkan menyita tanah warga Rohingya secara paksa untuk membangun model village ini, mereka kemudian menempatkan etnis Rakhine dan orang-orang Buddha di daerah-daerah mayoritas Muslim Rohingya. Pemerintah Myanmar juga menggantikan tempat-tempat suci Rohingya dengan monumen bersejarah dan peninggalan Buddha berupa biara, pagoda Buddha dan asrama untuk biksubiksu Rakhine.
Etnis Rakhine direlokasi ke daerah-daerah model village yang merupakan daerah hasil rampasan tanah milik etnis Rohingya. Sebanyak 50 desa dengan 200 keluarga Rakhine tinggal di desa tersebut. Sementara itu, Muslim Rohingya yang kehilangan tanah mereka menjadi tunawisma tanpa mata pencaharian.
Advertisement
4. Diskriminasi Rohingya Diberitakan Media Internasional
Konflik yang terjadi antara etnis Rohingya dan Rakhine yang pada awalnya belum banyak diketahui oleh dunia luar kemudian mencuat pada bulan Juni-Agustus tahun 2012, di mana pemberitaan media internasional mulai memberitakan fakta-fakta tentang adanya konflik Rohingnya. Hal tersebut memancing kemarahan dari etnis Rakhine yang kemudian berakhir pada konflik yang tidak terhenti.
Konflik ini memuncak pada Juli 2012. Puncak dari konflik ini ditandai dengan adanya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis Rohingnya serta penyerangan yang dilakukan oleh kedua belah etnis. Bahkan tentara dan polisi Myanmar diduga ikut memprovokasi kedua etnis dan turut menyerang perkampungan Rohingnya.
Banyak pihak yang mengecam konflik tersebut, hal ini dikarenakan Myanmar pada saat itu sedang mengalami proses demokrasi. Salah satu pihak yang mengecam konflik tersebut adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa, namun tidak menyalahkan pemerintahan Myanmar sebagai penyebab dari konflik tersebut.
Lembaga lain seperti Amnesty Internasional dan Organisasi HAM (Hak Asasi Manusia) dunia menilai bahwa pemerintah Myanmar telah melakukan diskriminasi secara sistematis terhadap etnis Rohingnya yang telah menyebabkan penderitaan etnis Rohingnya yang tak kunjung usai.