Kapan Prosedur Induksi Diperlukan dalam Persalinan? Pahami Metode dan Risikonya

Salah satu alasan umum untuk melakukan induksi persalinan adalah ketika kehamilan telah melebihi usia 42 minggu atau ketika cairan ketuban mulai berkurang.

oleh Fitriyani Puspa Samodra diperbarui 23 Feb 2024, 11:20 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2024, 11:20 WIB
Ilustrasi bayi, kelahiran bayi
Ilustrasi bayi, kelahiran bayi, Salah satu alasan umum untuk melakukan induksi persalinan adalah ketika kehamilan telah melebihi usia 42 minggu atau ketika cairan ketuban mulai berkurang. (Image by jcomp on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Prosedur induksi persalinan adalah tindakan medis yang dilakukan untuk merangsang kontraksi rahim dengan tujuan mempercepat proses persalinan. Namun, tindakan ini tidak boleh dianggap enteng karena membawa risiko tertentu. Sebelum menjalani prosedur ini, penting untuk memahami alasan di baliknya, metode yang digunakan, dan risiko yang mungkin timbul.

Salah satu alasan umum untuk melakukan induksi persalinan adalah ketika kehamilan telah melebihi usia 42 minggu atau ketika cairan ketuban mulai berkurang. Pada kondisi-kondisi ini, bayi berisiko mengalami gangguan atau bahkan kematian jika tidak segera dilahirkan. Dengan demikian, induksi persalinan menjadi langkah penting untuk menjaga keselamatan ibu dan janin.

Prosedur ini bertujuan untuk merangsang kontraksi rahim agar persalinan dapat berlangsung melalui jalan lahir secara alami. Metode yang digunakan bervariasi, mulai dari pemberian obat-obatan hingga tindakan fisik seperti memecah ketuban. Meskipun bertujuan untuk mempercepat proses persalinan, tindakan ini juga memiliki risiko tertentu. Berikut ulsan lebih lanjut tentang prosedur induksi untuk mempercepat persalinan yang Liiputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (23/2/2024).

Kondisi yang Membutuhkan Prosedur Induksi

Metode ERACS Bantu Persalinan Nyaman dan Pemulihan Lebih Cepat, Apa Itu? (1)
Kondisi yang Membutuhkan Prosedur Induksi

Prosedur induksi kehamilan menjadi suatu pertimbangan penting dalam perawatan prenatal, terutama ketika kondisi kesehatan ibu dan bayi menghadapi risiko tertentu. Berikut beberapa situasi di mana induksi kehamilan diperlukan.

1. Pecahnya Air Ketuban tanpa Kontraksi

Jika air ketuban telah pecah tetapi kontraksi belum terjadi setelah lebih dari 24 jam, risiko infeksi meningkat. Dalam kasus ini, dokter akan mempertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan atau terus memantau perkembangan persalinan secara alami. Pada kehamilan prematur, induksi persalinan hanya akan dilakukan jika ada indikasi medis tertentu, sambil tetap memantau kondisi bayi dalam kandungan.

2. Melebihi Waktu Perkiraan Persalinan

Jika kehamilan melewati 42 minggu tanpa tanda-tanda persalinan, risiko komplikasi meningkat, termasuk risiko kematian janin. Dokter akan merekomendasikan induksi persalinan untuk mencegah risiko yang lebih tinggi.

3. Kehamilan dengan Risiko Tinggi

nduksi persalinan juga dapat disarankan jika ibu hamil memiliki kondisi medis tertentu yang dapat membahayakan kesehatan ibu atau janin, seperti tekanan darah tinggi, diabetes, atau komplikasi kehamilan lainnya. Tindakan ini perlu dilakukan demi keselamatan ibu dan janin dalam kandungan.

Keputusan untuk melakukan induksi persalinan harus didasarkan pada pertimbangan yang matang antara dokter dan ibu hamil, dengan memperhitungkan kondisi kesehatan spesifik, potensi risiko, serta manfaat dari prosedur tersebut. Diskusi terbuka dan pemantauan yang cermat sangat penting untuk memastikan keselamatan ibu hamil dan bayinya.

Metode Induksi Persalinan

Beberapa Kondisi yang Membutuhkan Tindakan Induksi Persalinan
Ilustrasi Pemeriksaan Kehamilan Credit: pexels.com/Mart

Induksi persalinan melibatkan berbagai metode yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi spesifik ibu hamil. Berikut adalah beberapa jenis metode induksi persalinan yang umum digunakan.

1. Mematangkan Leher Rahim

Metode ini melibatkan pemberian obat hormon untuk menipiskan atau mematangkan leher rahim. Obat tersebut dapat diberikan secara oral atau dalam bentuk suppositoria yang dimasukkan ke dalam vagina. Selain itu, kateter yang mengandung larutan garam juga dapat dimasukkan ke dalam leher rahim untuk mempercepat proses kematangan.

2. Memecahkan Air Ketuban (Amniotomi)

Metode ini dilakukan saat leher rahim telah setengah terbuka dan kepala bayi berada di panggul bawah. Dokter membuat lubang kecil di kantung ketuban untuk memecahnya. Proses ini akan membuat ibu hamil merasakan semburan cairan hangat saat air ketuban telah pecah.

3. Pemberian Obat Melalui Infus

Obat-obatan, seperti oksitosin, diberikan melalui infus untuk memicu kontraksi otot rahim. Pemberian hormon oksitosin biasanya dilakukan setelah leher rahim mulai menipis dan melunak.

4. Teknik Membrane Stripping

Teknik ini melibatkan dokter menggunakan jarinya untuk memisahkan lapisan kantung ketuban dari leher rahim. Proses ini dapat merangsang pelepasan hormon prostaglandin, yang dapat memicu persalinan.

Kombinasi dari beberapa metode induksi persalinan juga sering dilakukan oleh dokter untuk meningkatkan efektivitas dan melancarkan proses persalinan. Setiap metode memiliki kelebihan dan pertimbangan tersendiri, dan pilihan terbaik akan bergantung pada kondisi ibu hamil serta respons tubuh terhadap metode tersebut. Diskusi terbuka antara dokter dan pasien sangat penting untuk memilih metode yang paling sesuai dan aman bagi ibu dan bayi yang dikandungnya.

Risiko Prosedur Induksi Persalinan

[Bintang] Heboh, Nenek 62 Tahun Melahirkan Bayi Laki-laki dengan Persalinan Normal
Risiko Prosedur Induksi Persalinan (Ilustrasi: Opposing Views)

Seperti tindakan medis lainnya, induksi persalinan adalah prosedur medis yang tidak terlepas dari risiko. Berikut beberapa risiko yang mungkin timbul setelah induksi persalinan meliputi.

1. Nyeri yang Lebih Hebat

Kontraksi yang dipicu oleh induksi persalinan dapat lebih intens dan menyebabkan rasa nyeri yang lebih kuat dibandingkan dengan persalinan alami.

2. Pengaruh Terhadap Detak Jantung Bayi

Penggunaan obat seperti oksitosin atau prostaglandin dalam proses induksi persalinan dapat memengaruhi detak jantung bayi dan mengurangi suplai oksigen ke bayi.

3. Risiko Infeksi

Seperti pada prosedur medis lainnya, risiko infeksi pada ibu dan bayi juga mungkin terjadi setelah induksi persalinan.

4. Perdarahan Postpartum

Ada risiko perdarahan setelah persalinan karena otot rahim mungkin tidak berkontraksi dengan kuat setelah proses persalinan (atonia uteri).

5. Pecahnya Rahim

Pecahnya rahim bisa terjadi sebagai akibat dari induksi persalinan, yang dapat menyebabkan perdarahan yang serius dan mungkin memerlukan pengangkatan rahim.

Selain itu, terdapat beberapa kondisi di mana induksi persalinan tidak disarankan, seperti infeksi herpes genital, riwayat operasi caesar dengan sayatan vertikal, riwayat operasi besar pada rahim, prolaps tali pusat, atau jalan lahir terlalu sempit untuk bayi.

Diskusi yang terbuka antara ibu hamil, keluarga, dan dokter sangat penting sebelum memutuskan untuk menjalani induksi persalinan. Dokter akan mengevaluasi kondisi kesehatan ibu hamil dan bayi serta memilih metode induksi yang paling sesuai dan aman.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya