Liputan6.com, Jakarta Menurut Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang baru disahkan, terdapat aturan baru yang sangat penting terkait dengan cuti melahirkan bagi perempuan. Aturan ini memperkenalkan durasi cuti yang cukup panjang, mencapai enam bulan, yang merupakan perubahan signifikan dalam perlindungan hak ibu pekerja yang tengah melewati masa persalinan. Keputusan ini mencerminkan perhatian serius terhadap kesejahteraan ibu dan anak dalam fase 1000 hari pertama kehidupan.Â
Baca Juga
Rincian lengkap aturan dalam UU KIA ini mengatur bahwa cuti melahirkan akan berlangsung minimal tiga bulan pertama setelah melahirkan, yang merupakan periode penting untuk pemulihan ibu dan perawatan bayi. Selain itu, aturan ini juga mempertimbangkan situasi khusus yang mungkin dialami oleh ibu pekerja, yang dapat memperpanjang durasi cuti hingga tiga bulan tambahan, sehingga total durasinya menjadi enam bulan.
Advertisement
Dengan adanya aturan dalam UU KIA ini, diharapkan bahwa ibu pekerja dapat lebih fokus pada pemulihan pasca-melahirkan dan memberikan perhatian yang maksimal pada pertumbuhan dan perkembangan anaknya selama fase awal kehidupannya. Hal ini juga menjadi langkah positif dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih mendukung bagi perempuan yang memiliki tanggung jawab sebagai ibu.
Lantas bagaimana aturan lengkapnya? Berikut ini telah Liputan6.com rangkum informasi lengkapnya, pada Rabu (5/6).
Hak Perempuan yang Bekerja
Dalam Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pasal 4 ayat 3, setiap perempuan yang bekerja memiliki hak yang jelas terkait dengan cuti melahirkan.Â
- Pertama, mereka berhak mendapatkan cuti selama paling singkat 3 (tiga) bulan pertama setelah melahirkan. Ini adalah periode penting untuk pemulihan ibu dan perawatan bayi yang baru lahir.
- Kedua, jika terdapat kondisi khusus yang membutuhkan perpanjangan masa cuti, perempuan yang bekerja juga memiliki hak untuk cuti selama paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya. Namun, untuk mendapatkan perpanjangan ini, mereka harus dapat membuktikan kondisi khusus yang diakui secara medis melalui surat keterangan dokter.
Selain itu, pasal 5 ayat 1 UU KIA juga menegaskan bahwa seorang perempuan yang bekerja tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya selama masa cuti melahirkan. Mereka tetap berhak memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang berlaku.
Salah satu hak yang perlu diperhatikan adalah pemberian upah penuh selama 3 bulan pertama cuti melahirkan. Pasal 5 ayat 2 UU KIA menjelaskan bahwa perempuan yang sedang cuti melahirkan memiliki hak untuk tetap menerima upah penuh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan perhatian yang besar terhadap kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan perempuan yang tengah menjalani masa cuti melahirkan.
Advertisement
Pemberian Upah Perempuan yang Cuti Melahirkan
Berikut adalah rincian mengenai pemberian upah bagi perempuan yang sedang cuti melahirkan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA):
1. Upah Penuh untuk 3 Bulan Pertama
Setiap perempuan yang sedang cuti melahirkan berhak menerima upah secara penuh selama 3 (tiga) bulan pertama setelah melahirkan. Hal ini mengakui pentingnya periode awal pasca-melahirkan untuk pemulihan dan perawatan yang intensif terhadap bayi yang baru lahir.
2. Upah Penuh untuk Bulan Keempat
Selain itu, perempuan yang masih dalam masa cuti pada bulan keempat juga berhak menerima upah secara penuh. Ini memberikan dukungan finansial yang kontinu saat mereka masih fokus pada proses pemulihan dan peranannya sebagai ibu baru.
3. 75% Upah untuk Bulan Kelima dan Bulan Keenam
Pada bulan kelima dan keenam cuti melahirkan, perempuan masih mendapatkan dukungan finansial sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari upahnya. Meskipun sedikit berkurang, hal ini tetap memberikan jaminan ekonomi yang penting selama masa transisi ini.
Selain itu, UU KIA juga mengatur perlindungan hukum bagi perempuan yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau tidak memperoleh hak-haknya selama masa cuti melahirkan. Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah akan memberikan pendampingan secara hukum untuk memastikan pemenuhan hak perempuan tersebut terpenuhi dengan baik, menunjukkan komitmen untuk melindungi hak-hak perempuan yang sedang dalam situasi yang rentan.
Tak hanya itu, UU KIA juga memperhatikan hak cuti pendampingan bagi suami yang memiliki istri yang baru saja melahirkan, yang diatur secara khusus dalam pasal 6 ayat 2a dan 2b. Hal ini menunjukkan upaya dalam menciptakan lingkungan yang mendukung peran aktif suami dalam proses kelahiran dan perawatan awal anak.
Hak Suami yang Istrinya Melahirkan
Berikut adalah rincian hak cuti pendampingan bagi suami yang memiliki istri yang baru saja melahirkan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA):
1. Cuti Pendampingan Selama Persalinan
Suami berhak mendapatkan cuti pendampingan selama 2 (dua) hari saat istri melahirkan. Selain itu, mereka juga dapat diberikan cuti paling lama 3 (tiga) hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan yang ada. Hal ini memberikan kesempatan bagi suami untuk memberikan dukungan dan perhatian maksimal selama proses persalinan dan pasca-persalinan.
2. Cuti Pendampingan saat Keguguran
Dalam situasi keguguran, suami juga berhak mendapatkan cuti pendampingan selama dua hari. Ini memperhitungkan dampak emosional dan dukungan yang diperlukan bagi suami saat menghadapi keguguran bersama-sama dengan istri.
Selain cuti pendampingan yang sudah dijelaskan, pasal 6 ayat 3 UU KIA juga memberikan kelonggaran bagi suami untuk mendapatkan waktu yang cukup untuk mendampingi istri dan/atau anak dengan alasan-alasan tertentu:
1. Istri atau Anak Mengalami Masalah Kesehatan
Jika istri yang melahirkan atau anak yang baru dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi pasca persalinan atau keguguran, suami berhak mendapatkan waktu yang cukup untuk memberikan dukungan dan perhatian ekstra.
2. Keadaan Darurat
Suami juga berhak mendapatkan waktu yang cukup untuk mendampingi istri dan/atau anak dalam situasi darurat, seperti jika istri yang melahirkan meninggal dunia atau jika anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan serius atau meninggal dunia.
Dengan demikian, Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) tidak hanya memperhatikan hak-hak perempuan yang melahirkan, tetapi juga memberikan pengakuan terhadap peran dan dukungan yang penting dari suami selama masa persalinan dan pasca-persalinan. Hal ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya keterlibatan aktif suami dalam perawatan dan perlindungan kesehatan keluarga.
Advertisement