Macam-Macam Pekerjaan Rasulullah SAW, Teladan Profesionalitas dan Etika Bisnis dalam Islam

Pelajari macam-macam pekerjaan Rasulullah SAW yang menginspirasi. Temukan nilai-nilai profesionalitas dan etika kerja dalam setiap profesi yang dijalani Nabi Muhammad SAW.

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 28 Okt 2024, 15:30 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2024, 15:30 WIB
Gembala kambing di Arab Saudi. (Foto: Tangkapan layar video YT Iday Adventurer)
Gembala kambing di Arab Saudi. (Foto: Tangkapan layar video YT Iday Adventurer)

Liputan6.com, Jakarta Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai teladan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal berkarier dan bekerja. Sejak usia belia, beliau telah menunjukkan etos kerja yang luar biasa dan kemandirian dalam mencari nafkah. Meski terlahir dari keluarga terhormat Bani Hasyim, beliau tidak segan untuk bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sikap profesional dan kemandirian Rasulullah SAW dalam bekerja tercermin dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, di mana beliau bersabda:

“Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud AS memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR al-Bukhari).

Hadits ini menegaskan bahwa Rasulullah SAW sangat menghargai usaha dan kerja keras dalam mencari rezeki yang halal.

Dalam perjalanan hidupnya, Rasulullah SAW telah menjalani beberapa profesi yang masing-masing memberikan pembelajaran dan membentuk karakter kepemimpinan beliau. Mari kita telusuri macam-macam pekerjaan Rasulullah SAW yang dapat menjadi inspirasi bagi umat Islam dalam mengembangkan karier, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Senin (28/10/2024).

Menggembala Kambing

Menggembala kambing menjadi profesi pertama yang digeluti oleh Rasulullah SAW di masa kecilnya. Menariknya, pekerjaan ini dimulai atas inisiatif beliau sendiri ketika berusia sekitar delapan tahun. Saat itu, beliau yang diasuh oleh pamannya Abu Thalib, mengutarakan keinginannya untuk bekerja menggembala kambing milik penduduk Makkah. Keputusan ini sempat mengejutkan Abu Thalib dan istrinya, Fatimah binti Asad, yang merasa berat membiarkan keponakan mereka yang masih kecil bekerja keras di bawah terik matahari.

Ada beberapa alasan mendalam yang mendorong Rasulullah SAW memilih profesi ini. Pertama, kondisi ekonomi Abu Thalib yang sederhana dengan delapan anak yang harus dinafkahi, ditambah dengan kehadiran Rasulullah SAW di rumahnya. Kepekaan dan kepedulian terhadap kondisi pamannya ini mendorong beliau untuk mandiri dan tidak ingin menambah beban keluarga. Kedua, profesi menggembala tidak memerlukan modal, hanya mengandalkan tenaga dan kesediaan untuk bekerja keras. Hal ini sangat sesuai dengan kondisi Rasulullah SAW yang masih muda dan belum memiliki modal finansial.

Dalam menjalankan pekerjaannya sebagai penggembala, Rasulullah SAW menunjukkan dedikasi dan tanggung jawab yang luar biasa. Beliau menggembalakan kambing-kambing milik penduduk Makkah dengan upah beberapa qirat, mata uang yang berlaku saat itu. Fatimah binti Asad, bibi beliau, selalu menyiapkan bekal makanan sebelum Rasulullah SAW berangkat menggembala, menunjukkan betapa keluarga tetap mendukung meski awalnya merasa keberatan.

Profesi menggembala ini ternyata memiliki hikmah yang sangat dalam dalam membentuk kepribadian Rasulullah SAW. Di padang yang luas, beliau menemukan ketenangan untuk merenungkan kebesaran Allah SWT melalui ciptaan-Nya. Aktivitas menggembala juga melatih kesabaran, ketabahan, dan kemandirian beliau. Dalam mengatur dan menjaga kawanan kambing, beliau belajar tentang kepemimpinan dan tanggung jawab. Tidak mengherankan jika kemudian dalam sebuah hadits, beliau menyebutkan bahwa setiap nabi pernah menggembala kambing sebelum diutus menjadi rasul.

 

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ

Artinya: “Semua nabi yang diutus Allah swt pernah menggembala kambing.” Para sahabat bertanya, ”Dan engkau sendiri?” Beliau menjawab, ”Ya, aku juga dulu menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath.” (HR al-Bukhari).

 

Nilai-nilai yang dipelajari dari profesi menggembala ini sangat berharga. Ketika menghadapi cuaca ekstrem, baik panas maupun dingin, beliau tetap menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Di tanah Arab yang gersang, beliau belajar mengatasi kehausan dan kesulitan dengan sabar. Hidup berdampingan dengan hewan ternak juga mengajarkan beliau tentang kerendahan hati (tawadhu) dan kesederhanaan. Yang tidak kalah penting, profesi ini menempa mental dan keberanian beliau, karena sering harus bermalam di tempat-tempat sepi yang jauh dari pemukiman.

Rasulullah SAW menjalani profesi penggembala ini selama kurang lebih empat tahun, periode yang cukup panjang untuk membentuk karakter dan kepribadian beliau. Pengalaman ini menjadi fondasi penting yang kelak membantu beliau dalam mengemban amanah sebagai pemimpin umat. Bahkan setelah menjadi rasul pun, beliau tidak pernah malu mengakui masa lalunya sebagai penggembala, justru sering mengingatkan para sahabat tentang hal ini untuk mengajarkan nilai-nilai kerendahan hati dan etos kerja.

 

 

Berdagang dengan Abu Thalib

Ilustrasi hijrah (Istimewa)
Ilustrasi hijrah (Istimewa)

Setelah menjalani profesi sebagai penggembala kambing, Rasulullah SAW mulai mengenal dunia perdagangan melalui pamannya, Abu Thalib. Pada usia 12 tahun, beliau memulai perjalanan kariernya di dunia bisnis dengan bergabung dalam kafilah dagang yang melakukan perjalanan ke berbagai wilayah, terutama ke negeri Syam (Suriah). Ini menjadi babak baru dalam kehidupan Rasulullah SAW, di mana beliau mulai mempelajari seluk-beluk perdagangan yang kelak menjadi profesi utamanya.

Kondisi geografis tanah Arab yang gersang dan tandus membuat perdagangan menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat saat itu. Hal ini tercermin dalam Al-Qur'an Surah Al-Quraisy ayat 1-2 yang menyebutkan tentang kebiasaan orang-orang Quraisy melakukan perjalanan dagang pada musim dingin dan musim panas.

 

لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ

Artinya: “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.” (QS Al-Quraisy [106]: 1-2).

 

Para ulama menafsirkan bahwa perjalanan di musim dingin biasanya menuju ke Yaman, sementara di musim panas menuju ke Syam. Dalam konteks inilah Abu Thalib memperkenalkan Rasulullah SAW ke dunia perdagangan.

Perjalanan dagang pertama Rasulullah SAW bersama Abu Thalib menjadi momen yang sangat bersejarah. Dalam perjalanan ke Syam ini, terjadi peristiwa penting ketika rombongan mereka bertemu dengan seorang rahib Kristen bernama Bahira di kota Busra. Bahira, yang dikenal sebagai orang yang sangat alim, dapat melihat tanda-tanda kenabian pada diri Rasulullah SAW dan memberitahukan hal ini kepada Abu Thalib. Peristiwa ini menjadi salah satu tanda awal kenabiannya yang tercatat dalam sejarah.

Dalam perjalanan-perjalanan dagang ini, Rasulullah SAW belajar banyak hal yang sangat berharga. Beliau mempelajari sistem perdagangan internasional, berinteraksi dengan pedagang dari berbagai latar belakang budaya, dan memahami dinamika pasar yang berbeda-beda. Pengalaman ini juga mengasah kemampuan beliau dalam bernegosiasi, mengelola barang dagangan, dan membangun jaringan bisnis yang luas.

Yang lebih penting lagi, melalui aktivitas perdagangan ini, Rasulullah SAW mengembangkan karakter yang kelak menjadi fondasi kepemimpinannya. Beliau dikenal dengan kejujurannya yang mutlak dalam bertransaksi, tidak pernah menipu atau berbohong tentang kualitas barang, dan selalu menepati janji dalam setiap kesepakatan bisnis. Sifat-sifat mulia ini membuatnya mendapat julukan Al-Amin (yang dapat dipercaya) dari para pedagang dan pembeli.

Selama berdagang dengan Abu Thalib, Rasulullah SAW juga mempelajari etika bisnis yang menjadi panduan penting dalam perdagangan. Beliau belajar tentang pentingnya membangun kepercayaan dalam bisnis, menjaga kualitas barang dagangan, dan memelihara hubungan baik dengan para pelanggan. Prinsip-prinsip ini kemudian menjadi dasar sistem ekonomi Islam yang beliau ajarkan setelah menjadi rasul.

Pengalaman berdagang dengan Abu Thalib juga mengajarkan Rasulullah SAW tentang pentingnya adaptasi dalam berbisnis. Setiap wilayah yang dikunjungi memiliki adat istiadat dan preferensi yang berbeda. Beliau belajar memahami kebutuhan pasar yang beragam dan bagaimana menyesuaikan strategi dagang sesuai dengan kondisi setempat. Kemampuan adaptasi ini menjadi sangat berharga dalam pengembangan bisnis beliau di kemudian hari.

Masa perdagangan bersama Abu Thalib ini berlangsung selama beberapa tahun dan menjadi periode pembelajaran yang sangat penting dalam membentuk pemahaman Rasulullah SAW tentang dunia bisnis. Pengalaman ini menjadi bekal berharga ketika beliau kemudian menjalin kerjasama bisnis dengan Siti Khadijah, yang kelak menjadi istrinya. Prinsip-prinsip perdagangan yang dipelajari dari Abu Thalib terus beliau terapkan dan kembangkan sepanjang karier dagangnya.

Berbisnis dengan Khadijah

Ilustrasi hijrah (Istimewa)
Ilustrasi hijrah (Istimewa)

Perjalanan karier Rasulullah SAW mencapai babak baru yang sangat penting ketika beliau mulai menjalin kerjasama bisnis dengan Siti Khadijah, seorang saudagar wanita yang terpandang di Makkah. Khadijah binti Khuwailid dikenal sebagai pengusaha sukses yang memiliki jaringan perdagangan luas dan armada kafilah dagang yang besar. Sebagai wanita yang cerdas dalam berbisnis, beliau selalu mencari orang-orang terpercaya untuk mengelola usahanya.

Reputasi Rasulullah SAW sebagai pedagang yang jujur dan amanah telah tersebar luas di kalangan masyarakat Makkah. Gelar Al-Amin yang disandangnya menjadi jaminan kredibilitas yang membuat Siti Khadijah tertarik untuk menjalin kerjasama bisnis. Melalui Abu Thalib, terjalinlah kesepakatan kerjasama antara Rasulullah SAW dengan Siti Khadijah. Dalam perjanjian ini, Abu Thalib meminta imbalan empat ekor unta untuk jasa Rasulullah SAW, padahal biasanya Khadijah hanya memberikan dua ekor unta kepada pedagang lain.

Khadijah dengan senang hati menyetujui persyaratan tersebut, bahkan menyatakan bahwa dia akan memberikan lebih jika diminta, mengingat reputasi dan karakter mulia Rasulullah SAW. Seperti yang tercatat dalam berbagai riwayat, Khadijah berkata kepada Abu Thalib, "Kalau kamu meminta hal itu untuk kepentingan orang jauh yang tidak saya kenal dan tidak menyenangkan, saya akan melakukannya. Apalagi sekarang ini kamu meminta hal itu untuk orang tercinta dan sangat dekat yang sudah saya kenal."

Tugas pertama Rasulullah SAW dalam kerjasama ini adalah memimpin kafilah dagang ke negeri Syam. Beliau didampingi oleh Maisarah, seorang pembantu kepercayaan Khadijah yang bertugas mengamati dan melaporkan perjalanan dagang tersebut. Dalam perjalanan ini, Rasulullah SAW menunjukkan kemampuan bisnis yang luar biasa. Beliau tidak hanya berhasil menjual semua barang dagangan dengan keuntungan yang lebih besar dari biasanya, tetapi juga menunjukkan karakter yang sangat mulia dalam setiap transaksi.

Maisarah, yang mengamati setiap gerak-gerik Rasulullah SAW selama perjalanan, menyaksikan berbagai keajaiban dan kemuliaan akhlak beliau. Ia melihat bagaimana Rasulullah SAW selalu menjaga kejujuran dalam bertransaksi, bersikap adil kepada semua pihak, dan tetap rendah hati meski mendapatkan keuntungan besar. Bahkan dalam riwayat disebutkan bahwa Maisarah melihat awan yang selalu menaungi Rasulullah SAW dari terik matahari selama perjalanan, suatu tanda keistimewaan yang kelak dilaporkannya kepada Khadijah.

Prinsip-prinsip bisnis yang diterapkan Rasulullah SAW dalam menjalankan usaha Khadijah mencerminkan standar etika yang sangat tinggi. Beliau menerapkan empat prinsip utama yang kemudian menjadi fondasi ekonomi Islam: Al-Amanah (dapat dipercaya) dalam menjaga setiap amanah yang diberikan, Ash-Shidq (kejujuran) dalam setiap transaksi dan interaksi, Al-'Adl (keadilan) dalam berbisnis dengan semua pihak, dan At-Tawazun (keseimbangan) dalam mengelola usaha.

Kesuksesan Rasulullah SAW dalam mengelola bisnis Khadijah tidak hanya terlihat dari keuntungan material yang diperoleh, tetapi juga dari dampak positif terhadap reputasi dagang Khadijah. Laporan Maisarah tentang kejujuran, kecerdasan, dan akhlak mulia Rasulullah SAW membuat Khadijah semakin terkesan. Kekaguman ini akhirnya berbuah cinta, yang mendorong Khadijah untuk melamar Rasulullah SAW melalui sahabatnya, Nafisah binti Munyah.

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Khadijah terjadi ketika beliau berusia 25 tahun dan Khadijah berusia 40 tahun. Meski terpaut usia 15 tahun, pernikahan ini menjadi bukti bahwa profesionalitas dan akhlak mulia dalam berbisnis dapat membuka pintu keberkahan yang lebih besar. Mas kawin pernikahan mereka adalah 20 ekor unta, menunjukkan posisi terhormat keduanya dalam masyarakat Makkah saat itu.

Periode berbisnis dengan Khadijah menjadi puncak karier dagang Rasulullah SAW sebelum menerima wahyu kenabian. Pengalaman ini tidak hanya membuktikan kehebatan beliau dalam mengelola bisnis, tetapi juga menunjukkan bagaimana etika dan profesionalitas yang tinggi dapat membawa kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan.

Macam-macam pekerjaan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa beliau adalah sosok pekerja keras yang tidak mengenal malu dalam mencari rezeki halal. Setiap profesi yang dijalani memberikan pembelajaran berharga dalam membentuk kepribadian dan kepemimpinan beliau.

Dari pengembala kambing hingga menjadi pedagang sukses, Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana bekerja bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga sarana pembentukan karakter dan pengembangan diri. Nilai-nilai seperti kejujuran, profesionalitas, dan etos kerja yang beliau tunjukkan masih sangat relevan untuk diterapkan dalam dunia kerja modern.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya