Siapa Mary Jane? Perjalanan Kasus Terpidana Mati yang Dibebaskan

Kilas balik perjalanan kasus Mary Jane

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 21 Nov 2024, 08:00 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2024, 08:00 WIB
MeryJane Valoso
Terpidana kasus narkoba asal Filipina dan terpidana mati Mary Jane Veloso, yang mengenakan pakaian tradisional Indonesia tersenyum dalam acara peringatan Hari Kartini untuk menghormati pahlawan nasional dan aktivis hak-hak perempuan Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Mary Jane Veloso, seorang warga negara Filipina, menjadi sorotan dunia internasional setelah kasusnya yang kontroversial di Indonesia. Selama lebih dari satu dekade, Mary Jane menjalani masa tahanan di Indonesia sebagai terpidana mati kasus penyelundupan narkoba, sebelum akhirnya dibebaskan pada November 2023.

Perjalanan kasus Mary Jane penuh dengan dinamika yang menarik perhatian publik, mulai dari penangkapannya di Bandara Adisucipto hingga drama penundaan eksekusi di menit-menit terakhir. Kasus ini juga membuka mata dunia tentang kompleksitas perdagangan manusia dan sistem peradilan pidana internasional.

Kabar pembebasan Mary Jane diumumkan langsung oleh Presiden Filipina Ferdinand 'Bongbong' Marcos Jr melalui akun Instagram resminya. Keputusan ini menjadi titik balik setelah berbagai upaya diplomatik yang dilakukan pemerintah Filipina selama bertahun-tahun untuk menyelamatkan nyawa Mary Jane.

Berikut ini telah Liputan6.com rangkum kilas balik perjalanan kasus Mary Jane, pada Rabu (20/11).

Kronologi Penangkapan dan Vonis

Mary Jane Fiesta Veloso
Mary Jane Fiesta Veloso

Pada 25 April 2010, Mary Jane Veloso ditangkap di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Petugas menemukan 2,6 kilogram heroin yang disembunyikan dalam koper yang dibawanya. Kasus ini langsung ditangani oleh pihak berwenang Indonesia dan dibawa ke pengadilan.

Pengadilan Negeri Sleman memvonis Mary Jane dengan hukuman mati pada Oktober 2010. Vonis ini dijatuhkan karena ia dianggap melanggar Pasal 114 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tim hukum Mary Jane mengajukan dua kali banding dengan argumen utama yaitu tidak adanya penerjemah yang kompeten dan statusnya sebagai korban penipuan, namun keduanya ditolak.

Dalam proses persidangan, terungkap bahwa penerjemah yang ditunjuk hanya seorang mahasiswa yang memahami bahasa Indonesia dan Inggris, sementara Mary Jane hanya fasih berbahasa Tagalog. Keterbatasan komunikasi ini menjadi salah satu poin kritis dalam kasus hukumnya.

Drama Penundaan Eksekusi

Mary Jane dijadwalkan dieksekusi pada April 2015 di Nusakambangan bersama dengan delapan terpidana mati lainnya. Menjelang eksekusi, terjadi gelombang protes dari berbagai kalangan, termasuk demonstrasi massa di Filipina dan Indonesia yang menuntut pembebasan Mary Jane.

Di tengah situasi yang mencekam, dua hari sebelum eksekusi, keluarga Mary Jane diizinkan berkunjung. Dalam pertemuan yang mengharukan, ia menyampaikan pesan perpisahan kepada kedua putranya. Namun, takdir berkata lain ketika di menit-menit terakhir, eksekusi Mary Jane ditangguhkan.

Penundaan ini terjadi setelah Indonesia menerima informasi tentang penyerahan diri Maria Kristina Sergio di Filipina. Presiden Filipina saat itu, Benigno Aquino, meminta Indonesia untuk membiarkan Mary Jane hidup agar dapat bersaksi dalam kasus perdagangan manusia yang melibatkan Sergio.

Fakta di Balik Kasus

20160423-Tawa Ceria Terpidana Mati Mary Jane saat Rayakan Hari Kartini
Mary Jane Fiesta Veloso (tengah) saat mengkuti perayaan hari kartini di Lapas Wirogunan,Yogyakarta, (23/4). Mengenakan kebaya berwarna putih, Mary tampak ceria mengikuti kegiatan yang diadakan di Lapas Wirogunan. (Boy Harjanto)

Dalam pembelaannya, Mary Jane mengaku sebagai korban perdagangan manusia. Ia adalah seorang asisten rumah tangga yang sebelumnya bekerja di Uni Emirat Arab dan melarikan diri setelah nyaris mengalami pemerkosaan. Maria Kristina Sergio, yang merupakan putri dari salah satu wali baptisnya, kemudian menawarkannya pekerjaan di Indonesia.

Mary Jane mengaku diberi pakaian baru dan tas oleh Maria, tanpa mengetahui bahwa tas tersebut berisi heroin. Dalam sebuah surat kepada Presiden Filipina pada 2015, ia menegaskan bahwa sebagai orang miskin yang ingin mengubah nasib, ia tidak mungkin melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya.

Pada tahun 2020, pengadilan di Filipina memvonis Maria Kristina Sergio dan Julius Lacanilao bersalah atas kasus perekrutan ilegal. Kasus ini memperkuat klaim Mary Jane bahwa ia adalah korban dari jaringan perdagangan manusia internasional.

Upaya Diplomatik Menuju Pembebasan

Setelah penundaan eksekusi pada 2015, berbagai upaya diplomatik terus dilakukan untuk membebaskan Mary Jane. Pada September 2022, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr mengambil langkah signifikan dengan mengajukan permohonan grasi. Permohonan ini disampaikan melalui Menteri Luar Negeri Filipina Enrique Manalo kepada Menlu RI Retno Marsudi di Jakarta.

Pada awal tahun 2023, momentum diplomatik kembali terjadi ketika ibu Mary Jane, Celia Veloso, menyampaikan permohonan langsung kepada Presiden Joko Widodo saat kunjungan ke Manila. Dalam suratnya, Celia memohon pembebasan putrinya yang telah menderita selama 14 tahun meski tidak bersalah.

Puncak dari upaya diplomatik ini terjadi pada November 2023, ketika Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenko Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengumumkan pertimbangan opsi "transfer of prisoner" atau pemindahan narapidana untuk Mary Jane.

 

Proses Pemindahan dan Pembebasan

Dalam pertimbangan pemindahan narapidana, pemerintah Indonesia tetap menjunjung tinggi kedaulatan hukum dan berkomitmen pada penerapan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pengadilan. Opsi transfer of prisoner menjadi bagian dari upaya diplomasi konstruktif antara Indonesia dan Filipina.

Kebijakan ini mengatur bahwa Mary Jane akan melanjutkan sisa masa hukumannya di Filipina dengan tetap mengikuti ketentuan yang telah diputuskan oleh pengadilan Indonesia. Pihak Filipina diharapkan mengakui dan melaksanakan keputusan tersebut sebagai bagian dari kerja sama timbal balik antar negara.

Keputusan ini menjadi bagian dari penguatan hubungan bilateral kedua negara dalam upaya penegakan hukum di tingkat internasional. Proses pemindahan ini juga menunjukkan komitmen kedua negara dalam menangani kasus-kasus transnasional dengan tetap memperhatikan aspek kemanusiaan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya