Geger Babinsa Jadi Timses Capres

Anggota Babinsa diduga dikerahkan untuk mengarahkan massa memilih salah satu capres. Tim Jokowi-JK laporkan ke Bawaslu.

oleh Rinaldo diperbarui 08 Jun 2014, 00:07 WIB
Diterbitkan 08 Jun 2014, 00:07 WIB
(Lip6petang) KASAD TEGASKAN TNI NETRAL
(Antara/Wahyu Putro A)

Liputan6.com. Oleh: Rinaldo, Silvanus Alvin, Luqman Rimadi, Ahmad Romadoni, Yus Ariyanto, Hanz Jimenez Salim, Widji Ananta, dan Taufiqurrohman.

Jakarta: Nama Babinsa tiba-tiba mencuri perhatian di tengah kesibukan 2 pasangan calon presiden dan calon wakil presiden menggelar kampanye ke berbagai kota. Babinsa atau Bintara Pembina Desa yang perannya hampir tak terdengar lagi sejak tumbangnya Orde Baru, kini seolah unjuk gigi. Namun, bukan pujian yang dipanen satuan di tataran paling bawah TNI Angkatan Darat ini, melainkan kecaman dan aduan.

Bisa dimaklumi, karena disaat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan TNI-Polri untuk bersikap netral yang kemudian diamini oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko, KSAD Jenderal Budiman dan Kapolri Jenderal Sutarman, yang dilakukan justru bertolak belakang. Anggota Babinsa diduga dikerahkan untuk mengarahkan massa memilih salah satu capres.

Semuanya berawal dari pemberitaan sebuah situs berita nasional pada Kamis 5 Juni lalu. Berita itu mengabarkan tentang keresahan warga di kawasan Jakarta Pusat oleh pendataan tentang siapa capres dan cawapres yang akan dipilih pada Pilpres 2014. Warga mengungkapkan, pendataan dilakukan oleh orang yang mengaku sebagai anggota Babinsa.

Salah seorang warga bercerita, akhir Mei lalu rumahnya didatangi seorang pria yang mengaku anggota Babinsa. Kepada tuan rumah pria itu mengatakan ditugaskan melakukan perbaikan daftar pemilih tetap (DPT) untuk pilpres mendatang.

Anehnya, dalam kertas yang dibawa si petugas, tertera nama tuan rumah yang akan memilih Partai Gerindra pada Pilpres 2014. Tak jelas dari mana kesimpulan itu didapat si petugas. Setelah terjadi perdebatan di antara keduanya, sang petugas langsung mengganti tulisan tersebut sembari menanyakan pilihan tuan rumah. Tak berhasil dengan pendekatan yang dilakukan, sang petugas akhirnya berlalu.

Usut punya usut, ternyata warga lain di lingkungan yang sama juga mengaku didatangi sang petugas dengan maksud yang sama. Penasaran dengan keterangan petugas Babinsa, saksi lantas mendatangi kantor Koramil di wilayahnya.

Dia kembali kaget setelah menyaksikan tumpukan kertas hasil pendataan seperti yang dibawa Babinsa ke rumahnya ada di atas meja di kantor itu. Data tersebut tersusun rapi dan lengkap memuat identitas warga di lingkungannya.

Ada pula data rekapitulasi kecenderungan pemilih nantinya pada Pilpres 9 Juli 2014 yang harusnya tak mungkin diungkap pemilih karena bersifat rahasia. Saat ditanyakan tentang maksud pendataan itu, lagi-lagi petugas di kantor Koramil mengatakan untuk survei pilihan warga.

TNI Perintahkan Investigasi

Kabar ini langsung menjadi bola panas. Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Budiman yang geram dengan kabar itu langsung memerintahkan anggotanya untuk mengusut dugaan keberpihakan tersebut.

Budiman juga memerintahkan Asisten Operasi KSAD dan Wakil Asisten Pengamanan KSAD melakukan teleconference dengan seluruh Pangdam di Indonesia untuk menekankan ke jajaran masing-masing tentang posisi netral Prajurit TNI AD di Pilpres 2014.

"Selain itu, Kepala Staf TNI AD juga memerintahkan untuk mengusut tuntas dugaan keberpihakan Babinsa di Jakarta Pusat tersebut," ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen TNI Andika Perkasa melalui keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Kamis lalu.

Dia mengatakan, sebelum Pileg 2014 digelar, KSAD sudah berulang kali menegaskan sikap netral prajurit TNI AD. Begitu juga dengan pilpres, dipastikan tanpa ada intervensi dan tekanan dari pihak manapun, termasuk dari prajurit TNI AD.

"Jadi Kepala Staf TNI AD sangat serius dalam menangani dugaan keberpihakan Babinsa di Jakarta Pusat kepada calon presiden tertentu dan akan memberi sanksi kepada mereka sesuai temuan dalam pemeriksaan," tegasnya.

Tak hanya pihak TNI, Polri pun merasa perlu untuk berbenah agar kejadian serupa tidak terjadi. Mabes Polri memerintahkan jajarannya yang bertugas sebagai Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) di setiap kelurahan atau desa untuk tidak menjadi alat politik bagi capres.

Anggota Babinkamtibmas hanya boleh memberikan penyuluhan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban di wilayah masing-masing.

"Tidak ada tugas lain yang hal-halnya berkaitan dengan kegiatan politik, kecuali mengajak kepada bangsa Indonesia untuk melakukan pemilu yang damai, bebas dari tindakan-tindakan yang sifatnya kekerasan, tindakan-tindakan yang dilarang oleh hukum," papar Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta.

Kubu Prabowo-Hatta Ragukan Temuan

Jika pihak TNI-Polri menanggapi kabar itu dengan aksi, lain halnya dengan kubu 2 pasangan capres-cawapres. Mantan Kepala Pusat Penerangan TNI Sudrajat yang kini menjadi juru bicara pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) itu mengatakan tak mungkin Babinsa melanggar perintah Panglima TNI.

"Saya kira TNI yang saya tahu perwiranya sampai prajuritnya sudah diberi instruksi oleh Panglima sudah sampai ke jajaran bawah. Jadi isu-isu itu tidak tepat. Bahkan Panglima TNI sendiri mengatakan kalau ada penyimpangan yang terjadi dari prajurit TNI maka akan diberi tindakan tegas," ujar Sudrajat.

Purnawirawan jenderal bintang 2 itu mengatakan, isu itu merupakan hal yang biasa terjadi. Rumor itu sudah terjadi sejak Pemilu 2004 dan 2009. Bahkan, Babinsa dianggap ikut berpihak pada salah satu calon dan mengajak rakyat.

"Nah isu itu terus dikembangkan dan ini adalah memang apa ya klise, selalu dibuat menjelang pilpres, apalagi kalau kandidatnya tinggal 2 seperti ini," jelasnya.

Sementara Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, tim Prabowo-Hatta sama sekali tidak terlibat dalam kasus itu. Dirinya menyebut Gerindra tidak punya jalur ke Babinsa. Dirinya juga tidak tahu informasi itu benar atau tidak.

Namun, Fadli tidak memungkiri dalam kubunya banyak purnawirawan TNI yang bergabung. Tapi, hal itu tidak ada hubungannya dengan anggota TNI aktif yang diduga melakukan pelanggaran itu.

"Ya kan kalau purnawirawan itu sudah menjadi sipil. Mereka sudah warga sipil. Kalau purnawirawan berhak untuk ikut dalam kegiatan politik," lanjutnya.

Dirinya mengakui sebagai seorang prajurit aktif memang tidak diperbolehkan terlibat dalam kegiatan politik. Tapi, kekaguman pribadi terhadap sosok tidak dapat dihindarkan.

"Kita nggak mau mencampuri. Kalau ada yang mendukung kita alhamdulillah. Sebagai pribadi kan boleh-boleh saja. Tapi sebagai petugas ya memang diharuskan netral, itu saja," tandas Fadli.

Kendati demikian, anggota Dewan Pakar Timses Prabowo-Hatta dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid menilai kabar tentang aksi anggota Babinsa tersebut merugikan pasangan dengan nomor urut 1 itu.

"Saya tidak ingin tuduh-menuduh siapapun, tapi yang dirugikan itu kubu kami, Prabowo-Hatta," kata Hidayat di Gedung DPR, Jakarta, Jumat kemarin.

Ketua Fraksi PKS itu mengaku kecewa dengan kabar Babinsa tersebut, padahal belum lama ini baru saja dilakukan deklarasi pemilu berintegritas dan damai. Hidayat pun meminta Bawaslu, KPU dan Polri mengusut tuntas serta mencari oknum Babinsa itu.

"Bisa saja ada pihak ketiga untuk mengadu domba 2 pihak. Karena itu Bawaslu, KPU, dan Polri harus kerja maksimal mencari oknumnya," tegas Hidayat.

Hidayat kembali menegaskan, tak mungkin kubu Prabowo-Hatta menggerakkan prajurit TNI aktif, karena jalur komando di TNI sangat ketat, sehingga suara Prabowo yang purnawirawan tak mungkin punya pengaruh ke prajurit aktif.

"Pihak Prabowo-Hatta tak ada perintah atau program agar Babinsa data dan pilih Prabowo-Hatta. Bagaimana Prabowo yang tak ada jalur komando kok bisa memerintah? TNI itu jalur komandonya sangat ketat," tandas Hidayat.

Kubu Jokowi-JK Melapor ke Bawaslu

Dari kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Jokowi-JK, kabar ini ditanggapi sangat serius. Bahkan, ada temuan baru yang menyebutkan kasus serupa juga terjadi di daerah lain. Temuan-temuan itu pun  sudah dilaporkan ke Bawaslu.

Menurut tim advokasi Jokowi-JK, Sirra Prayuna, dugaan pengerahan Babinsa yang dilaporkan ke Bawaslu yakni terjadi di Gunung Kidul (Yogyakarta), Jawa Barat, dan DKI Jakarta tepatnya di Cideng, Jakarta Pusat.

"Ada di 3 daerah. Kita input dari beberapa pemberitaan media. Gunung Kidul, Jawa Barat, Cideng kalau di Jakarta. Melihat polanya sama, waktunya sama," kata Sirra di Jakarta, Jumat kemarin.

"Kami tim kampanye nasional Jokowi-JK, dari tim hukum, telah melaporkan fakta tersebut ke Bawaslu tadi malam sekitar pukul 19.00 WIB. Diterima oleh Pak Nelson Simanjuntak," jelasnya.

Ia mengatakan, bukti-bukti yang diberikan kepada Bawaslu memang masih sebatas pemberitaan media. Karena itu, ia meminta masyarakat agar tidak takut terhadap intervensi tim pemenangan salah satu pasangan capres-cawapres.

"(Bukti) baru media. Tapi kita juga sudah bergerak di tingkat provinsi oleh tim advokasi," jelasnya. Sirra meminta masyarakat yang merasa mendapatkan pengarahan dari oknum-oknum tertentu berani memberikan keterangan.

Selain meminta Bawaslu mengusut kasus ini, Ketua Tim Pemenangan Pasangan Jokowi-JK, Tjahjo Kumolo juga mengatakan harus ada tindakan tegas atas preseden buruk yang dilakukan anggota Babinsa tersebut.
 
"Keberadaan Babinsa jika memang begitu harus dievaluasi, yang harusnya mengayomi malah mengintimidasi. Jangan cederai pilpres ini," ujar Tjahjo dalam jumpa pers di Media Center Jokowi-JK, Jalan Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 7 Juni 2014.

"Kepentingan politik praktis harus dihindari TNI dan Polri. Prajurit TNI jelas dilarang terlibat politik praktis. Artinya, dari Panglima TNI hingga Babinsa melakukan pendataan masyarakat terkait Pilpres tidak ada dasar hukumnya," tegas Tjahjo.

Bawaslu Minta Klarifikasi Panglima TNI

Sementara Bawaslu sendiri mengaku belum menemukan barang bukti atas dugaan keterlibatan Babinsa yang diduga melakukan pendataan terhadap warga serta pengarahan untuk pemenangan capres dan cawapres tertentu itu.

"Saya baca juga pagi ini di media massa bahwa perwira menengah kalau dia tidak salah, dia mengaku bahwa itu dilakukan untuk mengetahui preferensi pemilih," kata pimpinan Bawaslu Nelson Simanjuntak di Kantor Bawaslu, Jakarta.

Menurut Nelson, laporan dari kuasa hukum pasangan Jokowi-JK akan menjadi acuan utama untuk menyelidiki ada atau tidaknya dugaan keterlibatan oknum Babinsa yang melakukan pendataan penduduk untuk kepentingan politik.

Nelson menyatakan, sejauh ini pihaknya masih berpegang teguh dan percaya atas posisi TNI dan Polri yang secara tegas akan bersikap netral pada Pilpres 9 Juli mendatang. Dia percaya posisi TNI dan Polri tetap bertugas mengamankan pemilu.

Yang jelas, menanggapi laporan itu Bawaslu berencana memanggil Panglima TNI Jenderal Moeldoko pada Senin besok, 9 Juni 2014.

"Bawaslu menyampaikan Panglima TNI akan diklarifikasi hari Senin, bahwa Babinsa mengarahkan warga pilih salah satu capres. Hari Senin Panglima TNI akan dimintai klarifikasi," ujar tim Advokasi Jokowi-JK Alexander Lay usai mendampingi Jokowi yang memenuhi panggilan Bawaslu di Jakarta, Sabtu 7 Juni 2014.

Meski belum bisa dipastikan kebenarannya, kabar Babinsa yang jadi 'tim survei' capres ini harus mendapat perhatian dari semua pihak, khususnya TNI-Polri dan Bawaslu. Semuanya harus dikembalikan pada aturan dasar, yaitu UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam UU yang sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi itu ditegaskan bahwa anggota TNI dan Polri tetap tak boleh menggunakan hak pilihnya dalam Pilpres 9 Juli 2014. Jadi, tak ada tempat bagi anggota TNI-Polri aktif untuk ikut 'bermain'.

Tanpa ikut sertanya Babinsa, Pilpres 2014 sudah cukup riuh dengan beragam isu, kabar yang kabur, serta banyaknya politisi yang berbicara setiap hari tentang keunggulan pasangan yang didukungnya. Maka, akan lebih bijak jika TNI-Polri menarik jarak dari persaingan yang hanya akan membuat TNI-Polri menjadi berpihak dan tak lagi netral.

Satu hal, dilarangnya jajaran TNI-Polri dalam politik praktis karena strategisnya posisi dan peran aparat bersenjata ini dalam kehidupan bernegara. Sehingga, mulai dari jenderal hingga prajurit sekelas Babinsa tak boleh diklaim hanya milik partai politik atau kelompok tertentu.

Harus diingat, TNI-Polri baru disebut berhasil jika dapat menahan godaan politik dan tampil sebagai wasit yang adil dalam kontestasi 5 tahunan ini. Pujian bahwa TNI di era reformasi yang tak lagi berpolitik sudah menemukan posisi idealnya harus dipertahankan. Karena itu, terlalu mahal harga yang harus dibayar TNI jika aksi Babinsa itu benar adanya.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya