Filosofi Padusan, Tradisi Menyucikan Diri Menyambut Bulan Ramadan

Filosofi padusan adalah menyucikan diri, membersihkan jiwa, dan raga.

oleh Laudia Tysara diperbarui 08 Apr 2021, 19:00 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2021, 19:00 WIB
20160605-Padusan di Umbul Saren, Tradisi Jelang Ramadan Sekaligus Berwisata-Sleman
Seorang bocah melompat ke kolam pemandian Umbul Saren di Wedomartani, Sleman, Minggu (5/6). Pengunjung memadati kolam pemandian tersebut untuk melaksanakan tradisi "padusan" menjelang Ramadan 2016. (Liputan6.com/Boy Harjanto)

Liputan6.com, Jakarta Ritual padusan di tanah Jawa popularitasnya tak perlu ditanyakan lagi. Filosofi padusan adalah menyucikan diri, membersihkan jiwa, dan raga dalam menyambut datangnya bulan Ramadan. Padusan adalah ritual pembersihan fisik dan rohani.

Romo Tirun, salah seorang kerabat keraton menjelaskan kepada Liputan6.com, filosofi padusan adalah membersihkan diri sehingga ketika kita melakukan harus benar-benar sesuai dengan ajaran agama. Berpakaian sopan dan tidak dilakukan dengan bercampur antara lawan jenis. 

Padusan sudah ada sejak zaman Hamengkubuwono I. Sejak saat itulah filosofi padusan menguat. Dulunya, padusan dilakukan di sumber mata air dan kolam-kolam masjid. Begitu juga untuk pria dan wanita melaksanakan ritual padusan secara terpisah.

Ritual padusan boleh pula dilakukan di rumah. Meski begitu, tradisi mandi di tempat pemandian umum dan tempat wisata sampai sekarang lebih menjadi primadona. Berikut Liputan6.com ulas filosofi padusan dan kisah pergeseran budaya yang terjadi dari berbagai sumber, Selasa (6/4/2021).

Filosofi Padusan

20160605-Padusan di Umbul Saren, Tradisi Jelang Ramadan Sekaligus Berwisata-Sleman
Sejumlah anak mandi bersama saat mengikuti ritual "padusan" di pemandian Umbul Saren Wedomartani, Sleman, Minggu (5/6). Padusan sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan setiap tahun menyambut datangnya Ramadan. (Liputan6.com/Boy Harjanto)

Padusan adalah tradisi khas Jawa yang sampai sekarang masih cukup populer. Filosofi padusan tak sekadar mandi untuk menyucikan diri sebelum bulan Ramadan tiba, tetapi lebih dari itu. Padusan berasal dari bahasa Jawa dan ada sejak zaman Hamengkubuwono I.

Asal mula kata padusan adalah adus yang berarti mandi. Melansir dari laman website resmi Republik Indonesia, dijelaskan padusan adalah tradisi masyarakat Jawa untuk menyucikan diri, membersihkan jiwa dan raga, dalam menyambut datangnya bulan suci.

Padusan disebut sebagai tradisi warisan leluhur yang sudah dilakukan turun temurun. Dijelaskan bahwa dulu, padusan dilakukan dengan berendam atau mandi di sumur-sumur atau sumber mata air.

Tujuan dilakukannya tradisi khas Jawa, padusan adalah agar saat Ramadan tiba, pelakunya bisa melaksanakan ibadah dalam kondisi suci lahir dan batin. Disebutkan pula, padusan memiliki makna dan filosofi sangat dalam.

Padusan adalah bentuk media renungan dan instropeksi diri dari berbagai kesalahan yang telah diperbuat di masa lalu. Hal ini yang membuat ritual padusan lebih dianjurkan dilakukan di tempat yang sepi, bukan tempat ramai seperti yang sekarang.

Di tempat sepi, padusan adalah diharapkan dapat memunculkan kesadaran untuk menjadi pribadi lebih baik daripada sebelumnya. Terutama dalam kondisi hening, maka akan hadir keyakinan dan kesadaran untuk memasuki bulan Ramadan dalam keadaan lebih baik.

Pergeseran Tradisi Padusan

20160605-Padusan di Umbul Saren, Tradisi Jelang Ramadan Sekaligus Berwisata-Sleman
Keseruan anak-anak bermain air saat mengikuti ritual "padusan" di pemandian Umbul Saren Wedomartani, Sleman, Minggu (5/6). Padusan sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan setiap tahun menyambut datangnya Ramadan. (Liputan6.com/Boy Harjanto)

Tradisi padusan untuk menyambut bulan suci Ramadan sudah ada sejak lama. Ritual ini sangat populer di tanah Jawa. Khususnya Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampai sekarang masih dilakukan meski sudah mengalami pergeseran makna.

Pada masa itu, tradisi padusan rutin diadakan di kolam-kolam masjid atau sumber mata air yang ditentukan pihak keraton. Biasanya pria akan turun ke kolam dan menceburkan diri di sana. Sementara untuk wanita, melakukan padusan secara terpisah dan tidak melakukan padusan bersama pria.

Memasuki tahun 1950 terjadi pergeseran budaya. Di tahun tersebut, padusan tidak lagi dimaknai sebagai pembersihan fisik atau sekadar mandi, tetapi lebih kepada pembersihan rohani. Akhirnya banyak dari penduduk di tanah Jawa tidak lagi mendatangi kolam-kolam di masjid untuk padusan.

Begitu pula sangat disayangkan, memasuki tahun selanjutnya tren yang terjadi di lapangan berlainan. Padusan dilakukan bersama-sama antara pria dan wanita di tempat pemandian umum. Tak jarang pula pakaian yang dikenakan adalah pakaian ketat dan tidak memenuhi norma kesopanan.

Romo Tirun, salah seorang kerabat Kraton menjelaskan kepada Liputan6.com, filosofi padusan adalah membersihkan diri sehingga ketika kita melakukan harus benar-benar sesuai dengan ajaran agama. Berpakaian sopan dan tidak dilakukan dengan bercampur antara lawan jenis.

Tradisi Padusan di Jawa Tengah dan Yogyakarta

20160605-Padusan di Umbul Saren, Tradisi Jelang Ramadan Sekaligus Berwisata-Sleman
Dua orang anak melompat ke kolam pemandian Umbul Saren di Wedomartani, Sleman, Minggu (5/6). Pengunjung memadati kolam pemandian tersebut untuk melaksanakan tradisi "padusan" menjelang Ramadan 2016. (Liputan6.com/Boy Harjanto)

Khususnya di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, banyak tempat wisata untuk padusan. Di Yogyakarta, setidaknya ada 10 lokasi yang ramai didatangi orang untuk melaksanakan padusan. Masing-masing lokasi mata air tersebut memiliki cerita sejarah tersendiri.

Antara lain Umbul Pajangan, Sendang Klangkapan, Sendang Ngepas Lor, dan lain sebagainya. Konon, Sendang Klangkapan yang terletak di Dusun Klangkapan, Desa Margoluwih, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman itu sengaja dibuat oleh Sunan Kalijaga. Keputusan itu dilakukan ketika Sunan Kalijaga tidak menemukan air untuk berwudhu.

Sementara itu, di Jawa Tengah ada beberapa sumber mata air yang selalu ramai digunakan untuk padusan. Melansir dari laman website resmi Republik Indonesia, Klaten merupakan salah satu pemandian alami bernama Umbul Manten. Lokasinya di Desa Sidowayah, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten.

Sumber mata air lain di Klaten adalah Obyek Mata Air Cokro (OMAC), Umbul Ponggok, dan banyak lagi. Padusan di OMAC dijelaskan pula biasa dilakukan secara simbolik oleh Bupati Klaten yang melakukan siraman terhadap Mas dan Mbak Klaten (Duta Pariwisata Kabupaten Klaten), lalu dilanjutkan oleh warga.

Masih di Jawa Tengah, kegiatan serupa dijelaskan selalu dilakukan di Umbul Petilasan Joko Tingkir, Semarang. Ribuan warga dan bukan hanya dari Semarang. Ada yanng dari Salatiga, mendatangi petilasan untuk melaksanakan ritual padusan. Di petilasan ini lokasi padusan terbagi menjadi dua tempat yaitu Sendang Lanang dan Sendang Puteri.

Padusan di Rumah

Melaksanakan tradisi padusan, baiknya dilakukan di tempat sepi. Filosofi padusan adalah menyucikan diri, termasuk jiwa dan raga sebelum bulan Ramadan tiba. Bila tak menemukan tempat sepi, padusan boleh dilaksanakan di rumah.

Pengelola kantor Takmir Masjid Kauman Yogyakarta Waslan Aslam kepada Liputan6.com, tradisi padusan memang sudah mengalami perubahan. Dulu masyarakat akan berbondong-bondong datang ke kolam masjid atau sumber air yang jaraknya jauh dari rumahnya. Sekarang, padusan bisa dilakukan di rumah masing-masing atau di kolam renang.

Menurutnya, poin penting dari padusan adalah niat dalam hati untuk membersihkan diri. Untuk itulah ritual padusan boleh dilakukan di manapun, salah satunya di rumah. Padusan tetap bisa menjadi tradisi penyucian menyambut Ramadan. Terutama bila dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai adab keislaman.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya