Liputan6.com, Purbalingga - Bekas anggota Pasukan Pengawal Presiden Soekarno, Ishak Bahar lahir pada 1936, di sebuah desa di Purbalingga. Pasukan pengawal presiden pada tahun 1960-an dikenal dengan nama Cakrabirawa.
Cakrabirawa adalah pasukan elit dengan beragam fasilitas. Mereka berasal dari kesatuan pilihan, dengan kemampuan mumpuni. Anggota pasukan ini dilimpahi gaji tinggi, berbeda dengan pasukan lainnya yang serba terbatas.
Namun, semuanya berubah usai peristiwa 65 atau G30S/PKI. Seluruh anggota pasukan Cakrabirawa diburu, lantaran dianggap terlibat langsung penculikan dan pembunuhan jenderal TNI AD.
Advertisement
Baca Juga
Ishak terlahir dari keluarga melek agama. Ayahnya adalah kayim, yakni perangkat desa yang bertugas mengurus acara-acara keagamaan, termasuk mengurus orang mati dan perkawinan.
Posisi kayim, saat itu, amat sentral. Sebab itu, kayim mesti benar-benar dalam ilmu agamanya. Dan kayim, hampir pasti berasal dari kalangan santri.
Sebagaimana orangtuanya, Ishak kecil pun lantas belajar di pesantren. Setidaknya, Ishak telah belajar di tiga pesantren wilayah Jawa Tengah.
Namun, dia enggan menyebut pesantrennya. Rupanya, Ishak khawatir, statusnya sebagai bekas anggota Cakrabirawa dan eks-tapol (tahanan politik) memengaruhi nama baik pesantren. Dia masih trauma.
Â
Â
Â
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Jadi Tentara dan Terpilih Jadi Anggota Cakrabirawa
Singkat cerita, Ishak menjadi pemuda yang gagah lagi berilmu agama. Masa depan terbentang luas di depannya.
Di usianya yang ke-21, tepat pada 1957, ia mendapat kabar ada penerimaan tentara. Lokasi pendidikannya pun tak begitu jauh dari Purbalingga, yaitu Gombong, Kabupaten Kebumen. Ia pun lantas mendaftar dan diterima.
"Waktu itu saya memang tidak meminta izin Pak Kiai," tuturnya.
Ishak menjalani pendidikan ketentaraan dan resmi menjadi anggota ABRI. Ilmu agama dan suaranya yang merdu saat membaca Alquran menyebabkan karirnya melesat cepat.
Dimulai dari pangkat prajurit, dalam jangka lima tahun, dia sudah menjadi seorang sersan. Di kesatuannya, ia kerap didaulat menjadi imam salat, khotib Jumat, hingga mengajar mengaji tentara rendahan dan perwira.
Sampai akhirnya dia terpilih menjadi anggota Resimen Cakrabirawa. Pasukan elit pengawal presiden Soekarno.
Â
Advertisement
Meminta Maaf di Makam Kiainya
Dia menuturkan, kerapkali, muncul kelebatan ingatan peristiwa-peristiwa pilu, menyedihkan, hingga lucu. Salah satu yang dia ingat adalah, kisah penolakan kiainya di pondok pesantren tempat ia menuntut ilmu.
Kala itu, Ishak telah menjadi anggota pasukan elit tersebut. Sang kiai, menolak menemui Ishak yang jauh-jauh dari Jakarta, khusus untuk sowan.
Kejadian itu telah berlalu lebih dari 50 tahun berlalu, namun rasa sedih yang dirasakan masih terasa sampai sekarang.
"Kalau saya mengingat, sesak dada saya. Saya sedih ditolak oleh kiai saya. Beliau tidak mau menemui saya," ujarnya, Rabu, 4 Oktober 2017.
Jawaban atas penolakan kiainya itu, rupanya baru dipahami Ishak dua tahun kemudian, 1 Oktober 1965. Ishak terseret pusaran politik yang sama sekali tak dipahaminya.
Ia ditangkap lantaran berada di Lubang Buaya saat pembunuhan enam jenderal dan satu perwira AD terjadi. Mungkin, sang kiai telah memiliki firasat, Cakrabirawa akan menjadi sandungan bagi Ishak di masa depan.
"Saya paham. Saya tidak bisa meminta maaf langsung. Saya hanya bisa berdoa di makam beliau. Sebab, sejak 1965, saya baru bisa kembali ke Purbalingga tahun 1978, setelah dibebaskan dari Tahanan Salemba,"Â tutur Ishak.
Tim Rembulan
Â